"Syuuuuuttt.......... blarrrrr !" Dua tenaga sakti tingkat tinggi bertemu di udara
dan seluruh keadaan sekeliling tempat itu tergetar hebat. Tung Hai mengeluarkan seruan kaget dan dia rpaksa melangkah mundur tiga kali. wajahnya yang merah menjadi semakin merah, matanya mencorong penuh perasaan marah dan penasaran. Dia merasa malu bahwa serangannya yang dia lakukan sepenuh tenaga tadi, yang memang dilakukan untuk membunuh Si Han Lin, dapat ditolak mundur oleh orang muda yang pantas menjadi cucunya itu! Karena tadi ketika menyerang dia sudah menggunakan tenaga sepenuhnya dan ternyata pemuda itu dapat menandinginya, dia tidak mau mengulangi lagi serangan dengan pukulan jarak jauh. Tiba-tiba dia mencabut sepasang pedangnya yang berada di punggung dan sekali melontarkan Siang-kiam (sepasang pedang) itu, tampak dua sinar meluncur ke arah Han Lin. Ternyata sepasang pedang itu merupakan Hui-siang-kiam (sepasang pedang terbang) yang bukan hanya dapat dilontarkan dan digunakan menyerang lawan dari jauh, akan tetapi juga dikendalikan oleh kekuatan sihir sehingga sepasang pedang itu seolah hidup dimainkan sepasang tangan yang tidak tampak!
Semua orang yang melihat permainan sihir yang berbahaya itu memandang dengan hati tegang. Akan tetapi Han Linmemandang dengan sikap tenang saja, Ketika sepasang pedang yang menjadi sinar itu menyambar dekat, tangannya bergerak dan tampak sinar terang ketika! pedang Pek-sim-kiam telah berada di tangannya. Pedang itu biasanya memang dia simpan di balik jubahnya sehingga! tidak tampak dari luar.
Terjadilah pertandingan yang aneh dan menarik. Bagaikan benda-benda hidup! dua batang pedang itu menyerang dengari gerakan cepat dan bertùbi-tubi ke arah bagian tubuh Han Lin yang berbahaya. Namun, pemuda itu dengan amat tenangnya menggerakkan pedangnya menangkisi semua serangan itu. Gerakannya juga cepat sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang yang bergulung-gulung menyelimuti dirinya dan menghalau semua sambaran sepasang pedang lawan itu. Terdengar bunyi berkerontangan berulang-ulang dan tampak bunga api berhamburan merupakan penglihatan yang amat indah menank.
Pada saat itu, Boan Su Kok yang telah sadar betul, walaupun luka-luka di pundaknya membuat dia tidak dapat melakukan kekerasan, memberi isarat kepada para anak buah Tung-hai-pang untuk maju mengeroyok Han Lin yang agaknya masih kuat melindungi dirinya terhadap serangan sepasang pedang terbang gurunya. Mendapat perintah ini, sedikitnya dua puluh orang anggauta Tung-hai-pang dengan pedang di tangan. menyerbu naik panggung.
Akan tetapi sebelum mereka sempat mengeroyok Han Lin, tiba-tiba terdengar teriakan rajawali dan burung itu sudah terbang dan menyambar mereka yang hendak mengeroyok Han Lin. Para anak buah Tung-hai-pang terkejut dan mereka mencoba untuk melawan dan menyerang rajawali itu dengan pedang mereka. Akan tetapi hal ini membuat rajawali itu semakin marah. Paruhnya yang kokoh kuat Itu mematuk-matuk, sepasang kakinya mencakar dan sepasang sayapnya menampar. Dua puluh lebih anak buah Tung dai-pang itu berpelantingan dan tidak ada sebatang pedang pun yang mampu melukai burung rajawali itu!
Sementara itu, Han Lin mulai mengerahkan tenaganya dan begitu dia menangkis, dua batang pedang-terbang itu terpental jauh! Melihat ini, Tung Hai tok terkejut dan cepat menarik kembali sepasang pedangnya yang segera terbang ke arah dirinya.
Dia menangkap pedangnya dan menyimpan kembali. Melihat betapa anak buah Tung-hai-pang dibuat kocar-kacir oleh burung rajawali sedangkan serangannya sendiri terhadap pemuda itu agaknya menemui kegagalan karena ternyata pemuda itu tangguh sekali, Tung Hai-tok yang tidak ingin kehilangan muka karena dikalahkan, lalu berkata lantang.
"Orang muda, katakan kepada Thai Kek Siansu bahwa lain waktu kami akan membuat perhitungan dengannya!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat turun dari tanah tinggi dan pergi, diikuti Boan Su Kok dan para anak anggauta Tung- hai-pang.
Rajawali melayang turun dan hingga di depan Han Lin lalu mendekam. Han Lin melompat ke atas punggungnya dan ketika burung itu terbang, dia berseru kepada mereka semua yang memandan kagum. "Harap Cu-wi (Anda sekalian) bubar dan jangan mengadakan perebut gelar kosong ini lagi, yang hanya mendatangkan permusuhan dan kekaccuan!"
Tungguuuuul" terdengar seorang berseru. "Siauw-eng-hiong (Pendekat Muda), katakan kepada kami, siapa namamu?"
Si Han Lin tidak menjawab karena dia tidak ingin memperkenalkan namanya. Akan tetapi, entah mengapa, tiba-tiba burung rajawali itu yang berbunyi dengan suaranya yang nyaring melengking seolah menjawab pertanyaan itu. Kemudian dia terbang tinggi dan melayang pergi.
Mendengar ini, orang-orang itu berbisik-bisik, "Sin-tiauw, Sm-tiauw (Rajawali Sakti) !” Mulai saat itu, mereka memberi julukan kepada pemuda penunggang
rajawali yang tidak mereka ketahui namanya itu sebagai Sin-tiauw Eng-hiong (Pendekar Rajawali Sakti)! Dan sejak itu, tidak ada lagi pertandingan di Puncak Thaisan untuk memperebutkan gelar Jagoan Nomor Satu.
ooOOoo
Kakek bertubuh pendek gemuk yang mengenakan jubah seperti pendeta itu duduk bersila di depan pondoknya yang sederhana. Pondok itu berada di puncak bukit di Lembah Sungai Yangce. Usianya sekitar enam puluh tahun, namun wajahnya masih tampak sehat belum banyak hiasan keriput. Kakek ini adalah Tiong Gi Cinjin, seorang pertapa penganut Agama Khong-hu-cu (Confucianism). Dalam bagian depan kisah ini kita sudah bertemu dengan Tiong Gi Cinjin, seorang di antara tiga pendeta yang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Naga Kecil, kemudian muncul pula Thai Kek Siansu menemui mereka bertiga, berbincang-bincang tentang agama dan kehidupan.
Kemudian, melihat Thai Kek Siansu memiliki seorang murid, tiga orang pendeta itu pun mengambil keputusan untuk masing-masing mengambil seorang murid sebagai pewaris ilmu-ilmu yang mereka kuasai.
Ketika Tiong Gi Cinjin bertemu dengan. Ong Su, masih termasuk keluarga Kerajaan Chou yang sudah jatuh, dan melihat puterinya, hatinya tertarik untuk mengambil anak perempuan berusia sepuluh tahun itu sebagai muridnya. Ong Su yang masih berdarah bangsawan karena ayahnya dahulu adalah seorang pangeran Kerajaan Chou, tadinya menjabat sebagai Pejabat Tinggi Kebudayaan. Dia seorang sastrawan dan penganut Agama Khonghucu, maka dia mengenal baik Tiong Gi Cinjin. Bahkan antara mereka terdapat hubungan yan akrab. Ketika Kerajaan Chou jatuh di ganti Kerajaan Sung yang baru, biarpun Sung Thai Cu memperlakukan keluarga Kerajaan Chou dengan baik, namun On Sun pergi dari kota raja dan tinggal kota Nan-king.
Ong Su hanya memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Ong Hui Lan. Ketika anak perempuan itu berusia sembilan tahun dan Tiong Gj Cinjin yang mencari murid datang berkunjung ke rumah Ong Su dan melihat anak itu, hatinya tertarik.
Dia melihat betapa Ong hui Lan yang berusia sembilan tahun itu memiliki tulang dan bakat yang baik sekali, juga anaknya sopan dan pendiam. Maka dia lalu minta kepada sahabatnya agar menyerahkan Ong Hui Lan menjadi murid tunggalnya.
Karena keluarga itu percaya sepenuhnya kepada Tiong Gi Cinjin, maka ayah dan ibu Ong Hui Lan tidak merasa keberatan. Anak itu lalu dibawa Tiong Gi Cinjin ke tempat tinggalnya, yaitu di puncak sebuah bukit tanpa nama di Lembah Yangce. Selama sepuluh tahun Hui Lan digembleng gurunya, diberi pelajaran silat, sastra, dan pelajaran agama Khong-hu-cu. Setiap tahun sekali anak itu diberi kesempatan pulang ke Nan-king menjenguk orang tuanya.
Demikianlah, setelah menjadi mur id Tiong Gi Cinjin selama sepuluh tahu Ong Hui Lan kini menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Pada pagi hari itu, Tiong Cinjin duduk di depan pondoknya dan tak lama kemudian Ong Hui Lan keluar dari pondok.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu tampak segar bagaikan setangkai bunga mawar tersiram embun, la baru saja mandi dan bertukar pakaian setelah fajar menyingsing tadi, seperti kebiasa annya sehari-hari, berlatih silat di kebun belakang. Ong Hui Lan telah menguasai banyak ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali ia memiliki ilmu pedang yang hebat. Gurunya, Tiong Gi Cinjin terkenal dengan julukan Tung Kiam-ong (Raja Pedang Timur), maka tentu saja ia memperoleh pelajaran ilmu pedang yang hebat.
Biarpun sejak berusia sembilan tahun Hui Lan tinggal bersama Tiong Gi Cinji dan menganggap guru itu seperti ayahnya sendiri, namun tetap saja Hui Lan amat menghormati gurunya. Ini adalah berkat pelajaran dalam Agama Khonghucu yang menekankan hauw (bakti) kepada orang Tua dan guru. Ada empat macam Hauw yang diajarkan Tiong Gi Cinjin kepada muridnya. Pertama adalah bakti kepada Tuhan berupa ibadat kepadaNya. Kedua ialah bakti kepada orang tua dan guru berupa kelakuan yang baik dalam kehidupan agar menjunjung tinggi dan mengharumkan nama mereka. Ke tiga adalah bakti kepada negara dengan jalan menaati semua ketentuan hukum negara, dan ke empat bakti kepada sesama manusia baik dengan cara menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang jahat.
Melihat gurunya duduk di atas bangku didepan pondok, Hui Lan segera maju dan berlutut memberi hormat. Akan tetapi Tiong Gi Cinjin memegang lengannya dan ditariknya bangkit sambil berkata. "Duduklah di bangku, Hui Lan, aku ingin bicara." Hui Lan bangkit dari duduk. Gadis ini memiliki kecantikan yang lembut. Wajahnya bulat dan cemerlang seperti bulan purnama, gerak-geriknya lembut dan tegas.
Wataknya pendiam, matanya lembut namun tajam. Kulitnya putih mulus dan tubuhnya ramping. Pakaiannya sederhana namun bersih. Dengan gerakan lembut dan sopan ia lalu duduk berhadapan dengan gurunya, siap mendengarkan yang akan dibicarakan gurunya. Ia rasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap gurunya.
"Hui Lan, tahukah engkau sudah berapa lamanya engkau ikut deng diriku mempelajari ilmu di sini?"
"Suhu, yang selalu mencatat hal itu adalah Ibu, dan ketika teecu baru pulang setahun yang lalu, Ibu mengatakan bahwa teecu sudah sembilan tahun belajar ilmu di sini. Maka, teecu kira sekarang teecu sudah sepuluh tahun belalajar di sini."
Tiong Gi Cinjin mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum. "Ibu betul, Hui Lan. Sudah sepuluh tahun engkau belajar ilmu. Usiamu sekarang sudah sembilan belas tahun. Engkau bukan anak-kanak lagi, sudah dewasa dan kukira sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk memanfaatkan semua ilmu yang telah kau pelajari dengan tekun dan penuh semangat. Nah, berkemaslah, Hui Lan. Engkau boleh meninggalkan bukit ini dan sekali ini, aku tidak mengantarmu pulang ke Nan-king karena aku sendiri akan merantau setelah selama sepuluh tahun berdiam di sini.
Pergunakanlah semua Ilmu itu sebaik-baiknya seperti yang telah berulang-ulang aku nasihatkan kepadamu."
Terharu juga hati gadis itu mendengar bahwa ia harus berpisah dari gurunya yang disayangnya seperti kepada ayahnya sendiri.
"Suhu sekarang sudah semakin tua. Teecu anjurkan agar Suhu sudi tinggal saja bersama kami sekeluarga sehingga teecu dapat melayani Suhu."
Tiong Gi Cinjin tersenyum lebar, sinar matanya membayangkan kesukaan hatinya mendengar ucapan muridnya itu. "Terima kasih, Hui Lan. Akan tetapi, sudah jenuh aku tinggal mengeram diri dalam rumah. Aku ingin bebas lepas seperti burung di udara, ingin merantau ke manapun hati dan kaki membawaku. Kalau sudah kenyang berkelana, mungkin aku akan mengunjungi rumah orang tuamu. Sampaikan saja salamku kepada ayah bundamu."