"Kwee-koko, mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi Lo-cia, matamu berkilat marah! Seorang perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa itu, mana ada harganya untuk dibela?"
Memang ini termasuk sebuah diantara watak Lu Sian yang aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh wanita lain, biarpun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati dan cemburu! Dilain fihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak mengerti akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar teguran Lu Sian.
"Ah, mengapa kau bilang begitu, Sian-moi? Pelacur atau bukan, dia hanya seorang lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi kewajibanku untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah melihat kejahatan Ban-pi Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi dengan pendeta iblis itu!"
Makin tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian pelacur itu membuat Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Si Pelacur.
"Koko, apakah kau mencinta perempuan hina itu?"
Tiba-tiba ia bertanya, matanya memandang tajam. Kwee Seng juga memandang dan melihat sinar mata bening tajam itu bertambah kagumlah hatinya.
"Tidak, aku hanya kasihan kepadanya."
Jawab Kwee Seng, suaranya jelas menyatakan isi hatinya. Akan tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan keningnya dan mendesak lagi.
"Pernahkah kau jatuh cinta? Adakah seorang wanita yang kau cinta di dunia ini?"
Bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh selidik itu, muka Kwee Seng menjadi makin merah. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan perasaan, kemudian katanya.
"Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanya setelah bertemu dengan engkau, Sian-moi. Ah".. entahlah. Agaknya kalau ini yang dinamakan cinta, berarti aku jatuh cinta kepadamu!"
Mendengar kata-kata ini, lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata.
"Kwee-koko, mari kita melanjutkan perjalanan."
"Apa? Hampir tengah malam begini?"
Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian dan memanggil pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari-lari datang, ia cepat memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda mereka dan menyiapakannya di depan rumah penginapan.
"Mengapa tidak, Koko? Apa salahnya melakukan perjalanan malam? Setelah keributan tadi, aku tidak senang disini, ingin lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada ditempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar dapat aku enak memikirkan."
"Memikirkan sesuatu saja harus pergi tengah malam ditempat terbuka? Kwee Seng mengomel karena sesungguhnya ingin ia mengaso. Memikirkan apa saja, sih?"
Liu Lu Sian tersenyum manis,
"Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!"
Kwee Seng melongo dan pipinya menjadi merah, akan tetapi cepat-cepat ia pun mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan, melompat keatas kuda dan meninggalkan pelayan-pelayan yang memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran menyaksikan dua orang muda yang lihai dan royal itu, yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka sebelum pergi. Begitu keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya, Kwee Seng terpaksa mengikutinya dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis ini, pikirnya, dan hatinya berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan pengakuan cintanya kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini melakukan perjalanan setengah malam suntuk tanpa bicara dan Kwee Seng yang masih marasa malu karena pengakuan cintanya, tidak berani bicara sesuatu, hanya mengiringkan gadis itu dari belakang.
"He, paman tukang perahu! Mari kau seberangkan aku dan kudaku kesana! Berapa biayanya kubayar!"
Tukang perahu yang kurus dan bermata sipit memakai topi lebar itu segera meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang nelayan karena di atas dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring. Dibagian belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung bambu panjang.
"Baiklah, nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang yang lari mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana kesini. Sungguh heran sekali pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang kesana."
Kata si tukang perahu dengan suara penuh keheranan. Lu Sian menuntun kudanya dan mengajaknya melompat keatas dek perahu, sedangkan Kwee Seng mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan remang-remang kini ia dapat melihat wajah gadis itu, masih berseri-seri gembira dan cantik sekali. Kali ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum manis, akan tetapi juga tidak bicara apa-apa.
"Ah, Paman, kau tadi bilang apa?"
Ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu Sian bertanya.
"Orang-orang mengungsi dari sana? Ada terjadi apakah diseberang sana?"
Si Tukang Perahu memandang, keningnya berkerut.
"Apakah nona belum tahu? Daerah San-si mulai geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang ditumbangkan belum pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut. Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah perkasa itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh gubernur, dengan tuduhan memberontak. Ah.."
"Dan bagaimana dengan jenderal itu? Apakah ditangkap juga? Dan dimana dia sekarang?"
Lu Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu dengan hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap keributan negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi puluhan tahun yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang dan tanah air menjadi pecah-pecah karena diperebutkan. Entah berapa banyaknya sekarang raja-raja dan raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling curiga-mencurigai, seakan-akan sekelompok anjing masing-masing mendekap sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat manusia-manusia yang demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi, berebutan tak tahu malu, mempergunakan rakyat yang dipecah-pecah untuk memihak demi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di kalangan rakyat jelata yang selalu hidup miskin dan bodoh!
"Mana bisa Jenderal Kam ditangkap? Biar gubernur sendiri takkan berani menangkapnya, hanya berani menangkapi rakyat yang tak berdaya! Pula, tanpa adanya jenderal yang gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat bertahan terhadap serangan dari luar?"
"Paman yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?"
"Betul, bagaimana nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan tadi nona tidak tahu apa-apa tentang keributan di daerah San-si?"
Kini Kwee Seng mulai memperhatikan apalagi ketika disebut nama Kam Si Ek. Ia sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu, bahkan belum lama ini Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah memperlihatkan sikap dan wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan maut kepada seorang pengagumnya. Seorang pemuda gagah yang berwatak satria, tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauwcu ini. Laki-laki yang tidak tunduk oleh wajah cantik! Tidak seperti aku, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.
"Ah, Sian-moi. Kau menyebrang sungai ini, apakah hendak melakukan perjalanan ke utara? Mau kemanakah? Ingat, perjalanan ini adalah perjalananku, kau hanya ikut denganku,"
Kata Kwee Seng setelah tukang perahu itu pergi ke kepala perahu untuk membantu penyebrangan karena air mulai agak deras alirannya dan tidak amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga pembantunya yang masih anak-anak. Dengan kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung Kwee Seng serasa ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu!
"Kwee-koko, seorang suami boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya harus menghormati dan menuruti keinginan si isteri, tunangan pun bukan. Bagaimana aku harus selalu menuruti kehendakmu! Kau bukan suamiku, bukan tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau belum menurunkan apa-apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin ke utara, kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan kepandaian kepadaku yang berarti kau melanggar janji, terserah."
Kwee Seng mengeluh didalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya. Ia tertawa dengan sabar.
"Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau tajamnya. Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, kemana pun boleh. Akan tetapi kalau di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak kesana?"
Lu Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang mulai muncul dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon.
"Justeru karena ada perang aku ingin kesana. Aku hendak menonton keramaian! Kwee-koko, ada tontonan bagus, mengapa kita lewatkan begitu saja? Pula, melakukan perjalanan bersamaku, biarpun menempuh bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?"
Gadis itu mengerling, manis sekali dan Kwee Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada kepala gadis itu, membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi sinar keemasan!
"Kau cantik sekali, Moi-moi,"