Halo!

Si Tangan Halilintar Chapter 26

Memuat...

pukulan tangan kiri Heng San membuat tulang leher Tan Kok patah dan pengemis itu roboh dan tewas seketika, sebaliknya pukulan tongkat pengemis itu yang mengenai dada Heng San yang amat kokoh kuat hanya mendatangkan rasa nyeri dan luka yang tidak berbahaya. Walaupun demikian, karena dia terluka dalam, dia merasa dadanya panas lalu muntahkan darah segar.

Melihat kawannya tewas dan tahu bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi lawan, Ang Jit Tojin lalu melompat dan melarikan diri. Heng San mengejar terus. Sebenarnya, walaupun ilmu berlari cepat tosu itu lebih tinggi dari ilmu berlari cepat si pengemis aneh, namun masih belum dapat menandingi kecepatan lari Heng San. Sekarang, dalam keadaan terluka oleh hantaman tongkat Tan Kok tadi, hal ini tentu saja mengurangi kecepatan lari Heng San, maka kecepatan mereka menjadi berimbang dan sampai lama jarak antara mereka tetap. tak berubah. Setelah berlari beberapa li jauhnya, tibalah Ang Jit Tojin di depan sebuah kelenteng (kuil) tua yang berdiri di kaki sebuah bukit. Tosu itu lalu melompat memasuki kuil itu dan lenyap.

Heng San berhenti, berdiri di depan pintu kuil dan berteriak-teriak.

"Tosu siluman! Keluarlah engkau untuk terima binasa. Jangan engkau mengotorkan tempat ibadah suci ini dengan darahmu yang kotor! Hayo keluar, atau aku akan menyeretmu ke luar!" Heng San terengah-engah dan merasa dadanya panas dan nyeri.

Karena tidak mendengar tosu Itu menjawab dan tidak melihat dia ke luar, Heng San menjadi marah sekali. Dia melompat maju, menendang daun pintu kuil sehingga terdengar suara gaduh. Pintu terbuat dari kayu tebal itu pecah berantakan dan pecahannya terbang ke sana-sini.

"Tosu siluman, engkau hendak lari ke mana?" bentaknya sambil melompat ke belakang untuk menjaga kalau-kalau diserang senjata rahasia yang ampuh dari tosu itu.

Tiba-tiba sesosok tubuh tua tampak keluar dari daun pintu yang sudah pecah ambrol itu. Seorang kakek tua renta berpakaian pengemis yang melangkah perlahan lalu berdiri di depan pintu, berhadapan dengan Heng San dalam jarak empat meter. Heng San memandang wajah kakek itu dan dia membelalak-belalakkan kedua matanya, lalu menggunakan punggung kedua tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya. Dia tak percaya akan apa yang dilihatnya mengira bahwa itu adalah akibat luka dalam dadanya. Setelah menggosok-gosok kedua matanya, dia kembali memandanng penuh perhatian. Seorang kakek pengemis yang tua sekali dan wajah..., wajah itu, tubuh yang kurus kering itu, pakaian tambal-tambalan itu ! Kakek pengemis dengan sepasang mata

mencorong marah. Dan dia melihat lawannya tadi berada di belakang si kakek dengan sikap tegang dan jerih. Dan belakang tosu itu muncul pula lima orang yang kesemuanya tampak gagah perkasa yang sikapnya keren dan penuh semangat. Heng San merasa betapa matanya berkunang dan seluruh tubuhnya lemas. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis tua renta itu.

"Suhu !" suaranya yang dalam keadaan biasa pasti akan terdengar gembira dan girang

itu kini terdengar penuh keraguan melihat betapa Pat-jiu Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan Delapan), yaitu gurunya sendiri, kini memandang marah dan betapa Ang Jit Tojin ternyata bersahabat dengan gurunya. "Heng San sudah gilakah engkau?" Pat-jiiu Sin-kai menegur dengan suara yang terdengar lebih sedih dari pada marah,

"Suhu, kalau teecu bersalah, silahkan suhu menghukum teecu. Akan tetapi, sesungguhnya teecu tidak mengerti apa kesalahan teecu sehingga suhu menjadi marah kepada teecu."

"Hemm, murid durhaka! tahukah engkau siapa orang-orang yang kau bunuh itu? Tahukah engkau, siapa Ma Giok yang kau tawan itu?"

Heng San memandang wajah suhunya dan melihat sepasang mata suhunya masih memancarkan sinar kemarahan, dia menunduk kembali dan menjawab dengan suara tetap walaupun dibayangi keraguan.

Orang-orang yang teecu basmi itu adalah pemberontak-pemberontak jahat yang melakukan kekacauan dan merampok rakyat. Ma Giok adalah seorang pemimpin gerombolan perampok, seorang penjahat berbahaya, suhu." Kemudian, setelah berhenti sebentar dia menambahkan dengan cepat "dan juga dia seorang ayah yang jahat yang menyeret puterinya sendiri ke dalam jurang kejahatan!"

Pat-jiu Sin-kai memandangnya dengan mata melotot, akan tetapi dia menahan perasaannya dan bertanya "Dan tahukah kau siapa Ngo-jiauw-eng yang kau bunuh tadi?" "Ngo-jiauw-eng (Garuda Kuku Lima)? Suhu maksudkan pengemis aneh tadi? Ah, dia orang yang jahat pula. Dia menggunakan kepandaiannya untuk menjadi penjahat dan dia merupakan pemimpin gerombolan pengacau itu."

Wajah pengemis tua itu menjadi merah sekali, dadanya serasa hampir meledak saking marahnya dan terasa amat nyeri seperti ditusuk di bagian kiri dadanya. Dia maklum bahwa tekanan perasaan yang amat berat ini membuat penyakitnya kambuh kembali dan jantungnya terserang hebat. Akan tetapi dia masih menekan perasaan hatinya dan bertanya "Dan tahukah engkau, hai anak durhaka, hai murid murtad, siapakah Thio- ciangkun yang kaubela itu?"

Terkejutlah Heng San mendengar gurunya mencaci maki dengan marahnya. Dia memandang gurunya dan merasa semakin heran melihat gurunya memandang kepadanya dengan marah, wajahnya merah dan tangannya menekan dadanya yang sebelah kiri. Dia menjawab dengan bibir gemetar dan suara meragu.

"Thio-ciangkun.... adalah seorang pembesar yang.... bijaksana.... seorang yang mengutamakan keadilan yang membela dan menjaga keamanan rakyat yang membasmi para penjahat "

"Cukup! Tutup mulutmu yang kotor, engkau..... engkau manusia rendah budi Engkau......

tidak saja melumuri muka gurumu dengan kotoran, akan tetapi engkau bahkan mengkhianati orang tuamu sendiri, engkau juga mengkhianati bangsa sendiri.....

engkau..... engkau terkutuk!"

Pat-jiu Sin-kai terhuyung-huyung kearah Heng San dengan kedua tangan terkepal, sikapnya hendak menyerang tangan kanan terkepal dan tangan kiri menekan dada. Akan tetapi sebelum dia memukulkan tangannya ke arah kepala Heng San, jantungnya yang terserang tekanan hebat itu tidak kuat lagi sehingga ia menyemburkan darah dari mulut, roboh terpelanting.

Heng San melompat dan memeluk tubuh suhunya, tidak peduli betapa darah dari mulut gurunya yang memancar itu membasahi seluruh pakaiannya, bahkan mukanya juga terkena darah. Dia memeluk gurunya dan meratap-ratap.

"Suhu....., suhu..... ampunkan teecu,..... bunuhlah teecu kalau teecu bersalah ….., tapi jangan ….. jangan menyiksa diri begini ….. suhu, ….. ampuuun ….. suhu !" Kini San

benar-benar menangis seperti anak kecil. Dia memondong suhunya yang kurus dan ringan itu, membawanya lari ke sana sini seperti orang kehilangan akal dan memanggil-manggil suhunya, akan tetapi si pengemis sakti telah mati.

Akhirnya Heng San mengetahui akan kenyataan ini. Dia meletakkan mayat gurunya di atas tanah, lalu berlutut di dekat mayat suhunya, menangis sambil memukuli kepalanya sendiri. Kemudian dia merangkak menghampiri Ang Jit Tosu dan orang-orang gagah lainnya yang berdiri memandang kepadanya dengan sinar mata dingin dan marah.

"Cu-wi (anda sekalian), kalau aku bersalah, mengapa diam saja? Aku, Lauw Heng San, kalau dianggap bersalah, katakanlah apa kesalahanku itu! Kalau kalian tidak mau mengatakan, nah, inilah aku. Bunuhlah, aku tidak akan melawan. Tapi sedikitnya, jelaskan dulu mengapa suhu begitu marah kepadaku agar aku tidak mati penasaran."

Seorang gagah.yang tinggi besar mencabut goloknya hendak ditimpakan ke leher Heng San yang sudah mandah saja dan tidak ingin mengelak atau menangkis. Akan tetapi Ang Jit Tojin cepat mencegah.

“Bersabarlah, Cui-enghiong (pendekar Cui). Agaknya anak ini benar-benar telah tertipu. Biarlah aku menceritakan dulu semua hal yang agaknya masih gelap baginya."

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment