Katanya perlahan, penuh kekaguman. Lu Sian tertawa. Gadis di pagi hari belum berhias,
"mana bisa cantik? Ihhh, kau sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok asmara!"
Lu Sian tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok dipinggir perahu, tangannya menyambar air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya, digosok-gosoknya sehingga seluruh kulit mukanya menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah tersiram embun pagi.
Digoda secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan selanjutnya ia tidak mau banyak bicara lagi, karena setiap godaan gadis itu merupakan tusukan di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi begini lemah? Mengapa ia tidak pergi saja tinggalkan gadis ini? Kemana perginya keangkuhannya yang selama ini ia banggakan? Ah, ia masih mengharap. Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan cintanya, dan gadis ini sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang-kadang begitu mesra seakan-akan gadis itu pun mencintainya sungguhpun ingin memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi mengapa kadang-kadang begitu kejam menyerangnya dengan kata-kata sindiran? Setelah menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng mengikuti dari belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah hutan.
Benar saja seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang tampaklah berbondong-bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan mulai ramai dengan rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan hutan yang kecil akan tetapi sunyi.
"Mengapa mengungsi saja harus beramai-ramai seperti itu? Memenuhi jalan saja."
Lu Sian mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali pohon-pohon kecil berduri mengganggunya.
"Rakyat sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu bahwa mengungsipun tidak terlepas dari intaian bahaya gangguan orang jahat atau binatang buas maka mereka merasa lebih aman untuk melakukan pengungsian beramai-ramai. Pada perang sekacau ini biasanya orang-orang jahat suka mempergunakan kesempatan merampok."
"Hah, kau benar, koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau dengar itu?"
Kwee Seng mengangguk.
"Derap kaki banyak kuda dari belakang! Akan tetapi belum tentu perampok-perampok yang mengejar kita, Moi-moi."
Mereka berdua berhenti dan menoleh ke belakang.
Tak lama kemudian derap kaki kuda berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda yang membalapkan kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan mereka itu besar-besar dan ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih besar dan baik daripada kuda tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian. Sedangkan tiga orang penunggangnya adalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas. Pedang berukir indah bergantung dipunggung mereka, tangan kiri memegang kendali kuda, tangan kanan memegang cambuk. Melihat kesigapan mereka menunggang kuda, mudah diduga mereka itu adalah wanita-wanita yang pandai ilmu silat, apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang baik.
Yang terdepan paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya serba merah, yang kedua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan yang ketiga baru delapan belas tahun berpakaian serba hijau. Melihat raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik, dan sukar dikatakan mana yang paling cantik diantara mereka. Semua cantik dan pandang mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu diperbagus lagi dengan bedak dan yanci (pemerah bibir/pipi) sehingga menimbulkan kesan dihati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah gadis-gadis pesolek, seperti Ang-siauw-hwa. Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia lihat tak pernah memakai bedak dan yanci, sungguhpun hal ini memang tidak perlu karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu putih halus dan bibirnya selalu merah membasah, pipinya kemerahan seperti buah apel masak.
"Minggir! Minggir!"
Tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng menarik kendali kudanya, dipinggirkan.
Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula. Dua ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan tercium bau harum minyak wangi. Kuda ketiga yang ditunggangi gadis termuda, melambat dan gadis ini mengerling kearah Kwee Seng, lalu melempar senyum! Setelah melirik penuh arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan kudanya lagi. Kwee Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan Lu Sian. Gadis ini menggenggam jarum-jarum yang merupakan senjata rahasia dan yang tadinya hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu!
"Moi-moi, mengapa mencari gara-gara dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dan tidak ada permusuhan dengan kita?"
Lu Sian menjebirkan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee Seng, lalu menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya.
"Menjemukan! Koko, apakah kau selalu menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?"
Merah kedua pipi Kwee Seng.
"Bukan begitu, moi-moi. Aku hanya suka menolong kepada orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan tetapi mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau serang?"
"Tidak salah apa-apa? Ihh, kenapa matanya lirak-lirik seperti tukang copet?"
Kwee Seng tertawa geli mendengar ini.
"Tukang copet? Ha-ha, perumpamaanmu sungguh tak tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet? Dan lagi, aku Si Miskin ini apanya yang patut di copet?"
Lu Sian tersenyum juga.
"Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?"
Kwee Seng membelalakan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi putih dan lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya sebal dan sakit.
"Mari kita lanjutkan perjalanan!"
Akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian tetap tertawa-tawa ketika membedal kudanya dibelakang pemuda itu.
"Ah, kau terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan menyerahkan hatimu? Dia manis sekali, Kwee-koko! Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan!"
Berkali-kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus membalapkan kudanya. Akan tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali, buktinya sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga orang gadis itu. Pada hari keempatnya, setelah bermalam didalam hutan yang dingin, Kwee Seng dan Lu Sian melanjutkan perjalanan.
Di persimpangan jalan mereka melihat banyak orang pengungsi pula, akan tetapi anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan, sebaliknya mereka menuju ke utara! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga Kwee Seng terheran-heran sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi laki-laki yang sudah tua.
"Lopek, kalian semua hendak mengungsi ke manakah?"
"Kemana lagi kalau tidak ke benteng Naga Emas? Hanya disanalah tempat yang aman bagi kami, karena Kam-goan-swe (Jenderal Kam) berada disana."
"Mengapa dilain tempat tidak aman Lopek? Apakah yang mengancam keselamatan kalian?"
Kwee Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga mendengarkan dengan penuh perhatian. Mendengar pertanyaan ini kakek itu memandang heran.
"Kongcu datang dari manakah sehingga tidak tahu keadaan disini? Dimana-mana terdapat manusia-manusia serigala, bala tentara gubernur merajalela menganggu penduduk dan merampok harta memperkosa wanita dengan alasan membasmi pemberontak! Semua orang takut menentang Gubernur Li, hanya Kam-goan swe seorang yang berani melindungi kami. Kongcu dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya jangan melakukan perjalanan di daerah ini, berbahaya."
Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih itu.
"Lopek, masih jauhkah benteng itu dari sini?"
Tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil mengajukan kudanya.
Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya berkerut, tidak mau menjawab, malah lalu berjalan lagi dan timbul kemarahannya, membentak,
"Ah, Kakek! Apakah kau tuli dan bisu?"
Kakek itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel.
"Tidak ada wanita baik di jaman edan ini!"
Tentu saja Lu Sian makin marah. Melihat ini, Kwee Seng khawatir kalau-kalau Liu Sian akan turun tangan, maka ia cepat menggeprak kudanya, maju kedepan Lu Sian dan berkata kepada kakek itu.
"Lopek, sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa kau tidak mau menjawab? harap jangan salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita yang berhati mulia."
Lenyap kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum mendengar pujian ini. Adapun kakek itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian lalu menjura.
"Harap nona suka maafkan. Baru pagi tadi sini lewat pula tiga orang gadis seperti nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main, bahkan lima orang kami mereka pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk mereka lewat dengan kuda mereka yang besar-besar. Kalau nona hendak mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi, kurang lebih tiga li lagi dari sini."
Setelah rombongan itu bergerak lagi dan Kwee Seng mulai menggerakkan kendali untuk melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan berkata,
"Kwee-koko, kita berhenti disini, mencari tempat mengaso sampai nanti malam."
"Ah, mengapa begitu? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa yang harus berhenti disini?"
"Keadaan benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya juga pergi kesana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku hendak menyelidiki kesana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi."