"Ang Jit Tojin, ini tidak adil! Sudah banyak aku mendengar bahwa para pejuang suka mencuri dan merampok harta benda para pembesar kerajaan Mancu yang dimusuhinya! Kenapa kalau kami yang merampok isteri seorang panglima antek Mancu dicela? Apa bedanya?"
"Hemm, jelas besar sekali bedanya. pejuang mencuri dan merampok barang milik pembesar Mancu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan hasilnya untuk biaya perjuangan, akan tetapi engkau merampok demi kesenanganmu sendiri.
Seorang pejuang sejati tidak akan mengganggu wanita. Orang-orang seperti engkau ini hanyalah penjahat-penjahat yang berkedok pejuang untuk menutupi kejahatan kalian! Orang-orang macam kalian inilah yang mencemarkan perjuangan, yang membuat para pejuang dianggap penjahat dan perampok. Hanya kebetulan saja kalau malam ini yang kau ganggu adalah isteri seorang panglima pemerintah Mancu. Andaikata wanita itu seorang rakyat biasa, tentu akan kau ganggu juga. Adalah kewajiban kami para pendekar pejuang, bukan hanya untuk menentang pemerintah Mancu, akan tetapi juga membasmi orang-orang seperti kalian yang hanya menyusahkan rakyat jelata!"
"Gila! Jauh-jauh kami datang untuk bergabung dan bekerja sama, malah kami ditentang!" Teng Bhok marah dan memaki sambi! mencabut goloknya. Dia marah karena ucapan Ang Jit Tojin itu tepat mengenai sasaran dan membuka rahasia hatinya. Memang pada dasar hatinya, Teng Bhok dan enam orang kawannya ini " ingin membonceng para pejuang demi keuntungan diri mereka sendiri.
"Sian-cai! Teng Bhok, engkau dan kawan-kawanmu ini sadarlah, bertaubatlah dan hentikan kesesatan kalian sebagai penjahat dan kami akan menerima tenaga bantuan kalian dalam perjuangan ini dengan senang hati. Akuilah kesalahan kalian, kembalikan perhiasan Nyonya Lauw dan kami akan mempertimbangkan permintaan kalian untuk bergabung."
Tentu saja Teng Bhok tidak sudi bergabung kalau dia dilarang merampok atau berbuat sesuka hatinya. Lebih baik menjadi tentara pemerintah penjajah mendapat bayaran tinggi dan kdudukan; daripada harus berjuang tanpa mendapatkan apa-apa! "Enak saja! Tosu sombong, kami tidak sudi bergabung kalau begitu. Kami dapat bertindak sendiri memusuhi para pembesar. Cepat kembalikan calon isteriku bentaknya sambi! mengacungkan goloknya mengancam. Enam orang anak buahnya juga sudah mencabut golok dan siap berkelahi. Mereka ini memang merupakan orang-orang yang sudah terbiasa memaksakan kehendak mereka sendiri. Orang lain harus menurut kehendak mereka atau mereka akan menggunakan kekerasan. Entah sudah berapa banyak orang tewas menjadi korban keganasan mereka. "Jahanam busuk macam kalian memang tidak pantas dibiarkan-hidup, hanya akan mendatangkan kesengsaraan pada rakyat saja!" Song Kwan membentak dan dia juga mencabut pedangnya. "Ang-totiang (pendeta Ang) dan keempat sute, biar aku sendiri yang membasmi mereka!" Song Kwan, orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap ini memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi juga ilmu pedangnya paling unggul di antara mereka berlima. Dia melompat ke depan Teng Bhok sambil melintangkan pedangnya didepan dada.
Teng Bhok yang sudah marah sekali lalu menerjang dengan goloknya dan 6 orang anak buahnya tanpa dikomando juga sudah mengepung Song Kwan karena mereka tadi mendengar betapa pendekar itu menyombongkan diri hendak maju seorang diri menghadapi mereka bertujuh!
"Manusia sombong, bersiaplah untuk mampus!" Teng Bhok sudah menggerakkan goloknya menyambar ke arah kepala Song Kwan.
"Singg,gg..... Golok itu berdesing menyambar namun Kiam-sian (Dewa Pedang) Song Kwan dengan amat mudahnya mengelak dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi sinar mencuat ke arah lambung Teng Bhok. Kepala gerombolan ini terkejut sekali dan cepat dia membuang diri kebelakang sehingga terhindar dari maut. Demikian cepat dan tak terduga serangan balasan pedang di tangan Song Kwan itu sehingga Teng Bhok mengeluarkan keringat dingin. Pada saat itu enam orang anak buahnya sudah menyerang, maka Teng Bhok menjadi berbesar hati dan diapun menyerang dengan goloknya sambi! mengerahkan tenaga karena yang dia andalkan hanyalah ketajaman golok dan tenaga kasarnya yang sekuat kerbau.
Akan tetapi Song Kwan segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang amat hebat. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan tiba-tiba bentuk pedang di tangannya lenyap, berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Gulungan sinar ini selain menjadi perisai yang melindungi seluruh tubuhnya, juga dari gulungan sinar pedang itu menyambar kilatan-kilatan pedang yang mengirim serangan balasan.
"Hyaaaaaaahhh..... trang-trang-cdngg..... !!" Tiga orang pengeroyok berseru kaget ketika golok mereka terlepas dan terpental dari pegangan mereka dan sebelum hilang rasa kaget mereka, tiga orang itu sudah terpelanting roboh disambar kilatan sinar pedang!
Teng Bhok dan tiga orang anak buahnya terkejut sekali. Akan tetapi kembali Song Kwan mengeluarkan pekik melengking dan dia membuat gerakan jurus Ngo-heng Keng-thian (Lima Unsur Melengkung di Langit), sebuah jurus ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut yang amat hebat. Kilatan pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, lebih cepat daripada kedipan mata dan terdengar Teng Bhok dan tiga orang anak buahnya berteriak kesakitan dan merekapun roboh satu demi satu sebelum mereka tahu apa yang terjadi. Tujuh orang penjahat itu tewas seketika karena pedang di tangan Song Kwan itu menyerang dengan tepat ke arah bagian yang mematikan!
Melihat ini, Ang Jit Tojin menghela napas. "Sian-cai ! Engkau agak terlalu keras, Song-
taihiap, akan tetapi pinto tidak menyalahkanmu. Bagaimanapun juga, mereka adalah bangsa kita sendiri. Sayang, di jaman yang buruk ini, di mana bangsa asing Mancu menjajah tanah air kita, terdapat banyak bangsa kita sendiri yang menjadi pengkhianat, sudi menjadi antek penjajah. Dan lebih menyedihkan lagi, terdapat lebih banyak lagi orang-orang seperti mereka yang tidak memperdulikan nasib rakyat jelata yang sudah ditindas penjajah, bahkan mereka masih tega menambah derita rakyat dengan perbuatan jahat mereka." "Totiang benar," kata Song Kui, adik kandung Song Kwan yang merupakan orang ke dua Clong-yang Ngo-taihlap, berusia tiga puluh delapan tahun dan berwajah tampan bertubuh sedang. Namun Song Kui ini kalau menghadapi penjahat, bahkan lebih galak dan keras daripada kakaknya, maka dunia kangouw memberi julukan Kiam-mo (Setan Pedang) padanya. "Dosa paling besar para penjahat ini adalah kepura-puraan mereka menjadi pejuang, padahal itu hanya sebagai kedok saja untuk mencari keuntungan demi kesenangan diri mereka sendiri."
"Sudahlah," Ang Jit Tojin menghela napas panjang pula. "Bagaimanapun juga, mereka adalah juga manusia-manusia dan setelah menjadi mayat, kita harus mengurus mereka sebagaimana mestinya dengan baik-baik." Ang Jit Tojin lalu mengambil perhlasan milik Kui Sia,g dari saku, baju Teng Bhok, kemudian dia menyuruh para anak buah pejuang untuk mengurus tujuh mayat gerombolan itu dikebumikan bersama semua jenazah yang sudah dipetikan.
Setelah semua penguburan selesai, Ang Jit Tojin mengajak Kui Siang duduk bercakap- cakap di ruangan dalam kuil tua. Nyonya muda ini sudah agak segar karena mendapat kesempatan mengaso dan ia mendapatkan obat gosok dari Ang Jit Tojin untuk mengusir rasa penat dan pegal-pegal pada kedua kaklnya. Mereka, Ang Jit Tojin, lima pendekar Ciongyang, dan Kui Siang, duduk mengelilingi meja kayu sederhana dan duduk di atas bangku-bangku kayu yang kasar.
Ang Jit Tojin menyerahkan perhiasan yang diambilnya dari saku baju pada mayat Teng Bhok dan menyerahkannya kepada Kui Siang. Kui Siang membiarkan perhiasan itu bertumpuk di atas meja di depannya dan ia berkata setelah memandangi enam orang pendekar itu satu per satu.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada totiang dan para taihiap disini karena tanpa pertolongan cu-wi (anda sekalian) saya tentu sudah membunuh diri daripada diperhina manusia jahat itu." Suaranya mengandung keharuan.
"Jangan bicara demikian, toa-nio. Kami memang bermaksud menyelamatkanmu seperti yang dipesan suamimu. Ketahuilah bahwa suamimu, Lauw Heng San, adalah orang segolongan dengan kami."
Kui Siang memandang heran, pandang mata penuh pertanyaan kepada tosu itu. "Orang segolongan? Apa maksud totiang? Bukankah...... bukankah suami saya komandan Pasukan Garuda Sakti yang memusuhi golongan totiang?"
"Hal itu terjadi karena dia telah tertipu oleh ayah tirimu, toa-nio, sehingga dia menduga bahwa kami adalah segerombolan orang jahat. Akan tetapi dia telah sadar akan kekeliruannya setelah bertemu dengan gurunya yang menjadi seorang di antara kami. Apalagi mendengar bahwa ayah ibunya di dusun Linhan-koan dibunuh kaki tangan Thio- ciangkun. Dia menjadi sadar, marah dan mengamuk di gedung Thio-ciangkun. Akan tetapi sebelumnya dia sudah menitipkan engkau kepada kami agar kami suka melindungimu."
"Lalu..... lalu...... di mana dia sekarang?" tiba-tiba wajah nyonya muda itu menjadi pucat sekali. Dari pandang mata dan sikap enam orang yang duduk di depannya itu ia mendapatkan firasat yang mengerikan. "Di mana suamiku ?"
Ang Jit Tojin mengerutkan alisnya. Berat rasa hatinya untuk menceritakan. Pada dasarnya memang perasaan tosu ini lembut dan peka sekali. Dia memandang kepada Song Kwan dan memberi isarat dengan pandang matanya agar pendekar itu yang bercerita.
"Begini, toanio. Setelah dia sadar bahwa dia membantu pihak yang jahat dan memusuhi para pendekar pejuang pembela bangsa dan tanah air, dan mendengar bahwa orang tuanya sendiri dibunuh kaki tangan Thio-ciangkun karena berkenalan dengan Pat-jiu Sin- kai, guru suamimu, maka Lauw Heng San lalu pergi ke gedung Thio-ciangkun mengamuk. Kami menyusul dan membantunya. nya. Ia berhasil membunuh para jagoan di sana, juga berhasil membunuh Thiociangkun, akan tetapi dia sendiri juga tewas."
"San-koko...... !" Kui Siang menjerit dan roboh pingsan, terkulai dan tentu akan terjatuh dari kursinya kalau tidak ada bayangan orang yang cepat menyambarnya sehingga ia tidak sampai terjatuh. Bayangan itu bukan lain adalah Ma Giok yang baru saja masuk dan melihat nyonya muda itu terkulai, dia segera menyambar dan menangkapnya sehingga Kui Siang tidak terguling.
Ma Giok memondong tubuh Kui Siang, memandang kepada enam orang itu, menggeleng kepala dan berkata halus. ” Aih, Kalian terlalu mengguncangnya, tidak seharusnya berita itu disampaikan begitu mendadak."