Halo!

Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 38

Memuat...

"Setelah musim semi bagaimana? Kenapa tidak bicara lagi?"

Hong-thian-lui menghela napas, katanya; "Bila musim semi tiba, mungkin aku sudah tidak berada disini lagi.''

Tergerak hati Lu Giok-yau; dari nada ucapannya terang ia berat meninggalkan aku. Serta merta merah jengah selebar mukanya, sambil menunduk ia berkata tertawa; "Tiada orang yang mengusir kau pergi, terserah kau senang tinggal sampai kapan. Hm, umpama kau mau pergi aku akan menahanmu, tahun depan bila musim semi tiba, kita bisa menikmati keindahan ratusan kembang mekar semerbak.''

"Sudah lama aku meninggalkan rumah, sudah saatnya aku kembali. Menanti ayahmu pulang ....."

"Sudahlah jangan kau bicara soal yang menyebalkan. Apa kau suka kembang kembang liar ini?"

"Sudah tentu aku suka !"

"Baik, mari kubuatkan kalung kembang.''

Sejak tadi Khu Tay-seng berdiri diam dipinggir, hatinya merasa panas dan dongkol timbul rasa cemburunya, pikirnya : "Agaknya Piaumoay kepincut bocah gendeng ini. Huh, jangan salahkan aku."

Sekilas mata Lu Giok-yau melirik dilihatnya sang Piauko berdiri menjublek disana seketika ia menjadi sadar, pikirnya: "Aku hendak merujuk hubungan mereka, tanpa terasa mengabaikan dia lagi." segera ia berseru tersenyum : "Piauko, apa yang sedang kau pikir? Setelah kalung kembang ini, maukah kaupun kubuatkan sebuah kalung kembang pula?"

"Masa aku punya rejeki sebesar itu. Coba tebak apa yang sedang kupikir?" demikian ujar Khu Tay seng tertawa.

"Kalau tidak kau jelaskan mana kutahu?"

"Dipuncak sana tumbuh beberapa pucuk kembang seruni ungu, ingin aku memetiknya beberapa kuntum supaya kau buatkan kalung kembang, bukankah kembang seruni lebih indah lebih bagus."

Lu Giok yau bertepuk girang, serunya: "Pendapatmu memang tepat."

"Mari kutemani kau kesana," ujar Hong-thian-lui.

"Memetik bunga saja kenapa mesti berkawan, lebih baik kau di sini saja temani Piaumoayku."

"Baiklah, kau harus hati-hati, puncak itu cukup terjal."

"Terima kasih akan perhatianmu. Walaupun Ginkangku kurang baik, kupercaya takkan kepeleset jatuh."

Sementara Khu Tay seng memanjat puncak, Lu Giok-yau berkata pada Hong thian-lui : "Ling toako, hari ini sikap Piauko cukup baik terhadapmu."

"Sebenarnya Piaukomu bukan orang jahat, cuma pikirannya cupat dan pandangannya picik. Tapi inipun tak bisa salahkan dia, sejak kecil kalian dibesarkan bersama, setelah aku datang, tanpa sengaja membuat hubungan kalian renggang."

"Jangan kau bicara sembarangan." demikian omel Giok yau, "Kau sedang sakit, sudah tentu aku harus mendampingi kau. Kau tak perlu berkeluh kesah."

Perasaan Hong-thian lui menjadi hangat dan manis. Tak tahu dia apa yang harus diucapkan, dengan sikap linglung ia mendelong mengawasi orang menganyam kalung-kalung bunga.

Tatkala mereka melengos dengan rasa jengah, sekonyong konyong terdengar Khu Tay seng berteriak keras: "Lekas lari, lekas lari, musuh datang!"

Mendadak beberapa orang muncul diatas puncak, tampak Khu Tayseng lari terbirit birit, orang-orang itu mengejar dengan kencang dibelakangnya. Para pengejar itu ada tujuh delapan orang, ada laki-laki ada perempuan, yang terdepan adalah perempuan setengah umur. Tampak ia menyusul dibelakang Khu Tay-seng.

Mana mungkin Hong thian-lui mau lari? Dengan menghardik ia memburu maju: "Kurcaci jangan takabur."

Sementara itu Lu Giok yau juga berteriak, "Piauko jangan gugup, kami bantu kau."

Khu Tay seng berteriak lagi: "Piaumoay, lekas lari. Luka-luka Ling-toako belum sembuh, mana bisa berkelahi? Biarlah aku menahan mereka, lekas kau ajak dia pulang."

Lu Giok yau tahu watak Hong-thian-lui, apalagi dia sudah menerjang kedepan, untuk membujuknya sudah tak mungkin lagi. Mendengar teriakan Khu Tay seng ia malah mengerut kening, pikirnya : "Kenapa Piauko begitu ceroboh, dia membongkar keadaan Ling-toako yang belum sembuh bukankah mengunjuk kelemahan sendiri ?" bahwa Khu Tay-seng prihatin akan keselamatan Hong-thian-lui, benar benar diluar dugaannya. Oleh karena itu meski ia sesalkan kelalaian orang, betapapun hatinya sangat haru dan senang.

Dikata lambat kejadian sangat cepat, perempuan pertengahan umur itu sudah berhasil mengejar Khu Tay-seng, bentaknya, "Bocah keparat jiwamu sendiri belum tentu selamat, kenapa ingin melindungi orang lain? Mari rasakan golokku."

Gaman perempuan pertengahan umur adalah sepasang Liu-yap to panjang pendek, golok panjang membacok lurus, sedang golok pendeknya membabat miring, lekas-lekas Khu Tay seng melolos pedang menangkis dan melawan beberapa jurus. Sebelum Lu Giok yau menyusul tiba, ia sudah terbacok sekali.

Lu Giok-yau berteriak dari kejauhan, langkahnya dipercepat, tampak perempuan pertengahan umur itu mengayun tangan menyambitkan tiga buah Thi-liancu, kontan Khu Tay-seng mengeluh tertahan terus menggelundung kedalam semak belukar. Ternyata salah sebuah Thi lian cu tepat mengenai jalan darahnya.

Dua butir Thi lian cu yang lain terbang kearah Lu Giok yau. Gesit sekali Lu Giok-yau kembangkan permainan pedang Luan-ki-kong untuk menangkis, tring, tring, kedua Thi lian cu terpental balik.

Terdengar perempuan itu berseru tertawa : "Kepandaian genduk ayu ini ternyata lumayan. Apakah putri Lu Tang-wan ? Kupandang muka ayahmu, tidak kucabut nyawamu. Lekas kau tolong Piaukomu itu." Waktu Lu Giok-yau angkat kepala, Khu Tay-seng sudah menggelundung kesemak belukar setinggi badan manusia, dan tak kelihatan lagi bayangannya. Tempat itu cukup jauh dari Lu Giok-yau, segera ia berteriak: "Ling toako, coba kau ke sana memeriksanya. Hm, perempuan galak ini berani melukai Piaukoku, biar aku adu jiwa dengan dia."

Perempuan pertengahan umur itu menyeringai dingin, jengeknya : "Kuberi ampun tak mau lari, sungguh tidak tahu diri, lihat golok !"

"Sret !" kontan Lu Giok-yau kirim sebuah tusukan, cepat perempuan pertengahan umur angkat goloknya menangkis, sementara golok pendeknya yang lain membacok dari samping. Lu Giok-yau gunakan jurus Hong-biau-lok-hoa (angin menghembus kembang jatuh), menghindar sekaligus balas menyerang dengan jurus Giok-li-to so, yang diserang adalah tenggorokan lawan.

Perempuan pertengahan umur itu memaki gemas : "Budak busuk, kejam seranganmu." dengan gaya burung Hong manggut ia menghindar berbareng kedua golok panjang pendeknya terangkat menangkis, 'tring' serangan Lu Giok-yau berhasil dipatahkan.

Semula Lu Giok-yau menyangka kepandaian perempuan pertengahan umur ini jauh diatas dirinya, sebab kepandaian Khu Tay-seng lebih tinggi dari tingkatannya. Khu Tay-seng terluka hanya beberapa gebrak, maka ia sangka dirinya tak mudah menang, namun umpama bukan tandingan juga harus melawan sekuat tenaga. Tak diduga setelah saling serang, baru tahu bahwa kepandaian perempuan pertengahan umur ini tidak setinggi yang diduganya, kini ia kerepotan oleh serangannya.

Lu Giok-yau heran dan bertanya dalam hati, kenapa hanya beberapa jurus sang Piauko sudah terjungkal di tangan perempuan jahat ini. Tapi terpikir olehnya mungkin Khu Tay-seng terlalu tegang dan gugup sehingga dirobohkan. Ia bertempur melawan perempuan pertengahan umur itu, tiada waktu berpikir lebih lanjut.

Sementara itu, kawanan pengejar di belakang itupun sudah tiba. Salah seorang bermuka burik bertubuh tinggi besar segera berteriak : "Hotoaso, silahkan mundur. Biar budak ayu ini rasakan pasir penyabut nyawa." Baru saja dia hendak sambitkan senjata rahasianya, salah seorang lain berjambang bauk tebal mencegah dengan suaranya serak dan keras seperti lonceng : "Ciok-ceng cu, jangan semberono."

Si muka burik itu bertanya : "Tokko-heng, kenapa kau cegah aku ?"

Laki laki jambang bauk itu tertawa katanya : "Gadis ini ayu rupawan, apa kau mau membuatnya burikan seperti tampangmu yang jelek itu ?"

Laki-laki burikan itu malu jengah, berarti marah tapi tak berani bercuit, katanya tertawa pahit: "Tak kira Tokko-heng kasihan pada dara cantik jelita."

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment