Halo!

Si Tangan Halilintar Chapter 35

Memuat...

"Begitulah keadaan dunia ini, Kui Siang. Kita manusia dipermainkan oleh keadaan yang selalu bertentangan. Kerajaan Mancu, dalam hal ini tentu saja para pucuk pimpinannya, angkara murka dan menjajah tanah air kita. Tentu saja rakyat Mancu membela negaranya sebagai warga negara yang berbakti kepada bangsa dan tentu saja olehbangsa Mancu sendiri para pembela negara itu dianggap sebagai pahlawan. Ayah tirimu adalah seorang Pangeran Mancu bernama Abagan. Dia seorang yang cerdik dan dia sengaja menyamar menjadi seorang Han bernama Thio Ci Gan yang menjadi panglima kerajaan Mancu. Tentu saja dia seorang warga negara Mancu yang baik karena membela kerajaan bangsanya. mungkin saja diapun seorang yang baik seperti yang kaukatakan tadi. Namun bagi kami, dia adalah seorang kaki tangan penjajah yang amat jahat, yang menindas bangsa kami. Mungkin saja pribadinya baik, akan tetapi sifat pekerjaannya adalah jahat. Kami golongan pejuang selalu menentang dan memusuhi para pembesar Mancu, tiada bedanya bagi kami apakah mereka itu berpribadi baik atau buruk, karena mereka merupakan kaki tangan penjajah yang menindas rakyat."

Kui Siang mendengar banyak keterangan dari Ma Giok sehingga ia mulai mengerti tentang perjuangan para pen dekar. Apalagi setelah ia mendengar tentang sepak terjang ayah kandungnya, Bu Kiat, yang mengorbankan nyawa demi perjuangan melawan penjajah Mancu. Bangkit pula semangatnya dan diam-diam iapun bersukur bahwa suaminya tewas sebagai seorang pejuang, bukan sebagai antek penjajah.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka menuju Thai-san. Dalam perjalanan jauh yang makan waktu lama itu Ma Giok bersikap baik, kebapakan, sopan dan penuh perhatian terhadap Kui Siang sehingga Kui Siang merasa bersukur dan berterima kasih. Juga Kui Siang merasa kasihan sekali melihat nasib! Ma Giok, mendengar betapa isterinya telah meninggal dunia dalam keributan perang, bahkan belum lama ini, ketika terjadi pertempuran menentang Thio-ciangkun, puterinya yang bernama Ma Hong Lian, anak tunggalnya, juga tewas. Kini Ma Giok juga sebatang kara, namun pendekar itu sama sekali tidak pernah memperlihatkan kesedihan, walaupun sebagian rambutnya mendadak telah berubah menjadi putih!

****

Ke mana perginya Nyonya Bu, ibu ndung Bu Kui Siang? Nasib nyonya ini memang amat menyedihkan. Dalam usia muda, baru dua puluh tahun, sebagai seorang ibu dari anak yang berusia dua tahun, ia telah ditinggal mati suaminya, panglima Bu Kiat, dan ia sendiri bersama puterinya yang masih keell mennjadi seorang tawanan Thio-ciangkun, panglima pasukan Mancu. Kemudian ia diambil isteri muda oleh Thio-ciangkun walaupun hatinya menolak, mengingat bahwa Thio-ciangkun adalah musuh mendiang suaminya yang menyebabkan kematian suaminya, namun terpaksa Nyonya Bu menerima karena Thiociangkun mengancam akan membunuh anaknya yang baru berusia dua tahun itu. Demi keselamatan anaknya, ia mengorbankan dirinya.

Memang harus diakuinya bahwa Thio-ciangkun mencintanya, juga pembesar itu menyayang Kui Siang seperti anak sendiri. Akan tetapi hati nyonya ini menjadi semakin sakit ketika akhirnya ia mengetahui bahwa suaminya yang memakai nama Thio Ci Gan itu sebetulnya seorang Pangeran Mancu bernama Abagan. Akan tetapi hal ini disimpannya dalam hati sebagai rahasia dan tidak memberitahukan kepada puterinya. Sikap baik Thio- ciangkun terhadap dirinya dan juga terhadap Kui Siang agak menghibur hatinya. Maka iapun bertahan menjadi isteri Thio-ciangkun sampai delapan belas tahun lamanya.

Akan tetapi, pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa suarminya, dalam memberantas gerombolan pemberontak, telah menawan seorang yang bernama Ma Giok. Dari para pelayan dan pengawal ia mendengar bahwa Ma Giok itu seorang pemimpin pemberontak. Ketika mendapat kesempatan mengintai, ia terkejut sekali mengenal Ma Giok sebagai Ma- ciangkun, panglima yang menjadi rekan mendiang suaminya ketika sama-sama membantu pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi! Maka, iapun dengan lembut dan tidak mecolok ikut membujuk suaminya agar jangan nembunuh Ma Giok, dengan alasan yang lama seperti dikemukakan Lauw Heng San bahwa dengan memenjarakannya, maka dapat memancing datangnya para pemberontak lainnya. Kemudian datanglah peristiwa, yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu Lauw Heng San, mantunya, mengamuk dan membunuhi para jagoan, bahkan juga Thio-ciangkun dibunuhnya sehingga mati sampyuh. Mantunya itu dibantu oleh para pendekar yang memberontak. Dalam keributan ini, Nyonya Bu yang telah menjadi Nyonya Thio itu mencari puterinya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia tidak dapat menemukan puterinya. Sementara itu pertempuran masih berlangsung hebat dan bahkan terjadi pembakaran gedung! Nyonya Bu menjadi panik dan iapun melarikan diri lewat pintu belakang. la maklum bahwa malapetaka telah menimpa dirinya lagi. Lauw Heng San telah bersatu dengan pemberontak. Hal ini tentu akan berakibat buruk sekali terhadap diri puterinya, Bu Kui Siang. Dan ia sebagai ibunya pasti akan terlibat pula. Oleh karena itu, wanita yang berusia empat puluh tahun itu dapat mengambil seekor kuda dari belakang gedung dan ia melarikan diri keluar dari kota Keng-koan dengan menunggang kuda. Walaupun bukan seorang ahli, namun sedikit banyak Nyonya Bu pernah belajar ilmu silat di waktu muda dan iapun pandai menunggang kuda. la terus membalapkan kudanya keluar dari pintu gerbang kota Keng-koan sebelah barat.

Karena panik melihat mantunya mengamuk, gedung terbakar dan puteri nya melarikan diri, Nyonya Bu Iupa sehingga dalam pelariannya itu ia tidak membawa apapun kecuali pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuhnya. Akan tetapi pakaian dan perhiasan yang dipakainya itu cukup indah dan berharga untuk menarik perhatian gerombolan yang jahat. Pada masa itu, pemerintah Ceng (Mancu) baru saja berhasil menumpas perlawanan Jenderal Gouw Sam Kwi sehingga pemerintah yang baru saja menang itu belum sempat mengatur keamanan di seluruh Cina yang teramat luas itu. Oleh karena itu, dalam suasana yang keruh itu, di mana pasukan penjaga keamanan belum banyak, terjadilah Hukum rimba dan orang-orang yang kuat badannya namun lemah batinnya, dikuasai Nafsunya sendiri dan bertindak sewenang-wenang. Kecenderungan manusia yang menjadi jahat untuk menyenangkan diri, Merajalela karena pemerintah baru masih belum sempat membenahi keamanan. tambah lagi dengan adanya sikap pemberontak dari rakyat yang sebagian besar tidak suka melihat tanah air dikangkangi orang Mancu dan bangsanya dijajah. Maka keadaan menjadi kacau dan orang-orang mempergunakan setiap kesempatan untuk mencari kesenangan mengumbar nafsu tanpa memperdulikan bahwa perbuatan mereka itu keji dan jahat.

Setelah membalapkan kudanya selama setengah malam. dan pagi harinya, akhirnya Nyonya Bu terpaksa menghentikan larinya kuda yang sudah hampir ambruk karena kehabisan napas dan kelelahan itu. la berhenti di sebuah jalan yang sepi, yang terletak di an tara dua buah bukit. Suasana di situ lengang dan sunyi sekali. Mahatari mulal menyinarkan cahayanya yang hangat, ( di depan sana tampak gerombolan pohon,menandakan bahwa itu adalah sebuah hutan. Nyonya Bu juga lelah sekali namun hatinya merasa lega karena ia sudah dapat menlnggalkan kota Keng-koan. la tahu bahwa ia sudah berada jauh darl Kengkoan, namun tidak tahu la berada dl mana dan lebih tldak tahu lagi la hendak pergi ke mana. la sudah tidak mempu yai keluarga lagi. Puterinya, satu-satunya keluarga, tidak tahu pergi kemana. Mungkin keluarga Thio-ciangkun masih ada. Mungkin putera-puteranya masih ada. Akan tetapi selama ini ia merasa asing dari keluarga suaminya itu. Kluarga suaminya dan isteri pertama suaminya adalah keluarga Mancu dan la sebagai seorang wanita Han agaknya dipandang rendah dan diasingkan. Kalau saja Thio-ciangkun tidak menyayang ia dan puterinya, mungkin sudah lama mereka berdua diusir dari gedung Thioiangkun.

Nyonya Bu melepas kendali kuda dan membiarkan kudanya minum dari air anak sungai kecil yang mengalir di dekat dan, lalu makan rumput yang tumbuh subur di situ. Ia sendiri kelelahan dan duduk di atas batu di bawah sebatang pohon. Hatinya sedih dan bingung. Sebelum melarikan diri, ia mendengar bahwa suaminya dan mantunya saling bunuh, berkelahi dan mati sampyuh keduanya tewas. Puterinya menghilang gedungnya terbakar dan ia kehilangan segala-galanya. Akan tetapi Nyonya Bu tidak menangis, melainkan termenung bingung. Air mata wanita itu sudah habis ditumpahkan dalam tangisnya selama bertahun-tahun semenjak ia ditinggal mati Bu Kiat, suaminya yang pertama. la mengorbankan dirinya, membiarkan dirinya diperisteri Thio-ciangkun yang ia ketahui adalah Pangeran Abagan. Hatinya sudah mengeras dan ia hanya dapat merasakan bahagia kalau melihat puterinya, Bu Kui Siang, hidup berbahagia. Akan tetapi sekarang mantunya tewas dan Kui Siang menghilang. Habislah sudah segalanya. Dan ia merasa kesepian bukan main, tak tahu apa yang harus ia lakukan dan ke mana ia harus pergi.

Karena semalam menunggang kuda dan tubuhnya penat sekali, duduk di bawah pohon yang melindunginya dari sengatan matahari pagi, dihembus angin yang bersilir lembut dan sejuk, nyonya Bu tidak dapat menahan rasa kamuknya lagi. Ia bersandar pada batang pohon dan sebentar saja ia sudah tertidur nyenyak.

Entah berapa lama ia tertidur pulas, nyonya Bu tidak tahu. Ia terbangun karena merasa rambutnya ada yang menarlk-narik. Ketika ia terbangun dan lembuka matanya, tidak ada siapa-silapa di situ. Karena masih mengantuk, iapun memejamkan kedua matanya kembali. Baru saja matanya terpejam, ia merasa betapa kedua kakinya tersentuh sesuatu. Cepat ia membuka kedua matanya dan kini ia terbelalak, sadar betul melihat kedua kakinya sudah telanjang, tidak bersepatu lagi. Kedua sepatunya telah hilang, entah ke mana dan bagaimana. Selagi ia kebingungan menghadapi peristiwa aneh hilangnya sepasang sepatunya, tiba-tiba terdengar suara orang terkekeh yang datangnya dari atas. Cepat ia menengadah dan sepasang matanya terbelalak heran dan juga ngeri. Di sana, di atas pohon yang sandarinya tadi, tampak seorang nenek duduk nongkrong di at as sebatang cabang pohon, terkekeh-kekeh dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang (bergantungan) itu diayun-ayun dan kedua kaki itu mengenakan sepasang sepatunya yang hilang! Tangan kanan nenek itu meraba-raba rambutnya dan Nyonya Bu melihat bahwa rambut yang sudah penuh uban itu terhias benda cemerlang yang bukan lain adalah hiasan rambutnya sendiri yang berbentuk seekor burung merak terbuat dari emas dan permata. Dengan heran ia meraba kepalanya dan benar saja, hiasan rambutnya sudah tidak ada. Teringatlah ia bahwa tadi.ia terbangun karena merasa rambutnya ada yang meraba dan menarik-narik. Kiranya nenek itu yang mencuri hiasan rambut dan sepasang sepatunya! Akan tetapi, ia tidak berani menyatakan perasaan marahnya, bahkan merasa seram dan ngeri. Nenek itu memang menyeramkan, apalagi dilihat dari bawah, sedang duduk ongkang-ongkang di tempat tinggi seperti itu. Sukar ditaksir usianya karena muka itu tidak karuan. Memang masih ada garis-garis kecantikan membekas pada wajah itu, akan tetapi kecantikan yang mengerikan karena sepasang mata itu melirak-lirik, terkadang terbelalak mencorong, terkadang menyipit lucu dan aneh, hidungnya cengar- cengir dan mulutnya memakai gin-cu merah tebal sekali, bibirnya mencap-mencep, senyum-senyum mengejek dan mencibir, dan bergerak-gerak bicara lirih tak jelas artinya. Kulit muka itu dibedaki putih tebal seperti tembok dikapur. Rambutnya memang bersih dan panjang, akan tetapi tidak disisir dan dibiarkan riap-riapan dak karuan, dan rambut itu sudah berrwama dua namun mengkilap. Pakaianya juga aneh. Berkembang-kembang, dari kain yang bersih dan baru, akan tetapi penuh tambal-tambalan, tambalan kain baru lagi. Meremang rasa bulu tengkuk Nyonya Bu. Nenek gila! Tentu orang nenek yang gila dan menyeramkan sekali, lebih pantas disebut hantu daripada manusia. Tubuhnya kurus dan biarpun sukar mengetahui usianya, namun dilihat rambut yang sudah berwama dua dan garis-garis di sekitar kedua matanya, tentu usia nenek itu sudah lebih dari enam puluh tahun.

"Hi-hi-hehe-heheheh............!" Nenek itu terkekeh-kekeh dan memandang ke arah dua buah kakinya yang bersepatu, seperti anak kecil bergembira karena memakai sepatu baru.

Nyonya Bu menabahkan hatinya yang merasa seram. Ia tidak perduli kalau hiasan rambutnya yang mahal diambil nenek itu, akan tetapi sepatu itu amat ia perlukan. Tanpa sepatu, bagaimana ia dapat melakukan perjalanan? Kaki yang sudah puluhan tahun selalu memakai alas tentu akan terasa nyeri kalau dipakal berjalan telanjang saja. "Heii...... nenek yang baik! Kembalikan sepasang sepatuku dan engkau boleh memiliki hiasan rambut itu! Kemballkan kepadaku!"

Akan tetapi nenek itu hanya tertawa ha-ha-he-he tanpa memperdulikan Nyonya Bu sama sekali, bahkan ia lalu mengambil beberapa helai daun pohon dan dimasukkan daun-daun itu ke mulutnya lalu dimakannya dengan enak! Nyonya Bu bergidik. Daun-daun pohon itu kasar dan sama sekali tidak biasa dimakan orang.

"Hee! Ini ada seekor kuda! Wah, kuda yang besar bagus, tentu mahal sekali harganya!" "Dan ini ada seorang cantik sekali. Biar tidak muda lagi, namun cantik jelita bahkan!"

"Ha-ha-ha, beruntung sekali kita pagi ini! Kuda itu boleh kita jual dan hasilnya dibagi antara kalian berempat, akan tetapi kuda betina cantik ini untuk aku sendiri, kalian tidak boleh menggangguya”

Tiba-tiba muncul lima orang laki-laki. Empat orang diantara mereka menangkap dan memasangkan kendali kuda yang tadi dilepas Nyonya Bu, sedangkan yang seorang lagi menghampiri wanita itu. Nyonya Bu terkejut dan sekilas ia mendongak, akan tetapi nenek gila itu sudah tidak tampak di atas pohon lagi. la bangkit dan memperhatikan lima orang itu dan merasa gelisah. Mereka itu jelas bukan orang baik-baik. Wajah mereka bengis, pakaian lusuh dan sikap mereka kasar sekali. Yang menghampirinya adalah seorang laki- laki gemuk pendek dengan kepala besar, usianya sekitar empat puluh tahun dan dia memegang sebatang golok besar, matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti hendak menelannya bulat-bulat! Nyonya Bu merasa ngeri dan ia mencoba untuk menyelamatkan diri dengan gertakan.

"Jangan ganggu aku! Aku adalah isteri Thio-ciangkun panglima di Keng-koan! Kalau kalian berani mengganggu, pasukan keamanan akan datang menangkap kalian!"

Akan tetapi mendengar ucapan itu, lima orang kasar itu tertawa bergelak, dan si pendek gendut itu tertawa sampai perutnya bergelombang. "Ha-ha-haha Thio-ciangkun dan pasukannya sudah hancur binasa oleh para pejuang semalam dan engkau hendak menggertak kami, manis? Mari, ikutlah dengan aku dan engkau akan hidup senang!" Setelah berkata demikian, kepala gerombolan Itu menubruk dengan kedua tangan terpentang di kanan kiri.

Melihat ini, Nyonya Bu yang pernah belajar silat itu cepat mengelak ke kiri lalu kaki kanannya menendang ke arah perut yang gendut itu. Akan tetapi sejak menjadi isteri Thio- dangkun de lapan belas tahun yang lalu ia tidak pernah lerlatih, gerakannya menjadi kaku, lambat dan tidak bertenaga.

"Bukk........ bretttt....... !" Biarpun kakinya mengenai perut si gendut, namun ia merasa seperti menendang sebuah karung penuh gandum saja, dan elakannya juga kurang cepat sehingga tangan kanan kepala gerombolan itu masih dapat nencengkeram pundak bajunya sehingga bajunya terobek. Tampaklah kulit pundaknya yang putih mulus.

"Ha-ha-ha-ha, kakimu kecil mungil dan lunak dan kulit tubuhmu....... waaahh, putih mulus.......... hemmm, hebat sekali.........!" si pendek gendut menjadi semakin bergairah dan ia sudah bergerak hendak menubruk lagi, ditertawai oleh empat orang anak buahnya yang sudah dapat menguasai kuda. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencuit dan tampak sinar hijau menyambar ke arah muka kepala gerombolan itu.

"Cuiiiittt........ capp........ aauugghhhh....... !" Tubuh si gendut pendek, terjengkang dan darah muncrat membasahi mukanya. Sehelai daun telah menancap di dahi, antara kedua matanya dan tubuhnya yang pendek gendut itu berkelojotan sebentar lalu diam, tewas seketika.

Nyonya Bu terkejut sekali dan terbelalak memandang mayat kepala gerombolan yang menggeletak terlentang di depannya. Empat orang anak buah gerombolan itupun terkejut dan sejenak mereka hanya terbelalak memandang. Kemudian mereka menjadi marah sekali. Mereka mengira bahwa pemimpin mereka tentu dibunuh oleh Nyonya Bu. Maka tanpa dikomando lagi mereka berempat mencabut golok dan menyerbu ke arah wanita itu dengan golok terangkat, siap untuk membacok, dan mulut mereka mengeluarkan teriakan marah. Nyonya Bu hanya tertegun, tak mampu bergerak dan sudah pasrah karena ia tahu bahwa tidak mungkin ia melepaskan diri dari ancaman orang itu.

"Cuit-cuit-cuit-cuitt ……. !" Empat sinar hijau menyambar dari atas dan empat orang pendajahat itu tersentak ke belakang seperti diterjang sesuatu, mulut mereka mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuh mereka terjengkang. seperti halnya pemimpin mereka, di dahi masing-masing menancap sehelai daun dan agaknya daun itu menanxap dalam sekali sehingga darah muncrat-muncrat, mata terbelalak, tubuh berkelonjotan sebenntar lalu terdiam. Mereka semua tewas seketika!

Suasana yang sunyi menyeramkan menyusul peristiwa mengerikan itu. nyonya Bu hanya berdiri terbelalak, memandang lima mayat di depannya dan merasa kedua kakinya lemas. Ditahan-tahannya agar tidak roboh pingsan saking ngerinya. Tiba-tiba terdengar suara tawa aneh itu dari atas, terkekeh-kekeh.

"Hi-hi-'heh-heh-heh-heh!” Nyonya Bu mendongak dan melihat nenek gila tadi sudah duduk pula di atas sebatang batang pohon, kedua kakinya yang bersepatu itu terayun-ayun dan sambil matanya melirak-lirik menggelikan, mulutnya tersenyum mengejek dan iapun bernyanyi dengan suaranya yang melengking tinggi sehingga terdengar aneh sekali, membuat Nyonya Bu mengkirik (berdid bulu romanya).

"Yang hidup harus mati agar yang mati bisa hidup Yang hidup mematikan agar yang mati menghidupkan Haya-haya.mo ya-ya-ya "

Nyonya Bu merasa ngeri. Apakah la yang hidup juga akan dibunuh? Diam-diam ia meraba gagang pisau belati yang tadi dibawanya dari rumah untuk berjaga diri dan yang tadi belum sempat ia pergunakan karena lupa. Akan tetapi pada saat itu iapun menyadari bahwa si nenek gila itu adalah seorang yang sangat sakti, yang dapat membunuh lima orang jahat yang kuat itu hanya dengan sehelai daun! Bagaimana mungkin itu? Akan tetapi kenyataannya begitulah. Lima orang itu semua tewas hanya karena daun pohon yang menancap di dahi mereka masing-masing. Daun yang basah dan lunak! Dan bagaimanapun juga, nenek gila itu telah menyelamatkannya dari malapetaka yang mungkin lebih mengerikan daripada maut sendiri. Tiba-tiba dalam keputus-asaannya tadi, dalam kesendiriannya, ia seperti mendapatkan pegangan kuat. Mengapa tidak? Cepat Nyonya Bu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah nenek yang duduk di atas pohon itu.

"Bibi yang sakti..... bibi yang budiman "

"Hushh!" Nenek itu memotong dengan marah. "Memangnya aku ini bibimu? Kapan aku kawin dengan pamanmu? Hihi-heh-heh-heh! Kurang ajar kamu! Aku ini Kui-bo (Biang Hantu), sebut aku Kui bo atau.... kamu ingin menemani lima orang itu?" Cuiiiitt ! Sinar

hijau neluncur dan sehelai daun menancap di atas batu dekat Nyonya Bu. Wanita ini terbelalak pucat. Sehelai daun dapat nenancap dalam sebuah batu yang keras! mustahil, akan tetapi kenyataannya demikian!

"Kui-bo.......!" Nyonya Bu menyembah berulang-ulang. "Ampunkan saya. Saya menghaturkan beribu terima kasih "

"Tidak cukup! Sepatutnya berlaksa!" nenek i tu terkekeh lagi. Dasar gila, pikir Nyonya Bu. Apa boleh buat, ia harus menaati perintah nenek gila itu. "Baiklah, Kui-bo. Saya menghaturkan berlaksa terima kasih atas pertolongan Kui-bo menyelamatkan saya dari ancaman orang jahat ini."

"Huh, siapa jahat? Mereka itu bukan jahat, melainkan gilal ya, gila basah" Nenek itu kembali tertawa terkekeh-kekeh sehingga biarpun merasa ngeri, akan tetapi Nyonya Bu juga merasa lucu sekali.

"Heh, kenapa engkau tidak. tertawa? Engkau tidak senang ya melihat aku tertawa?" nenek itu membentak marah dan Nyonya Bu terkejutsekali, akan tetapi tentu saja ia tidak tahu harus berbuat apa. Untuk tertawa ia takut kalau-kalau disangka mentertawakanJ nenek itu, kalau tidak, nenek itu marah-marah dan menyangka ia tidak suka melihat nenek itu tertawa. Sungguh seba salah.

"Ti..... tidak, Kui-bo...... tentu saja aku senang melihat engkau tertawa." akhirnya Nyonya Bu berkata membela diri.

”Kalau senang, mengapa tidak ikut tertawa? Hemm, aku mau membuat engkau ikut tertawa sampai puas!" setelah berkata demikian, nenek itu tertawa lagi, akan tetapi sekarang suaranya berbeda, terdengar aneh sekali, mengikik seperti bukan suara manusia

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment