Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 41

CSI

Lu Giok-yau tidak kenal asal usul orang ini, dalam hati ia berpikir : "Selamanya ayah tak punya sahabat begini muda." entah untung atau bakal buntung segera ia menyahut: "Beliau adalah ayahku, kenapa ?"

Setelah mendapat jawaban, mendadak orang itu putar balik, katanya : "Sekarang sudah jelas aku bermusuhan dengan kalian, kalau ingin selamat, lekas menggelinding pergi."

Sejak tadi Hoa-toanio sudah siaga, spontan ia sambitkan enam pisau terbangnya ke arah orang itu.

Enam pisau terbang itu bertaburan kelap kelip ditengah udara, bermula menjurus lurus kedepan ditengah jalan tiba-tiba terpencar, dari berbagai jurusan terbang kearah orang itu, dari atas tengah dan bawah Hiat-to ditubuh orang itu terkurung oleh berondongan pisau terbang.

Orang itu berdiri tenang, kipasnya dikebaskan perlahan-lahan, mulutnya menyungging senyum ejek, ujarnya, "Mutiara sebesar beras juga memancarkan cahayanya." terdengarlah suara trang tring mirip orang memetik harpa, entah dengan cara apa ternyata enam pisau terbang itu ditangkis balik ke arah pemiliknya.

Saking keder perempuan pertengahan umur gemetar, lututnya goyah dan lemas. Ternyata enam pisau terbang yang mental balik itu, seperti formasi-formasi sambitannya tadi, terbang dari berbagai jurusan yang berlainan, kepandaian menyambut senjata rahasianya belum sempurna, dia pandai mengunakan gaya Liok liong-ping ca, tahu cara bagaimana menyerang melukai musuh, tapi tak tahu cara bagaimana harus mengatasi atau menangkis. Saking gugupnya, lekas kedua tangan memeluk kepala terus menggelundung ke tanah, badannya terguling guling kebawah lereng bukit.

Pisau terbang itu menyambar, terasa kepalanya dingin silir, kupingnya sempat dengar orang itu berkata : "Mengingat kau seorang perempuan, kuampuni jiwamu."

Waktu Hoa-toanio meraba kepalanya, ternyata kulit kepalanya yang tercukur kelimis sedikitpun tidak melukai kepalanya. Meski tidak terluka namun saking kejut terasa arwahnya terbang keawang-awang, tergopoh gopoh ia merangkak bangun terus lari pontang-panting tanpa hiraukan kawan-kawan lainnya.

Meski Hoa toanio lari sipat kuping, nasibnya cukup beruntung, paling hanya ketakutan dan tercukur rambutnya. Sebaliknya Ciok Khonglah kena getahnya.

Disaat Hoa-toanio menyambitkan pisau terbangnya tadi, berbareng Ciok Khong berputar kebelakang orang, menurut anggapannya, dibawah serangan hujan senjata rahasia, walaupun kepandaiannya tinggi pasti kerepotan, begitu lawan berkelit dengan leluasa dirinya akan menyergap dari belakang dengan bacokan goloknya.

Tak duga hanya sekali gerak tangan orang itu punahkan serangan Liok liong-ping ca Hoa-toanio yang cukup lihay, hakikatnya tidak perlu kelit atau menggeser kaki. Lebih mengagumkan, belakang kepalanya seperti tumbuh mata, disaat Ciok Khong membacok dengan goloknya, tiba-tiba sebelah tangannya yang lain terayun balik kebelakang. Belum lagi golok Ciok Khong mengenai sasaran, kipas lawan sudah menutuk telak dijalan darah di pergelangan tangan Ciok Khong.

Serangannya begitu lincah dan cepat luar biasa, umpama Ciok Khong sudah siaga, juga takkan luput dari serangan ini, apalagi mimpi juga ia tidak mengira, musuh begitu cepat membebaskan diri dari berondongan senjata rahasia, sekaligus menyerang dirinya. Terdengar "Trang !" Ce-kim to milik Ciok Khong terpental terbang ketengah udara, melayang jatuh kedalam jurang, goloknya berkerontangan menyentak batu-batu gunung, gema suaranya yang keras memekak telinga Ciok Khong sendiri.

Saking kejut dan ketakutannya, Ciok Khong berteriak: "Kau adalah Santian-jiu dari Kanglam?" San-tian-jiu berarti tangan kilat.

Orang itu mendengus hidung, katanya : "Kaupun kenal nama julukanku ? Baik, kuampuni jiwamu!'' mendapat pengampunan Ciok Khong lantas terbirit-birit mengikuti jejak Hoa-toanio.

Dilain pihak, Lu Giok-yau juga menjadi kegirangan, serunya : "Harap kau suka menolong Ling-toako."

"O, apakah Ling-toako itu adalah sahabatmu ?" tanya orang itu.

"Benar, benar. Lekaslah !" desak Giok-yau gugup.

Tak nyana orang itu berlaku kalem dan acuh tak acuh, bukan segera maju kesana malah tanya lagi : "Aku ingin tahu, siapakah ayahnya ?"

Hong-thian lui adalah keturunan pahlawan gagah gunung Liang-san, Giok-yau pernah mendapat pesan wanti-wanti dari ayahnya untuk merahasiakan asal usulnya. Tapi keadaan Hong-thian lui sekarang amat gawat, Lu Giok-yau tak sempat banyak pikir, sebentar sangsi segera ia menjawab: "Ayahnya bernama Ling Hou !"

Waktu San-tian jiu mengalahkan Ciok Khong, Tokko Hiong sudah tahu bahwa situasi tidak menguntungkan pihaknya segera ia memberi aba-aba kepada para kawannya : "Lekas, bunuh bocah ini !"

Tokko Hiong, Ciok Goan dan seorang lain yang menggunakan tombak berlomba menyerang. Mendadak Hong-thian-lui gunakan Hong tian-thau (burung hong manggut), ujung tombak menyerempet pundaknya. Dikata lambat prakteknya adalah secepat kilat, sementara itu telapak tangan Tokko Hiong juga menjulur tiba, tahu-tahu sudah beberapa inci diatas batok kepalanya. Ciok Goan lebih licin lagi, dia berputar kebelakang Hong-thian-lui, tinjunya menjotos punggung, yang diincar jalan darah penting yang mematikan.

Sudah tentu Lu Giok-yau menjerit kejut sambil meramkan mata. Dengan kalem San-tian-jiu berkata, "Tak usah gugup!" entah dengan gerak apa, laksana burung elang menukik dari angkasa menerobos hutan menerkam kelinci, belum suaranya hilang tahu-tahu sudah menyerbu ketengah musuh.

Sudah tentu Hong-thian lui tidak mudah diserang secara konyol. Begitu menggunakan Hong-thiam-thau sekaligus ia tangkap tombak lawan terus tarik dan menyendalnya, gagang tombak patah. Berbareng sikut kiri menyodok kebelakang menangkis jotosan Ciok Goan yang mematikan. Begitu dua tenaga raksasa saling bentrok, tinju Ciok Goan remuk, tulang tangannya hancur luluh kontan ia menjerit keras, melompat mundur beberapa tombak kebelakang.

Namun, Hong-thian-lui juga sudah kehabisan tenaga, meski berhasil melumpuhkan tombak musuh dan melukai Ciok Goan, tak urung lengannya pegal dan linu dan tak kuasa bergerak lagi. Sebetulnya begitu memukul mundur Ciok Goan dia hendak mengadu kekuatan dengan Tokko Hiong, namun ada hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai.

Kedatangan San-tian-jiu justru tepat pada waktunya, jarak telapak tangan Tokko Hiong tinggal beberapa inci dari batok kepala Hong-thian-lui. Mendadak terasa selarik angin kencang menerpa tiba, ternyata San-tian-jiu kirim pukulan ketengkuknya. Serangan ini cukup telak, musuh harus menyelamatkan diri sebelum menyerang musuh. Jika Tokko Hiong tidak berkelit atau meladeni serangan ini batok kepala sendiri mungkin terpenggal dari badannya.

Sudah tentu Tokko Hiong tidak berani mempertaruhkan jiwa raga sendiri dengan jiwa Hong-thian-lui, sebat sekali ia memutar tubuh, serempak kedua telapak tangannya melintang didepan dada sembari menangkis dan punahkan samberan telapak tangan San-tian-jiu.

Untung ia menangkis serangan telak San-tian-jiu, namun tak kuasa membendung tenaga murni lawan. Begitu tangan mereka bentrok, "Bleng!" Tokko Hiong menyemburkan darah segar, tubuhnya sempoyongan tujuh delapan langkah. Kamrat-kamratnya ketakutan, beramai angkat langkah menyelamatkan diri.

"Saudara Ling, aku terlambat setindak, bagaimana keadaanmu?" segera San-tian-jiu berjongkok.

"Aku tak apa-apa, lekas tawan seorang diantara mereka untuk dikompas keterangannya." katanya tidak apa-apa, padahal mukanya pucat pasi. San tian-jiu mengira luka-lukanya sangat parah, maka tak sempat ia mengejar para penjahat itu.

"Menawan seorang hidup apa susahnya?" ujar San-thian-jiu, sekali raih ia jemput sebutir batu, diremas hancur menjadi empat lima butir kerikil terus disambitkan kearah para penjahat yang lari terbirit birit dilereng gunung. Jarak mereka sudah ratusan langkah lebih, namun tiga orang berhasil disambit batunya. Sayang jaraknya terlalu jauh, dua diantaranya memiliki Lwekang tinggi, lukanya tidak berat, segera dipapah lari oleh kawan lainnya. Seorang yang lagi merangkak bangun hanya lari beberapa tindak; terus terjungkal roboh lagi.

"Tuh, tawanan hidup sudah tersedia, tak perlu mengompas keterangannya. Saudara Ling, coba kuperiksa, luka-lukamu perlu segera diobati.''

"Lukaku luka lama, sudah sembuh tujuh delapan bagian. Luka-luka baru ini hanya lecet dikulit belaka tak perlu dikawatirkan. Lekas kau tawan dua tiga orang lagi."

San-tiau-jiu tertawa geli, ujarnya : "Luka lama atau luka baru harus diobati, seorang tawanan hidup sudah cukup." tanpa memberi kesempatan Hong-thian lui bicara lagi, segera ia turun tangan mengurut dan memijat, menormalkan jalan darah Hong-thian lui. Lu Giok yau juga maju membubuhi Kim-jong-yok.

San-tian-jiu mengurut dan memijat, maka Hong-thian-lui harus bantu mengerahkan hawa murninya. Karena tak enak menampik kebaikan orang, karena hawa murninya memang hampir ludes, tanpa ada seorang tokoh kosen dalam bidang ini takkan dapat melemaskan otot dan tulang belakangnya, untuk berdiri memerlukan waktu yang cukup lama. Terpaksa ia menurut nasehat. San thian jiu sementara menentramkan diri untuk berobat diri.

Kira kira setengah jam kemudian air muka Hong-thian lui pulih kembali. San-thian-jiu berkata: "Lwekang saudara Ling cukup tangguh, jarang Siaute menemukan anak muda yang punya dasar latihan begitu sempurna."

Cepat Hong-thian lui lompat berdiri, serunya : "Mungkin bisa kecandak mari kita kejar mereka. Kalau tawanan hidup ini kaum keroco, tiada keterangan penting yang dapat kita kompas dari mulutnya. Lebih baik kita ringkus Tokko Hiong."

San tian-jiu sadar, pikirnya : "Tokko Hiong adalah pentolan kawanan penjahat itu bila bisa meringkusnya tentu lebih baik." namun karena kesehatan Hong-thian lui baru sembuh, ia masih kawatirkan keselamatannya.

Tengah ia sangsi, mendadak terdengar seorang perempuan tua berseru dengan suara kawatir dan gugup : "Giok ji ! Giok ji !"

Giok-yau berteriak : "Ah, ibuku datang ! Bu, aku berada disini."

Tampak Lu-hujin berlari mendatangi secepatnya, setelah tiba dihadapan mereka, ia gendrukan tongkatnya ditanah, omelnya, "Ai, kenapa kau tidak dengar nasehat ayahmu, membawa Ling-suheng keluar ! Tadi kudengar suara pertempuran apakah, apakah ..."

"Bu, tak usah gelisah, memang datang serombongan penjahat, semua sudah dipukul mundur. Tuan penolong inilah yang melabrak mereka." dia hanya tahu orang ini berjuluk San-thian jiu (si tangan kilat) namun belum tahu nama aslinya.

Pantasnya Lu-hujin harus nyatakan terima kasih kepada San-tian-jiu, tapi hatinya sedang gugup memikirkan keselamatan orang lain, sehingga tidak sempat menanyakan nama San-thian-jiu, setelah celingukan kian kemari ia berteriak kejut : "Dimanakah Piaukomu, kenapa tidak kelihatan."

Selama ini Lu Giok yau sibuk membubuhi luka-luka Hong-thian lui, baru sekarang ia teringat, jawabnya : "Piauko kesambit senjata rahasia musuh dan tertutuk darahnya itu didalam semak belukar sana."

Lu-hujin marah-marah : "Kenapa tidak kau tolong dia, meski luka Ling suheng cukup parah, jiwa Piaukomu juga harus dilindungi bukan ? Apakah kau tidak sempat menengoknya ?"

Merah jengah selebar muka Lu Giok-yau katanya tergagap : "Aku, kulihat Piauko tidak terluka berat, apa salahnya membebaskan jalan darahnya sedikit terlambat."

Dimarahi dihadapan orang banyak oleh ibunya, sudah tentu Lu Giok-yau menjadi uring-uringan dan cemberut.

Hong thian lui menjadi rikuh, dengan tertawa dibuat buat ia berkata : "Lukaku tak menjadi soal, lekas tolong Khu-toako." belum habis Lu hujin sudah lari kearah tempat yang ditunjuk.

Mendadak San tian-jiu bertanya lirih kepada Giok-yau : "Piaukomu she Khu?"

"Benar, dia bernama Khu Tay seng !"

Posting Komentar