Teringat ayah bunda yang hilang entah kemana, saudara kandung yang berpisah tinggal dia seorang diri hidup sebatang kara dengan membekal tugas berat.
Betapa juga aku harus mencari jejak ayah bunda serta adikku, apalagi sebelum dendam sakit hati orang tua belum terbalas, ini merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebagai putra berbakti.
Kenangan lama ini menimbulkan rasa dendam dan kebencian yang semakin berkobar membakar hati terhadap Kim-i-pang dan Hiat-hong-pang, sungguh dia sangat gegetun kepada kepandaian sendiri yang kurang sempurna sehingga dalam pertempuran semalam tidak mampu membongkar kedok Kim i Pang-cu dan Hiat-hong Pang cu.
Pesan gurunya untuk mencari dan menemukan Kim leng-cu juga belum dapat terlaksana, Dimanakah Ang-I mo li Li Hong, seumpama dia mengalami cidera atau terancam jiwa dan kesuciannya, bukankah ini perbuatan salah dirinya? Teringat pula akan Wi-thian-ciang Liong Bun yang menyelundup dalam hutan kematian, dimana ia memberi pesan akan tugas berat tentang mati hidup kaum persilatan umumnya.
Dan lagi murid Pat-ci-kay-ong yaitu iblis rudin Siok Kuitiang, istri tersayang Coh Ki-sia masih berada di Hwi-hun-sancheng yang tengah menunggu dirinya puIang.
Kasih sayang dan perhatian Ci-bu-giok-li terhadap dirinya, Gerak gerik misterius pemuda baju kuning Tan Hak-siau, serta uluran tangan membantu kesukaran yang tengah di hadapi itu, semua peristiwa ini laksana gambar bioskop bergantian terbayang didalam benaknya.
Dalam jangka setengah tahun ini ia harus dapat menemukan gurunya, untuk berusaha menghadapi gerakan besar-besaran yang mungkin dikerahkan oleh hutan kematian.
Sungguh besar tanggung jawab yang dipikulnya ini ! Selain sakit hati keluarga dan tugas berat perguruan, sekarang secara tidak langsung dirinya sudah menjadi kurir sebagai penyambung berita akan bahaya kehidupan kaum persilatan khususnya.
Tapi sekarang dirinya sudah terjatuh di cengkeraman Kobok- im-hun, jalan darah tertutuk tak mampu bergerak, Sudah tentu Kim-pit dan Jan-hun-ti peninggalan gurunya itu sudah terampas oleh musuh, kalau dirinya tidak hati-hati dan sabar menghadapi situasi mungkin jiwanya sendiri juga bisa melayang.
Karena pikirannya ini, hatinya menjadi rawan dan masgul, tanpa merasa dua titik air mata mengalir keluar.
Sinar sang putri malam yang cemerlang menyorot masuk melalui celah-celah genteng yang pecah, menambah keadaan dan suasana dalam rumah bobrok ini menjadi sunyi seram.
Karena tidak dapat bergerak, pandangan mata Giok-liong hanya tertuju keatas, kebetulan di ujung atap sana ada lobang cukup besar untuk dapat memandang keluar, terlihat bintang kelap kelip diatas cakrawala nan biru kelam.
Air mata semakin membanjir keluar menggenangi kelopak matanya sehingga pandangan menjadi buram.
Giok-Iiong berusaha mengerahkan hawa murni untuk menjebol jalan darah yang tertutup, tapi usahanya ternyata sia-sia ! Baru sekarang didapatinya bahwa jalan darah yang tertutuk di dalam tubuhnya bukan satu dua tempat saja, Maka tidak mungkin lagi ia dapat menghimpun hawa murninya yang terpencar untuk menerjang jalan darah yang buntu.
Sungguh dia tidak tahu cara bagaimana ia harus berbuat.
Tengah pikirannya tenggelam dalam kehampaan, kedua gadis remaja yang duduk bersila itu sudah siuman.
Gadis disebelah kanan beraut muka rada lonjong pelan-pelan berdiri lemah gemulai, katanya kepada gadis disebelah kiri.
"Chiu-ki cici, apa Siocia ada memberitahu kapan beliau bakal kembali ?"
Gadis sebelah kiri itu juga bangun berdiri, sahutnya tersenyum manis.
"Ha-lian-cici tidak lama lagi pasti siocia bakal tiba."
"Siocia ini memang, kemanakah ia pergi, Sudah sekian lama belum pulang, sekarang sudah menjelang malam."
"Katanya Siocia pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli makan." "Ya, Allah. Berapa lama dari sini ke kota! Mengapa mendadak timbul keinginan Siocia hendak membeli makanan apa segala? Biasanya kalau melakukan perjalanan diatas belukar, selamanya belum pernah beliau membeli makanan tetek bengek."
Tanpa tedeng aling-aling mereka memperbincangkan sang majikan, tak tahunya ini Giok-liong sudah sadar sejak tadi.
Mendengar pembicaraan kedua gadis remaja ini, hati Giokliong menjadi heran.
Terang gamblang bahwa dirinya sudah terjatuh ditangan Ko bok-im-hun, lalu dari mana pula muncul seorang "Siocia"
Pula? Apakah Ci-hu-giok-li telah menolong dirinya? Tidak mungkin, Kalau benar Ci-hu giok-Ii, mengapa dia tidak membebaskan tutukan jalan darahnya? Tengah ia berpikir-pikir ini, tidak jauh dipinggir tubuhnya sana mendadak terdengar suara cekikikan merdu, serta suara berkatai "Ha lian, Chiu-ki, jangan sembarang ngomong ya, awas nanti kupotong kedua kaki kalian."
Ha-lian dan Chiu-ki saling berpandangan dan membuat muka setan sambil berjingkrak bangun, serunya.
"Siocia kau sudah datang!"
Bau arak dan daging panggang lantas terendus ke dalam hidung Giok-liong, sayang ia tidak mampu bergerak, kalau tidak tentu ia sudah berpaling kearata sana untuk melihat sebentar orang macam apakah siocia yang dibicarakan tadi sekarang dia hanya dapat memastikan sedikit, yaitu suara Siocia ini adalah sangat asing bagi pendengarannya.
Meskipun masih asing tapi enak didengar, seolah-olah bunyi kelintingan perak yang dapat menggetarkan sanubari pendengarannya.
Bau arak dan daging panggang yang harum semerbak membuat perutnya terasa keroncongan berbunyi kerutukan.
Suara merdu yang nyaring itu lantas berkata lagi.
"Ha-lian, orang she Ma itu sudah kelaparan, pergilah kau bebaskan jalan darahnya supaya dia makan sekedarnya."
Ha-lian mengiakan, lalu katanya.
"Orang ini memang cukup kasihan, ya, Siocia!"
Suaranya yang terakhir diulur panjang seakan-akan memang sengaja hendak bergurau dan menggoda.
"Hus, Ha lian, kau ini dengar perkataan ku tidak?"
Saat itulah Chiu-ki lantas menyela.
"Sio-cia, badan orang ini menderita luka-luka yang tidak ringan, apalagi jalan darahnya sudah tertutuk sehari semalam, mungkin rada... menurut hemat hamba, terlebih dulu harus dijejali obat kuat dulu."
"Hm ... terserahlah kepadamu."
Baru saja perkataan ini lenyap, terlihatlah sebuah tangan putih halus pelan-pelan diulurkan kedepan ointanya, jari-jari runcing bagai duri harus itu menjepit sebutir pil warna merah yang mengkilap terus dijejalkan kedalam mulutnya.
Segulung bau wangi yang menyegarkan badan dan semangat terus menerjang kedalam otaknya, sehingga badan yang tadi terasa pegal linu serta pikiran pepatnya seketika segar kembali, Pil itu begitu masuk kedalam mulut lantas lumer menjadi cairan tertelan masuk kedalam perut terus menembus ke pusarnya.
Dan bertepatan dengan itu tubuhnya terasa tergetar bergantian, nyata tutukan jalan darahnya telah dibebaskan.
Cepat-cepat ia kerahkan hawa murni menuntun khasiat obat berputar diseluruh badannya.
Tak lama kemudian terasa tenaga dalamnya penuh sesak, hawa murni bergulung-gulung seperti hendak melonjak keluar.
Nyata bahwa luka lukanya sudah sembuh seluruhnya.
Bergegas segera ia melompat bangun sam bil memandang celingukan Tampak terpaut setombak disebelan sana ada sebuah meja sembahyang yang sudah dibersihkan kedua sisi meja diduduki Ha-lian dan Chiu-ki sedang yang duduk ditengah adalah seorang gadis jelita yang mengenakan pakaian warna merah muda, Rambutnya panjang semampai laksana sutra halus berkilau gelap terjulur diatas pundaknya, alisnya lentik bagai bulan sabit, dengan bibir merah laksana delirna merekah, kulitnya putih halus laksana batu giok.
Melihat Giok liong sudah berdiri segera ia unjuk senyum manis, terlihatlah dekik menggiurkan di kedua pipinya, katanya nyaring.
"Ma-siau hiap, kau tidak kurang suatu apa bukan ?"
Tersipu-sipu Giok liong soja sembari katanya.
"Banyak terima kasih akan budi pertolongan nona ini, aku yang rendah takkan melupakan selamanya."
Dalam hati ia beranggapan bahwa dirinya telah tertolong dari cengkeraman Ko bok-imhun oleh ketiga majikan dan pelayan. Gadis jelita itu tersenyum simpul.
"Ah mengikat diriku saja, Ma-siau-hiap pasti sudah lama tidak makan bukan, mari silakan tangsel sekedarnya."
Giok-liong soji lebih dalam lagi, tanyanya.
"Harap tanya siapakah nama nona yang harum ?"
"Aku bernama Liong Soat-yan ....."
Lalu ia berdiri menunjuk kedua pelayannya di kanan kiri lalu sambungnya lagi ini Ha-lian dan ini Chiu-ki "
Giok-liong maju pelan-pelan menghampiri meja Ling Soatyan segera mengulurkan tangannya menyilakan Giok-liong duduk di-hadapannya.
Diatas meja penuh dihidangkan makanan-makanan lezat, ada sayur mayur dan ayam panggang serta arak dan lain-lain.
Setelah sekedarnya sapa sapi bermain sungkan-sungkan, mulailah mereka gegares bersama, Tapi terasa suasana rada janggal dan kikuk.
sedang Ha lian dan Chiu-ki saban-saban tertawa cekikikan sambil pelerak-pelerok.
Setelah menenggak secangkir arak, Ling Soat-yan berkata kepada Giok-liong sambil unjuk senyum manis.
"Konon kabarnya Ma-siau-hiap adalah murid penutup dari majikan Kim pit dan Jan-hun-ti !"
Bercekat hati Giok-liong, baru sekarang teringat potlot mas dan seruling samber nyawa itu olehnya, Entah apa masih digembol dalam badannya tidak, kalau sudah bilang entahlah harus bagaimana ! Namun sekarang tengah duduk makan minum berhadapan dengan nona Ling, kalau merogoh menggagapi kantong rasanya kurang hormat.
Sebaliknya pertanyaan yang diajukan sekarang ini, haruslah ia menjawab secara jujur atau perlu mengapusi saja ? Tapi setelah dipikir dipikir kembali, apa pula halangannya berkata terus terang ...
Ling Soat yan tertawa geli, ujarnya.
"Apakah Ma-siau-hiap ada kesukaran untuk menerangkan?"
Cepat Giok-liong unjuk tawa dibuat-buat, katanya.
"Ah, bukan, bukan begitu, potlot mas dan seruling samber nyawa itu memang pemberian guruku."
Raut muka Ling Soat-yan mengunjuk sedikit perubahan, tapi hanya sekejap saja lantas terlindung oleh senyum manisnya yang memikat hati, ujarnya nyaring.
"Kudengar katanya pertempuran semalam yang sengit itu adalah untuk memperebutkan seruling samber nyawa itu ?"
Giok-liong manggut-manggut.
"semalam Kim-i pang, Hiathong pang, Pek - hun - to dan Ko bok im-hun serentak turun tangan, situasi waktu itu sungguh sangat berbahaya. Mendadak Ling Soat-yan berseru heran, raut mukanya yang jelita itu mengunjuk rasa heran dan aneh, katanya.
"Lalu mengapa Ma-siau hiap semalam bisa berada didalam kuil bobrok ini, dengan tertutuk jalan darahnya ?"
"Apa?"
Tercetus pertanyaan Giok-liong keras-keras saking kaget, Bersama itu tangan kanan lantas menggagap kearah pinggang, dilain saat lantas terlihat selebar mukanya menjadi pucat pias.
Keringat dingin merembes diatas jidatnya, Kiranya Potlot mas memang masih ada tapi seruling samber nyawa itu sudah lenyap.
Terdengar Ling Soat yan berkata lagi.
"Waktu kami semalam lewat ditempat ini kulihat kau tertutuk jalan darahmu dan di baringkan disebelah sana . ."
"Kalau begitu ..... jadi nona Ling belum pernah bergebrak dengan Ko-bok-im-hun Ki-kiat?" .
"Tidak !"
Tanpa merasa Giok-liong menggigit gigi kencang-kencang sampai berbunyi berkeriutan, hawa amarah merangsang dalam benaknya, desisnya berat.
"Budi pertolongan nona Ling kali ini biarlah kelak kubalas, sekarang juga aku harus mengejar kembali benda pusaka milik perguruan itu, kalau tidak mana aku ada muka menghadap kcpaia guruku ... , belum habis kata-katanya, kaki kanan sedikit menggentak tanah, tubuhnya melejit ringan sekali laksana segulung kabut putih terus menerobos keluar lenyap dibalik hutan. Tercetus teriakan Ling Soat-yan.