Halo!

Si Tangan Halilintar Chapter 33

Memuat...

Mendapatkan teguran dari pemimpin para pejuang ini, Ang Jit Tojin menjawab, "Lam-Hong (Naga Selatan), maafkan kami. Pinto yang tadi menyuruh Songtaihiap menyampaikan keterangan itu kepadanya."

"Sudahlah, kita harus merawatnya. Kasihan sekali wanita ini. Baru saja kematian suaminya dan juga kehilangan ayah tiri dan ibunya." Dia membawa tubuh Kui Siang ke dalam sebuah kamar di kuil itu dan merebahkannya di atas pembaringan kayu. Setelah menekan beberapa jalan darah untuk membuat wanita itu tidur pulas agar lahir batinnya dapat beristirahat, Ma Giok keluar menemui teman-temannya.

Setelah pemimpin pejuang itu mengambil tempat duduk, Song Kwan bertanya sambil menatap wajah Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu dengan heran. "Ma- enghiong (pendekar Ma), apa yang kaumaksudkan ketika berkata bahwa Lauw-toanio juga kehilangan ibunya?"

Ma Giok menghela napas panjang.

"Kalian tentu tahu bahwa dahulu, ketika mendiang Bu Kiat masih menjadi panglima, dia adalah seorang rekanku, sama-sama menjadi panglima dalam pasukan pimpinan Jenderal Gouw Sam Kwi. Bahkan kami menjadi sahabat baik dan aku mengenal pula isterinya. Juga Bu Kui Siang yang kini menjadi isteri Lauw Heng San itu baru berusia dua tahun ketika ayah kandungnya tewas dalam pertempuran. Aku hanya mendengar bahwa Nyonya Bu dan anaknya menjadi tawanan musuh dan selanjutnya aku tidak mendengar lagi kabar beritanya. Ketika aku menjadi tawanan, baru kuketahui bahwa isteri Thio Ci Gan atau Pangeran Abagan itu adalah Nyonya Bu Kiat. Karena itu, ketika terjadi keributan dan kalian membebaskan aku, aku segera mencari Nyonya Bu dan puterinya, namun keduanya pergi tiada yang tahu ke mana. Kini, Bu Kui Siang dapat kalian selamatkan, akan tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Nyonya Bu Kiat. Nah, bukankah itu berarti bahwa Kui Siang sekarang ini telah kehilangan segalagalanya?

"Siancai.......! Kasihan sekali nyonya muda itu!" kata Ang Jit Tojin, tokoh Butong-pai itu. "Akan tetapi pinto juga hanya mendengar dari penyelidik bahwa isteri muda Pangeran Abagan itu adalah bekas isteri Panglima Bu Kiat yang menjadi pahlawan. Bagaimana ia dapat tiba-tiba menjadi isteri seorang pangeran, Mancu, orang yang telah menewaskan suaminya dalam perang?"

"Hemm, aku dapat menduganya. aku masih ingat bahwa Nyonya Bu adalah seorang wanita terpelajar yang berbudi baik. Seorang wanita seperti dia tidak mungkin sudi merendahkan diri, baru saja kematian suaminya lalu sudi menjadi isteri muda seorang panglima Mancu, apalagi musuh suaminya, kalau tidak terpaksa sekali. Dan satu-satunya hal yang memaksanya tentu saja puterinya! Ia tentu terpaksa diperisteri Pangeran Abagan yang menyamar sebagai Thio Ci Gan karena ingin menyelamatkan puterinya, Bu Kui Siang yang kemudian menjadi isteri Lauw Heng San." Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar Ciong-yang itu mengangguk-angguk dan kembali tosu itu menggumam. "Kasihan sekali, kini ia harus menderita, hidup seorang diri ditinggal mati suarri dan kehilangan ibu "

"Ya, memang kasihan. Apalagi ia nasih ditambah tugas berat, harus menelihara calon anaknya seorang diri." kata Ma Giok sambi! menghela napas panjang, lupabahwa dia sendiri baru saja kehi!angan puterinya yang tercinta.

"Eh? Apa maksudmu, Lam-Hong?"

"Ang-totiang, ketika tadi aku membawanya masuk dan memeriksa kesehatannya, aku mendapat kenyataan bahwa Bu Kui Siang itu telah mengandung, mungkin sudah dua tiga bulan." jawab Ma Giok yang selain seorang ahli silat kenamaan juga seorang yang pandai dalam ilmu pengobatan.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. "Ma-enghiong, sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Song Kwan mewakili para saudara mudanya dan Ang Jit Tojin juga memandang wajah pemimpin itu dengan ingin tahu.

"Kita harus cepat meninggalkan kuil ini. Mereka mendatangkan pasukan besar dari kota raja dan tak lama lagi mereka tentu akan menyerbu ke sini. Bagaimanapun juga, gerakan kita berhasil. Kita sudah dapat membunuh Pangeran Abagan dan membasmi kaki tangannya. Kota Keng-koan telah terbebas dari penindasan seorang pangeran Mancu. Kita harus terpencar, dan masing-masing menghimpun kekuatan di manapun kita berada dan 'melanjutkan gerakan kita menentang para pembesar yang menindas rakyat, me'ngganggu pemerintah kerajaan penjajah Mancu."

Enam orang pendekar itu mengangguk menyetujui. "Dan bagaimana dengan Lauw- toanio?" tanya Ang Jit Tojin.

"Hemm, maksudmu Bu Kui Siang? Ia menjadi tanggung-jawabku. Mengingat sahabatku, mendiang Panglima Bu Kiat, dan mengingat pula akan jasa Lauw Heng San, maka sudah menjadi kewajibanku untuk mencarikan jalan terbaik bagi Bu Kui Siang. Aku tahu bahwa mulai sekarang, ia tentu menjadi seorang buruan pemerintah seperti juga kita dan kalau tidak ditolong, wanita lemah seperti ia tentu akan cepat tertawan."

"Memang kita tidak boleh membiarkan ia tertawan. Engkau mempunyai tugas yang amat berat, Lam-liong. Ke manakah engkau hendak membawa ia pergi? Dan di mana kami dapat menghubungimu?" tanya Ang Jit Tojin.

"Kukira, mulai sekarang lebih baik kita berjuang sendiri-sendiri untuk melindungi dan menolong rakyat. Dengan berpencar sendiri-sendlri kita akan lebih leluasa bergerak dan lebih mudah bersembunyi dari tangan panjang pemerintah penjajah Mancu. Aku sendiri akan pergi ke Thai-san, menghadap lo-cianpwe (orang tua gagah) Pek In San-jin (Orang Gunung Awan Putih) dan mengabarkan tentang kematian lo-cian-pwe Pat-jiu Sin-kai dan kematian muridnya Ngojiauw-eng Tan Kok. Selain itu, aku hendak mencarikan tempat yang aman bagi Bu Kui Siang di sana. Mungkin untuk sementara waktu, kalau lo-cian-pwe Pek In San-jin mengijinkan, aku akan berada di sana untuk mohon petunjuknya memperdalam ilmu silatku."

Demikianlah, para pendekar itu, Ma Giok, Ang Jit Tojin, kelima Ciong-yang Ngo-taihiap yang terdiri dari Song Kwan, adiknya Song Kui, Ciang HuSeng, Bhe Kam, dan Lee Bun, dan beberapa orang anggauta pejuang lain yang menjadi anak buah mereka, berkemas dan satu demi satu berpamitan kepada Ma Giok yang menjadi pemimpin mereka, lalu meninggalkan kuil itu. Setelah semua orang, pergi dan hanya tinggal Ang Jit Tojin yang masih menemaninya karena Ma Giok memang menahannya untuk memberi keterangan kepada Bu Kui Siang, mereka berdua lalu - menyadarkan Kui Siang yang masih tertidur pulas karena ditotok jalan darahnya oleh Ma Giok tadi. Wanita itu terbangun dan melihat ada dua orang laki-laki duduk di atas bangku dalam kamar itu, ia segera bangkit duduk, ia mengenal Ang Jit Tojin tosu tinggi kurus berjenggot panjang itu, akan tetapi ia tidak mengenal pria yang seorang lagi. Akan tetapi wajah pria itu tidak mendatangkan rasa takut di hatinya. Wajah seorang laki-laki setengah tua yang tampan gagah, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot, pandang matanya tajam dan lembut, mulutnya tersungging senyuman ramah dan penuh pengertian, pakaiannya seperti seorang petani sederhana namun bersih dan rapi. Akan tetapi, begitu tersadar, Kui Siang segera teringat akan suaminya yang dikabarkan telah tewas, maka ia lalu turun dari pembaringan dan langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ang Jit Tojin sambil menangis.

"Totiang....., benarkah..... benarkah suami saya telah tewas ?"

"Duduklah yang tenang, toa-nio, dan kuatkan hatimu," kata Ang Jit Tojin sambil membangunkan Kui Siang dan menuntun wanita itu duduk kembali ke atas pembaringan.

"Hentikan tangismu, Kui Siang, dan tabahkan hatimu. Mendiang ayahmu, Bu Kiat, dan mendiang suamimu, Lauw Heng San, adalah pendekar-pendekar gagah perkasa. Mereka tidak akan senang melihat sikapmu yang lemah ini. Hentikan tangismu dan kuatkan hatimu. Ingat akan kandunganmu yang harus kau jaga baik-baik." kata Ma Giok dengan suara lembut berwibawa. Mendengar ini Kui Siang terbelalak memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Ang Jit Tojin, segera memperkenalkan.

"Lauw-toanio, ini adalah pendekar Ma Giok yang berjuluk Lam-liong, selama ini menjadi pemimpin kami para pejuang. Mulai sekarang engkau berada dalam perlindungannya."

Kui Siang masih memandang heran, saking herannya ia sampai lupa akan kesedihannya dan tidak menangis lagi. Apalagi mendengar bahwa mendiang ayah kandungnya dan mendiang suaminya tidak suka melihat ia menangis!

"Akan tetapi..... bagaimana engkau mengenal mendiang ayah kandungku, suamiku dan tahu akan keadaan diriku?"

”Kui Siang, tentu saja engkau tidak mengenalku, karena ketika itu engkau masih berusia dua tahun. Aku sudah mengenalmu ketika engkau berusia dua tahun, Ayah kandungmu, mendiang Bu Kiat, adalah rekanku. Kami sama-sama panglima dalam pasukan Jenderal Gouw Sam menentang penjajah Mancu. Aku juga mengenal ibumu dengan baik. Dan aku mengenal suamimu karena akulah yang pertama-tama menjadi tawanan Panglima Mancu Thio, ayah tirimu itu yang sesungguhnya adalah seorang Pangeran Mancu bernama Abagan. Sekarang, keadaan kita di sini amat berbahaya. Setiap saat pasukan pemerintah Mancu. akan datang menyerbu. Karena itu, semua pejuang sudah pergi dan engkau juga harus cepat melarikan diri karena mulai sekarang engkau dianggap isteri seorang pemberontak. Aku akan membawamu melarikan diri dan akan melindungimu, Kui Siang."

”Lauw-toanio, percayalah. Dalam perlindungan Lam-liong, engkau akan aman dan selamat. Nah, sekarang sudah tidak ada waktu lagi. Cepatlah berkemas dan bawa semua barangmu, toanio."

"Benar, Kui Siang. Kita harus pergi sekatang juga." kata Ma Giok. "Kalau ada pertanyaan lagi, kita bicarakan dalam perjalanan saja."

Tidak ada lain jalan bagi Kui Siang kecuali menaati ucapan kedua orang itu. la maklum bahwa ia berada di tangan orang-orang sakti yang dapat dipercaya. Apalagi Ma Giok yang mengaku sebaga sahabat mendiang ayah kandungnya. Dan melihat wajahnya saja sudah menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya. Ia bahkan yakin bahwa seorang laki-laki dengan sinar mata, senyum dan sikap seperti, itu tidak mungkin mempunyai watak yang jahat! Akhirnya mereka bertiga meninggalkan kuil itu dan setelah tiba di Jereng Bukit Ayam, Ang Jit Tojin dan Ma Giok berhenti melangkah. Tosu itu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat sambil berkata, "Lam-liong, kita berpisah di sini. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dan bekerja sama kembali di masa mendatang."

Ma Giok membalas penghormatan itu. "Ang-totiang, selamat berpisah, dan banyak terima kasih atas bantuanmu selama ini."

"Lauw-toanio, jaga baik-baik dirimu dan taatilah semua petunjuk Lam-Hong yang melindungimu."

"Terima kasih, totiang." jawab Kui Sing, diilam hatinya merasa terharu karea tosu itu juga bersikap amat baik terhadap dirinya.

Ang Jit Tojin lalu berkelebat lenyap lari situ, berlari amat cepatnya.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment