Halo!

Si Rajawali Sakti Chapter 21

Memuat...

"Tiauw-ko, mari kita pergi!" Suaranya terdengar riang gembira. Rajawali itu juga mengeluarkan suara melengking panjang lalu mengembangkan sayapnya dan terbang membubung tinggi.

ooOOoo

Agaknya sudah menjadi kelemahan manusia sejak dahulu untuk selalu merasa paling hebat. Karena itu, tiada hentinya manusia bersaing untuk saling mengungguli. Sejak anak-anak sekalipun manusia sudah mempunyai keinginan untuk menonjolkan diri berupaya agar dirinya diperhatikan dan dikagumi. Setiap orang mencari sesuatu untuk dapat membuat dirinya "lebih" daripada orang lain, baik Itu kelebihan dalam kepandaian, kekayaan, kekuasaan, keelokan rupa, bahkan kelebihan dalam apa yang mereka namakan kebajikan! Bahkan untuk dapat memperoleh sebutan "yang ter " mereka tidak segan menggunakan cara apa pun.

Penyakit batin atau kelemahan ini pun agaknya merasuk ke dalam hati dan pikiran para datuk persilatan. Karena itu, setiap tahun atau kalau yang datang tidak lengkap, diundur setiap dua atau tiga tahun sekali, para datuk persilatan dari empat penjuru datang berkumpul di Puncak Thai-san. Dahulu, pada permulaannya, pertemuan antara para datuk persilatan itu hanya merupakan pertemuan untuk mempererat persahabatan dan untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing. Akan tetapi sejalan dengan pergolakan dalam negeri di mana timbul perebutan kekuasaan, maka hal ini menular kepada para datuk. Mereka itu masing-masing berpihak sehingga terpecah belah. Kalau dulu merupakan pertemuan yang rukun, kemudian berubah menjadi persaingan dan mulailah mereka saling mempertandingkan ilmu silat masing-masing dan akhirnya ditentukan pemilihan jagoan nomor satu dalam setiap pertemuan seperti itu di Puncak Thai-san. Pertandingan yang didorong keinginan untuk menjadi yang terlihai ini terkadang mengakibatkan jatuhnya korban yang terluka parah bahkan ada yang! tewas dalam pibu (adu ilmu silat) itu.

Kemudian, belasan tahun yang lalu, muncul Thai Kek Siansu di dalam pertemuan itu. Thai Kek Siansu melerai dan mencegah terjadinya pertandingan perebutan kedudukan jagoan nomor satu ini. Dia menasihatkan mereka, bukan hanya dengan kata-katanya yang mendalam dan mengandung kasunyatan, namun juga karena semua yang merasa dirinya paling jagoan, ternyata tidak berdaya menghadapi Thai Kek Siansu. Pengaruh Thai Kek Siansu yang disegani semua datuk ini berhasil mengubah pertemuan yang biasanya berakhir dengan pibu yang buas, menjadi pertemuan yang rukun seperti semula. Bahkan perkumpulan atau aliran silat terbesar seperti Siauwlimpai, Bu-tongpai, Kunlunpai dan Gobipai mengirim wakil mereka untuk hadir dalam pertemuan yang bersifat mempererat persahabatan dan bertukar pikiran dengan rukun itu. Akan tetapi, setelah Thai Kek Siansu mengambil Han Lin sebagai murid sepuluh tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi menghadiri pertemuan itu. Maka, kembali terpengaruh perebutan kekuasaan di pemerintahan dan pemberontakan-pemberontakan, penyakit itu kambuh pula dalam batin para datuk dan pendekar persilatan. Terjadilah lagi persaingan dan melihat ini, para wakil atau utusan partai-partai persilatan besar mengundurkan diri dan tidak mau terlibat dalam perebutan itu.

Beberapa tahun kemudian, karena pada setiap pertemuan yang melakukan pibu yang sifatnya saling memperebutkan kedudukan sebagai yang terlihai, hanyalah para datuk tua yang itu-itu juga, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk menghentikan persaingan antara kaum tua itu. Mereka lalu mengubahi peraturan, yaitu dalam setiap pertemuanl itu, yang memperebutkan sebutan Thian-te-he Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu Di Dunia) bukan lagi para datuk tua, melainkan murid-murid mereka, yaitu para pendekar muda yang usianya dibatasi, paling tua berusia empat puluh tahun. Semua sepakat dan tidak ada yang berani melanggar, karena yang melanggar! tentu akan dikeroyok oleh semua pihak yang sudah memutuskan hal itu.

Kemudian, berkembang keadaan yang tidak bersih lagi. Yang melakukan pej rebutan pendekar silat terlihai bukarj hanya terdiri dari para pendekar. Bahkan para tokoh sesat mulai ikut masuk. Penjahat jahat yang kejam dan ganas menganggap diri mereka sebagai "pendekar silat" pula dan ikut memperebutkan julukan itu Akhirnya, pada tahun-tahun terakhir, yang diperebutkan bukanlah "pendekar silat nomor satu" melainkan "orang lihai nomor satu" sehingga tidak ada pemisahan lagi antara para pendekar bersih dan golongan hitam atau golongan sesat. Peraturan perebutan yang terlihai itu pun diadakan dan sudah berjalan selama beberapa tahun. Peraturan itu adalah siapa yang terpilih sebagai jagoan, pada pemilihan mendatang akan diadu dengan pemenang dari semua calon baru. Semua jago yang diadu, baik laki-laki maupun perempuan, berusia tidak lebih dari empat puluh tahun, bahkan biasanya yang jagoan masih lebih muda lagi. Yang usianya lebih tua, sampai empat puluh tahun, kalau bukan kalah tenaga, juga yang merasa dirinya memiliki tingkat tinggi merasa malu kalau harus memperebutkan gelar jagoan dengan orang-orang muda. Pada pagi hari pada tahun itu, seperti biasa banyak orang-orang dunia persilatan yang mendaki Gunung Thai-san untuk menghadiri pertemuan perebutan kejuaraan silat itu. Sudah dua tahun sang juara memegang gelarnya karena tahun kemarin yang hadir hanya sedikit sehingga pemilihan dibatalkan. Tahun ini ternyata banyak yang datang sehingga sebelum hari menjadi siang, di Puncak Thaisa n sudah berkumpul hampir seratus orang dari berbagai golongan.

Para datuk tua yang hadir hanya, sebagai "botoh" saja. Mereka tidak ikuj dalam pemilihan, melainkan mengajukan murid-murid pilihan mereka. Kalau murid mereka menang, berarti nama mereka juga naik dan dihormati. Mereka yang membuka perguruan, kalau muridnya menang berarti uang banyak masuk karena tentu banyak yang ingin menjadi mul ridnya, biarpun harus membayar mahal.

Seperti biasa, dalam pertemuan seperti itu, yang seolah bertindak sebagai "tuan rumah", walaupun tanpa ada hidangan, adalah sang juara atau Thian-he Te-it Bu- hiap dengan para pendukungnya dan biasanya juga ditemani gurunya. Pihak tuan rumah ini tentu datang lebih dulu dan mereka berkumpul di pinggir tanah datar yang menonjol lebih tinggi dari sekelilingnya sehingga merupakan sebuah panggung. Di atas tanah tinggi seperti panggung inilah pertandingan silat diadakan sedangkan tamu-tamu yang menonton berdiri di sekeliling tanah tinggi itu.

Yang akan mempertahankan diri sebagai sang juara yang merebut kedudukan atau gelar juara itu dua tahun yang lalu, adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan kokoh. Dia sudah duduk di situ, di sebelah seorang kakek yang menjadi gurunya. Semua orang tahu bahwa laki-laki muka hitam itu juaranya, memandang kepada dua orang ini dengan penuh perhatian, karena Si Muka Hitam itulah yang akan mempertahankan gelarnya, menandingi penantangnya, yaitu yang terlihai di antara para penantang yang datang pada hari itu.

Guru sang juara itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar, kumis dan jenggotnya panjang, masih berwarna hitam, demikian pula rambutnya yang panjang dan digelung ke atas. Mukanya yang berbentuk persegi itu berwarna merah, sepasang mata lebar bersinar tajam mencorong, hidungnya besar dan bibirnya tebal. Wajah itu tampak menyeramka karena tampak garang dan angkuh. Pakaiannya mewah, dari sutera halus yang mahal dan di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Dia adalah datuk yang amat terkenal di sepanjang pantai Laut Timur yang hanya dikenal dengan julukan Tung Hai tok (Racu Lautan Timur). Dia termasuk datuk kau sesat. Semua penjahat, dari gerombolan perampok, bajak laut, semua maling dari tukang pukul, mereka semua tunduk dari takut kepada Tung Hai-tok dan setiap bulan mereka yang berpenghasilan besar mengirimkan semacam "upeti" kepadanya. Dengan demikian, mereka tidak akan mendapat teguran atau gangguandari datuk sesat itu. Bahkan kalau mereka ada yang terganggu oleh para pendekar yang menentang kejahatan, mereka dapat lapor dan minta tolong kepadanya. Tung Hai-tok tentu akan mengirim beberapa orang muridnya untuk membela mereka menghadapi para pendekar yang berani menentang golongan sesat itu. Tung Hai-tok memiliki beberapa puluh murid, bahkan membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Tung-hai-pang (Perkumpulan Lautan Timur) di mana muridnya yang paling lihai menjadi ketuanya. Dia sendiri hanya menjadi penasihat atau ketua kehormatan.

Ketua Tung-hai-pang itu adalah murid utamanya yang kini menjadi Thian-he Te-it

Bu-hiap! Murid datuk itu, yang juga menjadi Ketua Tung-hai-pang, bernama Boan Su Kok, kini berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh, mukanya hitam dan wajahnya lebih seram daripada wajah gurunya yang sudah tua. Wajah Boan Su Kok itu membayangkan keganasan dan kekejaman. Sinar matanya yang mencorong itu seperti sinar mata orang yang sedang marah. Dua tahun yang lalu, ketika dia merebut gelar jagoan nomor satu, dia bertanding sebagai penantang melawan juaranya pada waktu Itu dan dengan kejam dia telah membunuh lawannyal Semua orang yang kini menghadiri pertemuan itu telah mendengar akan kelihaian dan kekejaman Boan Su Kok yang agaknya hendak mempertahankan gelarnya dengan mati-matian. Sebetulnya, bagi orang-orang yangj tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi sehingga patut menerima gelar Thian-te-he Te-it Bu-hiap, tentu saja dapat mengatur gerakan sendiri dan dapat menahan pukulannya sehingga tidak sampai membunuh lawan. Kalau orang dengan tingkat setinggi itu dalam pi-bu membunuh lawan, hal itu memang disengaja atau ketika bertanding dia dipengaruhi nafsu amarah yang mendorongnya untuk membunuh. Karena itu, ketika para hadirin itu memandang ke arah Boan Su Kok yang duduk di atas panggung tanah di samping gurunya, ada yang memandang dengan sinar mata jerih dan takut, akan tetapi ada pula yang memandang dengan mata membenci dan marah.

Setelah matahari naik tinggi dan tidak ada lagi tamu yang datang, Tung Hai-tok yang duduk di atas bangku mengangkat tangan kanannya ke atas dan semua orang yang tadinya ribut bicara sendiri-sendiri dengan teman atau rormbongan mereka terdiam dan semua orang memandang ke arah kakek itu.

"Sobat-sobat sekalian, sekarang pertandingan dapat dimulai. Mereka yang ingin mengikuti pertandingan diharap maju dan naik ke depan kami!"

Biarpun semua ketika mendaki gunung banyak orang muda yang ingin ikut untuk memperebutkan gelar juara tahun itu, akan tetapi setelah berada di puncak dan melihat sikap Tung Hai-tok dan Si Juara, Boan Su Kok, banyak yang mengundurkan diri karena gentar. Apalagi di bawah panggung tanah tinggi itu, di belakang guru dan murid itu, berkumpul belasan orang yang pakaiannya seragam biru, pakaian para murid Tung-hai-pang. Banyak pula para tokoh kangouw melarang murid mereka yang tadinya ingin ikut bertanding karena mereka mengenal betapa lihai dan kejamnya datuk Si Racun Lautan Timur yang menjadi guru Si Juara itu.

Hanya ada empat orang muda yang berlompatan naik ke tanah tinggi itu dan berdiri tegak di depan Si Juara dan gurunya. Ketika meloncat mereka mem perlihatkan gaya masing-masing dan ternyata mereka memiliki gerakan yang cukup lincah dan ringan, menunjukkan bahwa mereka berempat telah memiliki, tingkat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup tinggi.

Melihat yang maju hanya empat orang, padahal pada tahun-tahun yang lalu sedikitnya ada sepuluh orang, Boan Su Kok bangkit berdiri dari tempat duduknya, bertolak pinggang dan berseru lantang dengan suara yang mengandung kesombongan.

"Hanya empat orang ini? Mana para pendekar yang lain? Apakah sekarang tidak ada lagi orang gagah ataukah kalian merasa takut? Kalau begitu, untuk apa kalian datang ke sini?" Dia lalu menggapai dengan tangannya dan dua orang anak buah Tung-hai- pang melompat naik ke atas panggung. Boan Su Kok lalu memerintahkan mereka untuk melakukan undian. Seperti biasa, mereka yang maju untuk ikut bertanding akan bertanding satu lawan satu dan untuk itu pasangan bertanding mereka diundi. Karena ada empat orang peserta, maka akan dilakukan pertandingan satu lawan satu. Dua orang pemenangnya akan diadu dan pemenangnyalah yang berhak untuk menjadi penantang, melawan sang juara.

Karena para partai persilatan besar tidak ada yang mau ikut, maka sebagian besar yang hadir adalah perkumpulan-perkumpulan silat kecil, itu pun kebanyakan dari golongan sesat. Para pendekar jarang mau ikut karena melihat betapa pemilihan itu kini kotor sifatnya dan menanamkan kebencian, dendam dan permusuhan. Orang memperebutkan kedudukan juara dengan pamrih agar bukan hanya namanya terkenal dan dikagumi, juga agar dia disegani dan memiliki pengaruh besar di dunia kangouw. Apalagi dalam pibu itu sudah tidak dipakai peraturan umum di dunia kangouw. Biasanya di antara para pendekar terdapat peraturan tidak tertulis yang merupakan semacam etika bahwa dalam pertandingan pi-bu (adu silat), baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata, harus menjaga serangan agar jangan sampai membunuh lawan. Bahkan melukai pun kalau mungkin dihindarkan atau hanya luka ringan saja. Akan tetapi dalam pertandingan di Puncak Thaisan itu, seolah-olah pertandingan sampai mati atau pembantaian bagi yang kalah.

Empat orang peserta itu, yang dua orang adalah murid-murid tokoh kangouw yang sesat, akan tetapi yang dua orang lagi adalah orang-orang golongan pendekar.

Ketika diadakan undian, kebetulan dua orang dari golongan sesat itu bertemu dengan dua orang muda pendekar.

Pertandingan pertama dilaksanakan dan ternyata pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang berpakaian serba kuning, murid dari Hoa-san-pai yang datang sendiri tanpa sepengetahuan para pimpinan Hoa-san-pai, dengan mudah mengalahkan lawannya. Murid Hoa-san-pai ini tidak mau melanggar etika pibu di dunia persilatan dan dia hanya mengalahkan lawannya tanpa melukai berat apalagi membunuhnya.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment