Halo!

Suling Emas Chapter 20

Memuat...

Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng.

"Ahhh! Mengapa sampai begini?"

Nona itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh seorang pelayan.

Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan dan perang sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari gandengan tangan dan hilang. Yang hilang bernama Khu Gin In, Sedangkan yang masih dapat diselamatkan oleh pelayan itu adalah Khu Kim In. Anak ini lalu dipelihara pelayan itu, akan tetapi karena keadannya yang amat miskin, hampir saja mereka berdua mati kelaparan. Akhirnya, pelayan itu terjerat oleh cengkraman seorang pemilik sarang pelacuran bernama bibi Cang yang mau membantu mereka karena melihat betapa cantiknya anak perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama, hutang mereka berumpuk dan akhirnya, setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun, terpaksa Khu Kim In Dijual kepada bibi Cang sebagai pembayar hutang.

"Demikianlah, Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak dapat aku melepaskan diri dari cengkraman bibi Cang. Akan tetpai baiknya aku disayang oleh hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar sekitar tempat ini sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang dan aku agak bebas. Aku boleh memilih sendiri laki-laki mana yang akan kulayani, dan karena aku banyak mendatangkan hasil sehingga bibi Cang menjadi kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik serta mendapat kebebasan, malah aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal menyendiri. Akan tetapi semua ini kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu. Ayah bundaku tewas, Adik Gin In entah ke mana, dan aku harus mengorbankan kehormatan, menjadi perempuan hina yang dipandang rendah oleh orang-orang terhormat seperti kau"

Kembali Ang-siauw-hwa menangis. Bukan main terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya nasib gadis ini. Rasa haru dan kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu dengan halus dan menghibur.

"Sudahlah, Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu dan aku berjanji akan menebusmu dari bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan orang tua yang baik yang suka memungutmu sebagai anak. Adapun tentang nona Khu Gin In, biarlah perlahan-perlahan kucarikan untukmu."

"Ah, Kwee-kongcu kau menumpuk budi kebaikan padaku."

Ang-siauw-hwa menubruk kwee Seng dan menangis sambil mendekap dada pemuda itu dengan mukanya. Kini Kwee Seng tidak menolaknya, mengusap-usap rambut wanita itu dengan penuh perasaan kasihan dan sayang. Seorang puteri pangeran sampai begini, pikirnya.

Karena ia yakin bahwa semua sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan keluar dari setulusnya hati yang amat berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang memiliki kecantikan jarang keduanya ini. Setelah reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang-siauw-hwa berkata, suaranya mesra dan manja.

"Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko, kuharap kau suka mengajarku."

Hati Kwee Seng berdebar sebutan Kongcu (Tuan Muda) berubah menjadi Koko (Kakanda) ini.

"Sulingku remuk oleh si Hwesio jahanam."

Jawabnya, masih mengagumi rambut hitam halus panjang dan harum itu.

"Disebelah barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah ku suruh pelayan membeli untukmu."

"Tak usah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah sembarangan, harus dicoba dulu."

Malam itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi juga malam yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa cinta kalau saja ia tidak teringat bahwa nona ini adalah seorang pelacur! Di lain fihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta kepada Kwee Seng karena selama hidupnya, baru sekarang ia bertemu dengan pemuda yang tidak memandangnya sebagai seorang pelacur yang hina. Biasanya, laki-laki yang manapun juga hanya akan menganggap ia sebagai barang permainan, yang datang kepadanya dengan kandungan nafsu dan mengharapkan kesenangan dan hiburan daripadanya. Akan tetapi kwee Seng ini berbeda sekali, pemuda tampan ini menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama hidupnya!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang masih setengah tidur diatas pembaringan.

"Moi-moi, aku pergi dulu hendak mencari suling yang baik."

Dengan mata masih setengah meram, Ang-siauw-hwa mengembangkan kedua lengannya yang berkulit putih halus kearah Kwee Seng, lalu berkata, suaranya mesra dan penuh cinta kasih,

"Kwee-koko jangan kau tinggalkan aku lagi."

Kwee Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta wanita ini kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka saling cengkeram lalu Kwee Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum.

"Jangan kuatir, Moi-moi, aku takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau pandai bersuling! Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira sekali."

Lenyap sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati-matian melawan Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air telaga dan pohon-pohon di sekitarnya, tampak amat indah menyegarkan. Suara kicau burung pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini tersenyum, matanya bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan bibirnya tersenyum aneh kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa! Ia harus mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu yang pilihan tua dan kering betul. Benar seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, disebelah barat telaga itu terdapat seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa biarpun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat daripada bambu biasa saja.

"Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah Huang-ho, akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani membelinya."

Akhirnya Si Tukang Pembuat Suling itu berkata. Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.

"Mana bambu itu? Kenapa tidak dari tadi kau bilang? Keluarkanlah, biar aku melihatnya."

Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee Seng berkata,

"Jadilah. Harap kau buatkan suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya."

Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah hari, suling itu pun jadi dan setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa memang sudah tepat ukuran lubang-lubangnya. Kwee Seng membayar harga suling yang lima puluh kali lebih mahal daripada harga suling biasa, membeli pula sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat istirahatnya tak jauh dari telaga.

"Moi-moi, kau lihatlah suling ini!"

Di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya. Akan tetapi sunyi saja disebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua sosok tubuh malang-melintang dibelakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.

"Moi-moi"

Serunya dan mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang daun pintu kamar dan masuk kedalam kamar. Apa yang dilihatnya? Memang Ang-siauw-hwa berada disitu, akan tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi, Gadis itu telentang diatas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada, bajunya yang berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya dimana tampak menancap sebuah gunting! Kwee Seng Segera menubruknya, akan tetapi sekali pandang maklumlah ia bahwa nyawa gadis ini tak dapat ditolongnya lagi, karena gunting itu tepat menancap di ulu hati. Ia diam-diam heran mengapa Ang-siauw-hwa tidak mati seketika dengan tusukan seperti itu.

"Moi-moi siapa melakukan ini?"

Ia mengguncang-guncang pundak wanita itu. Ang-siauw-hwa membuka matanya yang sudah layu dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah.

"Kwee-koko kau datang terlambat tapi lebih baik begini tak mungkin aku dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadi lebih baik aku akhiri hidupku."

"Apa katamu? Kau membunuh diri? Tapi mengapa, Moi-moi?"

"Koko pada saat kau pergi datang hwesio iblis itu, ah".. dua orang pelayanku dibunuhnya dan aku aku.. Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah. Setelah bertemu dengan engkau setelah aku bersumpah setia hanya padamu seorang, kebiadaban hwesio itu membuat aku tak mungkin dapat melihatmu lagi di dunia ini aku aku, ah.. koko, aku cinta padamu kau carikan saudaraku Gin In"

"Moi-moi"

Akan tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang itu telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng. Pada saat itu, dari luar terdengar suara perempuan memanggil.

"Ang-siauw-hwa Kenapa kau dua hari tidak kembali ke kota? Aku menanti-nantimu, banyak tamu menanyakan kau,"

Lalu terdengar jerit wanita. Kwee Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang sudah melihat dua orang pelayan yang tewas, maka untuk tidak melibatkan diri dalam urusan pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang-siauw-hwa diatas pembaringan, menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu dan secepat kilat ia melompat keluar kamar melalui jendela, membawa jubahnya yang kemarin dipinjam Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya didekat tubuh pelacur itu.

"Demikianlah, Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi Lo-cia yang mengakibatkan sulingku hancur!"

Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada Liu Lu Sian. Tentu saja dalam cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya dengan Ang-siaw-hwa secara jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian menang segala-galanya. Kalau Ang-siauw-hwa diumpamakan setangkai bunga, maka pelacur itu adalah bunga botan yang tumbuh dilapangan rumput, tiada pelindung dan mudah dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu Lu Sian merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah terlindungi pohon besar, disamping itu sukar dipetik karena tertutup duri-durinya yang runcing.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment