“Ah, dia tidak tahu apa-apa tentang barang-barang itu. Kong-kong tua menyerahkannya kepadaku dan aku tidak pernah bercerita kepadanya tentang itu”. Pada keesokan harinya, Shi Men mengutus mantunya, Cen, untuk pergi membawa suratnya kepada Jenderal Yang. Dan seorang pegawai yang dipercaya Li Pao diutus untuk menghubungi Pembesar Cai. Tentu saja mereka itu selain membawa surat, juga membawa uang dan barang hadiah lain untuk kedua orang pejabat tinggi itu. Tentu saja Shi Men tidak mempergunakan semua uang yang diterimanya dari Nyonya Hua, akan tetapi setengahnya saja jumlah uang itu sudah amat banyak!
Tibalah hari sidang pengadilan bagi perkara Hua Ce Shu. Semua orang menjatuhkan diri berlutut ketika Hakim Tinggi memasuki ruangan pengadilan. Hua sudah mendapat berita dari Shi Men bahwa untuk perkaranya ini, telah dilaksanakan jalan yang baik untuk memerintahkan pemeriksaan. Dan pemeriksaan itupun amat singkat dan lunak. Hakim hanya menanyakan apa saja sisa harta warisan dari Paman Hua. Hua Ce Shu menjawab bahwa sisa peninggalan itu hanyalah dua buah rumah gedung di kota dan sebuah di desa. Semua prabot rumah telah dibagi rata antara dia dan tiga orang saudaranya, sedangkan uang tunai yang tidak banyak telah dihabiskan untuk biaya pemakaman yang mewah. Hakim menerima keterangan ini dengan puas, lalu berkata memberi keputusan.
“Sukar memang menilai berapa besarnya harta dari seorang pejabat tinggi istana. Uang yang didapat dengan mudah, sama mudahnya terbuang. Karena kini peninggalannya hanya berupa dua rumah dan sebidang tanah, kami memutuskan agar Kepala Daerah Ceng-Hong-Sian menangani urusan ini. Tiga tempat itu harus dilelang, dan hasil pelelangan itu dibagi rata antara para keponakan yang menjadi ahli waris.” Tiga orang saudara Hua tentu saja merasa tidak puas dengan keputusan ini karena tadinya mereka mengharapkan akan mendapatkan lebih dari itu. Mereka berlutut dan memohon kepada hakim agar tetap menahan Hua Ce Shu sampai dia dapat membayarkan uang harta peninggalan Paman mereka yang mereka yakin tentu telah diberikan kepada Hua Ce Shu. Mendengar ini, Hakim Tinggi membentak marah.
“Kenapa kalian tidak mengajukan tuntutan pada saat kematian Paman kalian? Urusan ini telah kadaluwarsa. Mau apalagi ribut-ribut?” Demikianlah, Hua Ce Shu dibebaskan tanpa hukuman apapun.
Tentu saja semua ini terjadi karena pengaruh harta. Pada jaman itu, apa saja dapat dibeli dengan harta. Kehormatan, bahkan kebenaran dan kemenangan dapat dibeli dengan harta! Yang melarat tetap saja hanya mampu menangis menyesali nasibnya. Mendengar keputusan ini, sebelum suaminya pulang. Nyonya Hua segera memanggil Shi Men untuk diajak berunding. Ia mengusulkan agar tanah yang bergandengan dengan tanah Shi Men itu dibelinya sebelum terjatuh ke tangan orang lain. Shi Men membicarakan hal ini dengan Goat Toanio, namun isteri pertamanya itu menyatakan keberatan. Hal itu akan menarik perhatian orang dan akan membangkitkan kecurigaan Hua Ce Shu, katanya. Shi Men menunda keputusannya tentang tanah itu. Akan tetapi, Kepala Daerah menghendaki agar keputusan itu dapat dilaksanakan secepatnya dan agar tiga bidang tanah itu dapat segera dijual,
Maka Nyonya Hua lalu mengutus pelayannya, untuk menemui Shi Men dan memberitahukan bahwa Shi Men boleh mempergunakan sisa uang yang dititipkan kepadanya untuk membeli tanah itu. Shi Men tentu saja tidak berkeberatan dan membelinya dengan harta lima ratus empat puluh ons perak. Dua tanah yang lain dilelang dengan harga tujuh ratus ons dan tujuh ratus lima puluh ons perak. Hasil penjualan tiga bidang tanah ini dibagi rata di antara tiga orang penuntut. Hua Ce Shu tidak kebagian apapun! Tentu saja Hua Ce Shu yang mendadak menjadi bangkrut ini merasa bingung dan dia minta kepada isterinya untuk menanyakan kepada Shi Men apakah enam puluh potong perak yang diserahkan kepada Shi Men itu masih ada kelebihannya untuk dapat membeli sebuah rumah kecil-kecilan. Isterinya menyambut pertanyaannya ini dengan caci maki.
“Engkau setan bodoh! Selama ini yang kau kerjakan hanyalah berkeliaran ke rumah-rumah pelesiran, menghamburkan harta dan tidak memperdulikan rumah tangga! Sekarang kita bangkrut, siapa yang harus dipersalahkan kecuali engkau sendiri? Apakah yang dapat kulakukan, seorang wanita lemah tak berdaya, untuk menyelamatkanmu? Sepatutnya engkau berterima kasih bahwa dalam kecelakaan yang kau buat sendiri ini, masih ada Kongcu Shi Men yang menjadi seorang tetangga dan sahabat baik sehingga engkau terbebas dari hukuman. Dalam musim yang begini buruk, dengan susah payah dia mengirim utusan ke Kotaraja dan mengatur segalanya untuk keperluanmu. Dan sekarang, setelah engkau terbebas dari hukuman, telah menjadi orang bebas di atas kakimu sendiri lagi, dapat menghisap udara terbuka di luar kamar tahanan, engkau bersikap cerewet dan menggangguku dengan urusan sisa uang yang mungkin masih kurang untuk membebaskanmu. Bukankah engkau sendiri yang menulis surat padaku dari penjara, minta agar aku menggunakan semua perak itu untuk mengusahakan pembebasanmu? Bahkan andaikata engkau tidak menulispun, aku pasti akan melakukannya”.
“Memang benar, aku menyuruhmu menggunakan uang itu untuk usaha pembebasanku. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku mengharapkan kalau-kalau masih ada sisa dari uang yang banyak itu.”
“Huh, percuma saja bicara dengan orang keras kepala seperti engkau. Kalau saja engkcau tidak begitu tolol, tentu engkau tidak sampai terjatuh ke dalam perangkap orang lain. Sekarang engkau mengomel tentang biaya yang besar, seolah-olah engkau tidak tahu ke mana perginya tiga ribu ons perak itu. Apakah kau kira bangsawan-bangsawan tinggi seperti Paduka Sekretaris Tinggi Cai dan Jenderal Yang itu akan puas dengan sepotong dua potong perak saja? Dan apakah engkau kira Hakim itu akan membebaskanmu begitu saja tanpa apa-apa? Daripada mengomel dan mengeluh seperti ini, sepatutnya engkau mengundang penolongmu untuk menyatakan terima kasihnya dengan membuat pesta baginya, sekedar membalas jasa dan kebaikannya kepadamu. Sungguh memalukan engkau ini, manusia yang tidak mengenal budi sama sekali!” Hua Ce Shu hanya dapat menundukkan kepala dan menarik napas panjang. Pada keesokan harinya, Shi Men yang merasa. kasihan juga kepada sahabat itu, mengirim beberapa macam barang hadiah.
Untuk ini, Hua Ce Shu lalu mengirim undangan untuk pesta terima kasih. Dia bermaksud untuk minta pertolongan kepada sahabatnya itu dalam pertemuan ini, agar suka memberi perhitungan mengenai uang, titipan isterinya, dan andaikan sudah habis, dia bermaksud untuk meminta bantuan barang dua ratus ons perak. kepada Shi Men untuk menambah uangnya guna membeli sebuah rumah kecil. Akan tetapi, Hua Ce Shu memberitahukan keinginannya ini kepada isterinya. Inilah kesalahannya, karena mendengar niat suaminya, diam-diam Nyonya Hua mengutus Nenek Bi untuk menemui Shi Men dan menasihatkan agar Shi Men jangan memenuhi undangan itu dan sebaliknya mengirimkan suatu catatan perhitungan yang menyatakan bahwa semua uang itu telah habis dipergunakan untuk menyuap pembesar-pembesar dalam usaha membebaskan Hua Ce Shu.
Percuma saja Hua Ce Shu mengulangi undangannya sampai tiga empat kali. Shi Men tidak pernah muncul bahkan sengaja meninggalkan rumah. Ketika Hua Ce Shu mendengar bahwa sahabatnya itu tidak berada di rumah, dia merasa demikian kesal, putus asa dan berduka sampai dia jatuh pingsan. Hua Ce Shu sudah jatuh benar-benar. Rumah dan pekarangannya telah dijual dan jatuh ke tangan Shi Men. Dia harus dapat mencari sebuah tempat tinggal baru, padahal uangnya sudah habis sama sekali. Atas pertolongan para sahabatnya, dia akhirnya berhasil mengumpulkan dua ratus lima puluh ons perak dan dibelinya sebuah rumah sederhana di Jalan Singa. Akan tetapi, begitu pindah ke rumah baru ini, diapun jatuh sakit. Untuk memanggil tabibpun dia tidak mempunyai uang, dan isterinya sudah acuh saja.
Demikianlah kalau seorang isteri sudah melakukan penyelewengan. Ia dapat menjadi kejam sekali terhadap orang yang pernah dicintanya akan tetapi kini dibencinya itu. Dan semua ini sesungguhnya adalah kesalahan Hua Ce Shu sendiri. Ketika masih makmur dan sehat, dia hanya berkeliaran ke rumah- rumah pelesir, mengabaikan isterinya yang muda dan cantik sehingga isterinya itu terjerumus ke dalam perjinaan dengan pria lain untuk menghibur diri yang kesepian selalu ditinggal suami. Akhirnya, Hua Ce Shu meninggal dunia dalam usia dua puluh empat tahun! Waktu berkabung untuk seorang isteri selama lima minggu belum juga terlewat ketika Nyonya Hua mengambil keputusan untuk mengunjungi keluarga Shi Men. Selama hari-hari perkabungan ini, pikirannya lebih banyak menuju kepada Shi Men daripada kepada meja sembahyang suaminya.
Kebetulan sekali keluarga Shi Men merayakan hari ulang tahun Kim Lian dan ini menjadi alasan baginya untuk pergi berkunjung. Nyonya Hua datang berkunjung diikuti dua orang pelayannya yang masih ada, yaitu Tian Hok dan Nenek Bi. Ketika ia turun dari joli yang membawanya ke rumah bekas tetangganya itu, nampaklah bahwa di balik jubah berkabung yang menjadi pakaian luarnya, ia mengenakan sebuah gaun yang indah dan perhiasan yang cemerlang. la memberi hormat dengan bersoja empat kali kepada Goat Toanio, kemudian ia memberi hormat kepada isteri-isteri lain yang diperkenalkan kepadanya. Nenek Bi lalu menyerahkan sekantung penuh barang-barang hadiah ulang tahun untuk Kim Lian. Dengan keramahannya. Nyonya Hua cepat dapat akrab dengan isteri-isteri Shi Men, terutama sekali dengan Goat Taoanio yang disebutnya Toa-Ci (kakak perempuan tertua).
Berpestalah para wanita cantik itu sambil beramah-tamah. Para isteri Shi Men merasa suka kepada Nyonya Hua yang pandai membawa diri. Shi Men sendiri setelah larut malam baru pulang karena dia berpesta dengan teman-temannya di Kuil Istana Kumala. Bukan main girang rasa hati Nyonya Hua ketika pada malam hari itu ia memasuki jolinya dan pulang. la merasa bahwa ia telah berhasil mengambil hati para isteri Shi Men. la tidak khawatir akan menemukan lawan kalau sewaktu-waktu ia diboyong ke keluarga itu sebagai isteri termuda dari Shi Men. inilah tujuannya sejak ia mempunyai hubungan gelap dengan pria itu. Dalam pertemuan tadi, ia mendengar dari Kim Lian bahwa kini tembok pemisah antara bekas rumahnya dengan rumah keluarga Shi Men telah dibongkar, dan Shi Men akan membuat sebuah bangunan baru di tempat itu.
“Semua itu dibangun untukku.” Kim Lian menambahkannya. “Untukmu,” pikir Nyonya Hua.
Beberapa hari kemudian, Shi Men, atas nama isteri pertama, mengirimkan barang-barang hadiah kepada Nyonya Hua berupa seguci anggur yang baik, beberapa mangkok masakan lezat, dan kain sutera sulaman. Sebagai balasan, Nyonya Hua lalu mengirim lima kartu undangan untuk para isteri Shi Men, juga undangan rahasia untuk Shi Men sendiri yang diharapkan datang berkunjung agak malam setelah isteri-isterinya pulang. Undangan itu diterima dan empat orang isteri Shi Men datang berkunjung dalam joli. Hanya Sun Siu Oh, isteri ke empat yang tidak datang karena ia harus menjaga rumah. Nyonya Hua menerima dan menyambut mereka itu dengan gembira. Setelah lima orang wanita cantik itu makan minum sambil bercakap-cakap, Nyonya rumah mengajak para tamunya untuk naik ke loteng dan nonton keramaian pasar di depan rumah itu dari jendela di depan loteng.
Kebetulan sekali rumah Nyonya Hua berhadapan dengan Pasar Lentera dimana dijual bermacam-macam lentera yang serba indah. Pasar itu dikunjungi banyak orang karena mereka membutuhkan lentera- lentera juga kue-kue untuk merayakan hari Tahun Baru yang menjelang tiba. Segala macam bunga terdapat di situ, yaitu lentera-lentera yang berbentuk bunga-buga indah beraneka warna, dari bunga teratai sampal bunga salju, juga terdapat lentera dalam bentuk manusia dan binatang-binatang. Ada bentuk wanita cantik, pemuda-pemuda tampan, ada pula bentuk Pendeta-Pendeta gendut, bahkan bentuk setan-setan dan iblis-iblis yang menakutkan. Ada pula binatang onta, kera, gajah dan lain-lain juga ikan-ikan yang menyeramkan. Pengunjung pasar itu juga terdiri dari bermacam orang, Hampir semua golongan dapat ditemukan di dalam pasar itu.
Lima orang wanita cantik itu senang sekali melihat keadaan yang dapat dilihat dan didengarkan di bawah kaki mereka, terutama Kim Lian dan Yu Lok. Ketika tiga wanita yang lain sudah turun, mereka berdua ditemani oleh dua orang gadis penyanyi yang dipanggil Nyonya Hua untuk meramaikan perjamuan mereka, masih tinggal di belakang jendela loteng, nonton keramaian di bawah. Suasana di bawah itu sudah menbayangkan keramaian Tahun Baru, gaduh dan gembira. Dalam kegembiraanya, tirmbul kegenitan dan kenakalan Kim Lian. la makan kwa-ci dan menyemburkan kulit kwa-ci ke bawah sehingga mengenai kepala mereka yang lewat. Ketika orang-orang di bawah itu menengok ke atas, mereka tertegun dan terpesona melihat begitu banyak wanita cantik berada di balik jendela loteng. bukan hanya cantik wajahnya, akan tetapi juga berpakaian indah sekali.
“Hemmm..., mereka tentulah selir-selir Pangeran” kata seorang laki-laki muda sambil memandang kagum.
“Tentu mereka selir-selir Pangeran dari istana yang memiliki perkebunan di timur itu,” kata yang lain.
“Atau dewi-dewi rumah pelesiran yang didatangkan oleh orang kaya untuk menggembirakan Pesta Lentera,” kata orang ke tiga
“Aih, kalian ngawur saja!” cela orang ke empat. “Mereka tentu selir-selir Pangeran Neraka sendiri kalau bukan selir selir hartawan Shi Men yang memiliki toko obat dl dekat benteng dan menjadi sahabat baik dari semua, pejabat kita, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.”
Mendengar ini, hati Kim Lian merasa tidak enak dan pada saat itu, Goat Toanio memanggilnya, maka iapun tidak dapat mendengar kelanjutannya percakapan di bawah itu karena ia bersama Yu Lok dan dua orang gadis penyanyi itu harus segera turun. Menjelang senja, Goat Toanio mengajak Siu Oh pulang. Kim Lian dan Yu Lok masih tinggal di situ karena mereka ingin melihat sampai lentera-lentera dinyalakan. Sementara itu, Shi Men bergembira dengan dua orang sahabat baiknya, Ying Po Kui dan Cia Si Ta, akan tetapi diam-diam dia menanti datangnya malam dan dia sudah janji dengan Nyonya Hua untuk datang berkunjung. Setelah malam tiba, Shi Men Sudah tidak sabar lagi itu meninggalkan dua orang sahabatnya di rumah pelesiran dan bersicepat pergi ke rumah Nyonya Hua di Jalan Singa. Kedatangannya disambut senyum manis oleh wanita cantik itu,
“Hampir saja engkau berpapasan dengan isterimu ke tiga dan kelima” ia berkata lirin. “Mereka baru saja pergi” Nyonya Hua mempersilakan Shi Men duduk ruangan tamu yang terhias indah itu, diterangi lampu-lampu dengan lentera indah, dihangatkan dengan perapian, dan diharumkan dengan dupa wangi, Nyonya itu lalu berlutut mempersembahkan arak selamat datang dan berkata dengan suara merdu dan penuh perasaan.