Lu Tang-wan tertawa, sindirannya lebih tajam : "Sebetulnya tidak perlu dibatasi. Keponakanku ini hanya mohon pengajaran beberapa gebrak untuk menambah pengalaman. Sulit memperoleh petunjuk dari Hek-ing (elang hitam) yang menggetarkan Kangouw ini, sudah tentu semakin banyak semakin baik !"
"Jangan cerewet !" bentak Lian Tin-san seram, "bocah keparat ayo serang!" mulut bicara takabur, dalam hati ia membatin: "Biar akupun beri kelonggaran tiga lima jurus untuk ambil muka muridku !"
Hong-thian lui melangkah ketengah gelanggang, tiba tiba ia menggertak keras kedua telapak targannya memukul dada Lian-Tin-san. Lian Tin san membusungkan dada menyedot perut, kakinya tegak tidak bergeser tiba tiba badannya doyong kebelakang beberapa inci, pukulan Hong-thian-lui menyerempet tidak mengenai sasarannya.
Pertarungan jago kosen, setiap jurus permainannya menentukan langkah langkah selanjutnya. Begitu gampang dan sepele Lian Tin san menghindar dari pukulan Hong-thian-lui yang dahsyat, dari sini dapat dinilai berapa dalam dan matang latihan silatnya. Lu Tang wan musuh kebuyutan diam diam juga memuji !
Padahal dipandang lahirnya saja memang sepele dan gampang menghindar bahwasanya waktu kedua pukulan Hong-thian lui menerpa tiba, diam-diam bercekat sanubari Lian Tin san.
Meski pukulan orang hanya terpaut setengah inci dari sasarannya, namun betapa kuat dan dahsyat tenaga pukulan Hong-thian lui itu, hingga terasa dada dan perutnya tergetar kesemutan.
Terdengar Hong thian-lui membentak: "Jangan anggap mukamu bengkak dikira gemuk. Kalau tidak balas menyerang memangnya kau ingin menderita !" telapak tangan kiri menyelonong kekanan, sebaliknya telapak tangan kanan bergerak setengah lingkar menerjang kekanan, beruntun ia lancarkan serangan berantai, sayup sayup terdengar gemuruh suara geledek.
Jago kosen seperti Lian Tin san, setelah mendengar olok olok Hong thian-lui seharusnya ia memberi kelonggaran satu jurus lagi. Tapi setelah mengalah satu jurus tadi dadanya tertekan sakit, kalau mengalah lagi sejurus bukan mustahil ia bakal terluka dalam celaka kalau terpukul mati.
Sudah tentu Hong-thian lui tidak tahu bahwa lawan hendak memberi kelonggaran padanya, waktu melancarkan jurus kedua, pertama ia tidak sudi diberi kelonggaran, kedua kawatir kalau benar benar melukai orang, meski menang tidak gemilang. Hong thian lui berjiwa polos dan lapang dada, sebelum serangan dilancarkan ia membentak lebih dulu. Apalagi kedua telapak tangannya bergantian membundar, dengan cara ini meski kekuatan pukulannya bertambah tapi daya serangannya bisa diperlambat. Memang sengaja ia memberi peluang kepada lawan supaya ada waktu melayani serangan ini.
Terdengar Lian Tin-san membentak gusar: "Bagus, kau sudah bosan hidup, biar kuhajar kau!" setelah menggertak, baru lancarkan serangan balasan, telapak tangan kiri menekan lengan kanan Hong thian-lui, berbareng kepelan kanan mengenjot muka orang.
Hong thian-lui tidak mengira lawan bergerak sebat, lekas ia gentakan lengan mengibas tangan orang berbareng mengangkatnya keatas dan menangkis. "Blang!" dadanya kena genjotan pukulan Lian Tin-san.
Karuan hadirin berjingkrak kaget dan pucat mukanya. Terdengar Lu Giok yau berseru mencemoohkan: "Tidak tahu malu, sebagai angkatan tua membokong anak muda!"
Lian Tin san berkata tawar: "Kubiarkan dia menyerang, waktu membalas aku sudah memberi peringatan lebih dulu, mana bisa dianggap membokong? Bocah ini tidak becus! Menyambut sejurus serangan saja tidak mampu apa harus salahkan aku?"
Lian Tin-san kira begitu kena jotosannya Hong thian-lui bakal terjungkal roboh. Siapa tahu orang hanya terhuyung mundur dua langkah saja. Kejap lain tubuhnya sudah tegak kembali dan maju menyerang lagi. Bentaknya: "Aku kan belum kalah, jangan kau membual. Sambut serangan ini!" menurut aturan pertandingan, menjotos lawan hanya dianggap menang sejurus, kalau lawan tidak roboh dan mampu bangun lagi, masih boleh melanjutkan pertandingan.
Rupanya Hong-thian-lui sudah digembleng dari sejak kecil hingga kulit tubuhnya alot dan keras seperti besi. Walaupun Lwe-kangnya belum terlatih sempurna, namun sudah cukup tinggi dan kokoh dasarnya. Jotosan Lian Tin san itu hanya menggetar sakit dadanya, namun tidak terluka dalam.
Kalau Lian Tin san menambahi sekali jotos lagi sebelum ia dapat berdiri tegak, pasti Hong thian-lui dipukulnya roboh terjungkal. Tapi Lian Tin-san terlalu takabur, ia percaya pada kekuatan sendiri, demi menjaga nama dan gengsi sembari menjawab olok olok Lu Giok yau ia menanti Hong thian-lui terjungkal sendiri. Tapi perhitungannya meleset, Hong thian lui ada peluang ganti napas malah.
Hong thian lui mengerahkan hawa murni dari pusar, lalu digelandang tiga kali putaran dalam tubuh, hanya sekejap mata rasa sakit dadanya lantas lenyap. Sigap ia menerjang sembari menghardik, telapak tangan berbareng memberondong kedepan.
Melihat orang bergerak cepat menyerang lagi, suara bentakannya lantang penuh tenaga tanpa cidera sedikitpun jelas tidak terluka dalam oleh pukulannya. Bukan kepalang kejut hatinya, ia membatin: "Tak heran Teng-ngo dikalahkan dalam delapan jurus saja. Bocah ini betul-betul ajaib. Usianya tidak lebih dua puluh tahun, bagaimana mungkin membekal lwekang sehebat ini?" Untuk gebrak selanjutnya ia tidak berani pandang ringan lawannya, ia tumplek perhatiannya dengan jurus Hun in-jiu, kedua tangannya dirangkap lalu dikiblatkan kesamping untuk memunahkan daya tekanan Bit-le ciang Hong thian-lui yang dahsyat itu.
Baru sekarang hadirin bernapas lega, serta merta mereka bersorak lagi. Memberi applus kepada Hong thian lui. Ciang Tiong-ping, Lo-enghiong yang bicara duluan tadi sekarang mengejek pula: "Elang hitam yang kenamaan, ternyata hanya mampu memberi sejurus kelonggaran pada Wanpwe saja."
Lu Giok-yau segera ikut menanggapi dengan tertawa: "Ngalah sejurus saja kho diagulkan. Hehehe, bukan saja terlalu takabur, kulit mukanya juga cukup tebal !"
"Hus, jangan kau mentertawakannya !" demikian goda Ciang Tiong-ping, "Sejurus mengalah tadipun sudah cukup berharga lho!" sengaja ia perpanjang kata-kata 'lho' dengan nada menghina.
Seorang diri Khu Tay-seng berdiri di pinggir membalut luka lukanya, mendengar puji sang Piaumoy terhadap Hong thian lui, hatinya makin mendelu dan jelus, cemburu dan malu lagi.
Dalam pada itu, Hong thian lui juga terkejut melihat lawan begitu gampang memunahkan serangannya, ia berpikir : "Jelas aku takkan menang main pukulan, tapi menang atau kalah tetap kulabrak !"
Untung Hong-thian lui punya pengalaman bertempur melawan In-tiong yan dan Hek-swan hong menghadapi seorang lawan lebih tangguh, ia insyaf bertempur tidak boleh dengan membabi buta, maka untuk gebrak selanjutnya ia menggunakan perhitungan, kedua kepelannya menjaga rapat badan sendiri, serangan dan pertahanan dikontrol dengan rapi, tak perlu menang asal dirinya selamat dan kuat bertahan.
Bit le-ciang yang dimainkan Hong-thian-lui adalah warisan Bit ie hwe Cin Ping salah seorang pahlawan gagah Liang-san pek, daya kekuatan pukulannya hebat luar biasa, rasanya tidak lebih asor dari Kim-kong ciang yang dibanggakan Siau lim si, Lian Tin-san seorang bangkotan silat yang kenamaan di kalangan Kangouw, dia harus menang dan tidak boleh kalah menghadapi pukulan dahsyat Hong thian-lui, ia menjadi kelabakan dan susah ambil keputusan.
Setiap kali melancarkan pukulan Hong-thian-lui membentak keras. Sehingga hadirin pekak telinganya, tanpa merasa mereka menyurut mundur makin jauh dari gelanggang pertempuran, yang tak tahan segera menutup kuping dengan kain atau dengan tangan, namun mereka segan meninggalkan tontonan gratis yang seru ini.
Terkejut dan heran perasaan Lian Tin-san, pikirnya : "Lwekang bocah ini seperti tiada habisnya, sambung menyambung tak pernah putus. Kalau dalam seratus jurus aku tak mampu mengalahkan dia, di mana mukaku harus kutempatkan selanjutnya ?"
Semakin tempur makin sengit, kedua tinju Lian Tin-san menari nari dengan lincahnya, telapak tangan mengemplang, jari-jari pun menutuk, atau mencengkeram, memotong dan menggebuk bergantian, selalu merubah variasi, setiap jurus serangannya mengincar tempat penting ditubuh Hong-thian-lui.
Hong-thian-lui berdiri sekokoh gunung, kedua tinjunya bergerak kencang menerbitkan deru angin yang keras, beberapa jurus pernah terjadi telapak tangan Lian Tin-san hampir mengenai tubuhnya, tapi tiba-tiba ditarik kembali. Ternyata lawan takut terluka oleh kekuatan Lwekangnya, umpama dapat memukulnya roboh namun dirinya akan mendapat malu juga.
Semakin lama Lu Tang-wan makin kejut batinnya: "Tujuh puluh dua jalan Tay-sui-kim-na-jiu-hoat elang hitam sudah terlatih sempurna. Bila aku turun gelanggang menempurnya, mungkin sulit mencapai kemenangan. Bila terjadi seperti dulu, gugur bersama sudah merupakan keuntungan bagi aku."
Tanpa merasa seratus jurus sudah lewat. Betapapun lombok tua lebih pedas, setelah ratusan jurus lambat laun Lian Tin-san dapat menyelami dan meraba ilmu pukulannya yang lihay, maka gerak selanjutnya dengan hati hati ia lancarkan Kim-na-jiu-hoat dengan perobahan isi kosong yang sulit diduga, beruntun ia lancarkan tujuh delapan kembangan, lalu disusul serangan telak tujuannya membuyarkan perhatian Hong thian lui.
Sekarang ganti Hong thian lui yang hilang sabar, dalam perlawanan yang sengit itu ia gunakan tipu Gwa hou teng san (menunggang harimau panjat gunung) tubuhnya menubruk maju berbareng kedua pukulannya merangsek dari atas bawah. Sejak tadi Lian Tin-san perhatikan kelemahan lawan, susah payah ia mendapatkan kesempatan ini, tiba-tiba ia membentak; "Pergi !" penonton melihat kedua bayangan mendadak bergumul lalu terpental mundur. Maka terlihat baju Hong-thian lui robek dadanya tergores luka sepanjang lima senti. Untung dia sudah menggembleng diri sehingga kulit, tulang-tulang sekeras baja kalau tidak cengkeraman ganas tadi pasti bikin lobang besar didadanya. Karuan hadirin terbelalak dan melelet lidah.
"Yah!" teriak Lu Giok-yau, "Kau, kau, gantikan dia saja !"
Selama mengikuti perkelahian seru, Lu Tang-wan sudah punya pegangan untuk mengalahkan musuh segera ia berseru lantang; "Tiatwi Hiantit, kalian bertempur ratusan jurus sungguh harus dipuji! Sekarang kau mundurlah."
"Aku masih ingin minta petunjuk beberapa jurus elang hitam yang menggetarkan dunia persilatan!'' demikian jawab Hong-thian-lui.
Melihat orang membandel, Lian-Tin san menjadi keder juga, jengeknya dingin: "Bocah macam kau ini sebelum melihat peti mati agaknya tidak akan mengalirkan air mata?''
"Melihat peti matipun aku takkan menangis!'' saking bernafsu Hong-thian-lui robek seluruh bajunya bagian atas, maka kelihatan dadanya yang bidang kekar dan berotot. Bagai banteng ketaton ia menyerbu lagi.
Sepuluh jurus kemudian, Lian Tin-san gunakan tipu Yu-khong-tam-jiau, tangannya mencengkeram punggung, kalau kena kulit daging dedel dowel, bentaknya: "Masih tidak menyerah kalah!"
"Aku belum kalah kenapa harus menyerah!" seru Hong-thian lui sambil menerjang tanpa hiraukan luka luka punggungnya yang berdarah. Para tamu yang bernyali kecil sudah melengos tidak berani menonton lagi.