Suling Emas Chapter 18

NIC

Permainan pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu yang amat dahsyat, yang biarpun sudah ia kenal gerakan-gerakan dan perubahannya, namun masih sukar untuk dihadapi! Diam-diam Ban-pi Lo-cia harus mengakui pendapat umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang bukan semata-mata tergantung kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang itu sendiri, kematangan dan kesempurnaannya memepelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku hati-hati terhadap pertapa, yang kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap wanita yang biasanya digolongkan orang lemah!

"Tar-tar-tar!!"

Sekali serang, cambuk itu sudah menyambar secara berturut-turut hanya selisih beberapa detik saja kearah ubun-ubun kepala, leher, lalu pusar. Kwee Seng menggerakkan suling menangkis serangan pada ubun-ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh mengubah kedudukan kaki untuk menghindarkan diri serangan pada leher. Adapun pecutan pada pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil menggerakan kipasnya kedepan menotok jalan darah pada siku lawan. Kalau totokan ini mengenai sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.

"Haiihhh!"

Ban-pi Lo-cia berseru keras, mengerahkan sin-kang dan ujung cambuknya terus melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia tangkis dengan ujung lengan sebelah kiri.

"Brettt!"

Robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu meleset tidak mengenai sasaran. Kwee Seng terkejut karena tak mampu menarik kembali sulingnya yang terlibat, maka ia menggerakkan kaki maju setengah langkah, mencondongkan tubuh kedepan dan melanjutkan gerakan kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan menendang kearah pusar! Diserang secara hebat ini, Ban-pi Lo-cia kembali berseru keras dan tubuhnya meloncat kebelakang. Ia berhasil menyelamatkan diri dari bahaya, namun sekali renggut dengan pengerahan tenaga oleh Kwee Seng membuat suling yang terlibat lepas dari ujung cambuk! Kwee Seng menahan rasa sakit pada telapak tangan yang memegang suling, terasa panas dan kesemutan.

"Hebat! Kau orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan kini tangan maut Ban-pi Locia!"

Seru raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri. Memang raksasa gundul ini mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita-wanita muda yang cantik dan berkelahi! Makin kuat lawannya, makin gembira hatinya dan makin muda cantik seorang wanita, makin tergila-gila dia sebelum mendapatkannya! Kini Dewa Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri dari lawannya, cambuknya digerakkan dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil, lingkaran yang telan-menelan membingungkan pandangan mata. Juga diselingi bunyi nyaring seperti halilintar menyambar-nyambar di waktu hujan gerimis.

Dengan cambuknya yang panjang, raksasa ini dapat menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa bahaya diserang kembali oleh lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek. Sambil menghujani lawan dengan lecutan cambuk yang merupakan jari-jari maut itu, Ban-pi Lo-cia lari mengelilingi Kwee Seng. Kagetlah hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti yang terkenal ini selain sakti, juga amat licik dan curang, tidak segan-segan menggunakan akal pengecut untuk mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa karena dia berada dalam lingkaran, kedudukannya berbahaya, dan membutuhkan ketenangan sepenuhnya untuk menghadapi serangan seperti itu. Maka ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri dengan kuda-kuda kaki sejajar di kanan kiri, tubuhnya agak merendah, suling diangkat tangan kanan tinggi melintang diatas kepala sedangkan kipas terbuka di tangan kiri melindungi bagian bawah.

Anehnya, Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan tetapi seakan-akan dapat melihat jelas, ia menggeser kaki setiap kali lawannya berada dibelakang tubuhnya. Serangan-serangan membanjir datang dari belakang, kanan dan kiri namun semua itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia kebut dengan kipas. Hebat bukan main pertandingan ini, namun merupakan pertandingan yang berat sebelah karena Ban-pi Lo-cia selalu menyerang sedangkan Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa mampu balas menyerang. Mengapa Kwee Seng meramkan kedua matanya? Apakah ia memandang rendah lawannya?

Bukan, sama sekali bukan! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa meramkan matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan ketenangan dan pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka bayangan yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan mata dan mengacaukan perhatiannya. Biarpun kedua matanya meram, namun sepasang telinganya cukup untuk menangkap gerakan lawan. Dan mengapa pula pendekar sakti yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa mencari kesempatan balas menyerang? Ini pun merupakan siasat baginya, karena dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya cepat lelah karena harus banyak bergerak dan lari-lari mengitarinya, sedangkan dengan penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu mempertahankan diri.

Orang-orang cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat daripada yang gerak. Gentong air yang penuh tak tersembunyi, yang kosong berbunyi nyaring. Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air yang diam dalam, yang bergerak dangkal. Demikian pula dalam dunia persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya daripada si penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang menjadi lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup diri mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat. Karena bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk beberapa jam lamanya Ban-pi Lo-cia lupa akan hal ini dan terus menerus menghujankan serangannya yang selalu sia-sia karena dapat ditangkis lawan.

Namun diam-diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini bukan lawan yang biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah. Juga dalam tingkat ilmu silat dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat sekali dan ia tidak berani mengaku sudah lebih pandai daripada lawan ini. Sulingnya sudah retak-retak dan kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai menangkis semua serangan itu. Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan tenaga menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar dari sepatunya. Ia mencari kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan cambuk keatas kepala membuat lingkaran-lingkaran baru untuk memulai serangkaian serangan dahsyat, tiba-tiba ibu jari itu menyentil kedepan. Segumpal tanah melayang cepat sekali memasuki lubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat menghantam jalan darah dibawah lengan Si Raksasa.

"Kyaaaa!"

Ban-pi Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya menjadi setengah lumpuh, matanya melotot heran dan kaget. Tentu saja Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat kedepan dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan kipasnya menghantamkan serangan-serangan maut.

Namun Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan segumpal kecil tanah tadi hanya membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini tangan kirinya sudah cepat menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian cambuk itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung didepan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya. Dalam menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lwee-kangnya. Terdengar suara keras ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya Keduanya terlempar ke belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan diatas tanah! Dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa gundul itu duduk di atas tanah sambil memandang dengan muka berseri,

"Heh-heh-heh, kau hebat orang muda!"

Kwee Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan tenaganya.

"Dan kau jahat, Ban-pi Lo-cia!"

Jawabnya. Kembali Si Raksasa gundul tertawa.

"Aku pernah mendengar sayup sampai tentang seorang tokoh berjuluk Kim-mo-eng, yang tingkat kepandaiannya sudah masuk hitungan. Agaknya kau kah orangnya?"

"Tidak salah, para Locianpwe memberi sebutan Kim-mo-eng kepadaku."

"Heh-heh-heh, masih muda sudah sombong, ya? Kau kira Ban-pi Lo-cia kalah olehmu? Kita masih seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita lanjutkan!"

Raksasa itu berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan kanan yang sudah pulih kembali. Kwee Seng juga bangkit berdiri.

"Aku selau melayani, kalau kau memang hendak berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu, kalau kau hendak melakukan hal-hal jahat!"

Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya melakukan pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak mengadu tenaga dalam pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga bahwa dalam hal tenaga dalam, ia menang setingkat. Dan hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat kesempatan balas menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan adu tenaga karena hal ini akan banyak merugikannya.

Sulingnya sudah retak dan kalau terus-menerus diadu dengan cambuk, tentu akan hancur sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak mengalami kerusakan apa-apa, Kwee Seng mengerahkan gin-kang (meringankan tubuh) dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih gesit daripada lawannya yang tua dan tinggi besar. Kini Kwee Seng benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan. Sebaliknya, tidaklah muda bagi Ban-pi Lo-cia untuk mengalahkan lawan yang amat kuat ini. Dalam benturan kedua yang sama dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.

Pertandingan telah setengah malam dan kini fajar mulai menyingsing, sinar merah mengambang di ufuk timur. Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepala masing-masing.

Posting Komentar