Sementara itu, pemuda baju kuning itu menonton dipinggiran sambil menggendong tangan serta mengunjuk senyum-senyum manis, cermat sekali ia mengamati segala perobahan dalam gelanggang pertempuran.
Juga didalam rimba sana tengah banyak pasang mata dengan terbelalak, tanpa berkedip menonton serta menanti perobahan yang bakal terjadi di tengah gelanggang sini, Mereka sudah siap siaga untuk serentak turun tangan entah dengan cara yang bagaimana kejam serta telengas tidak perduli, yang terang mereka harus sukses atau berhasil mencapai tujuan terakhir.
Sekonyong konyong terdengar suara "Blang"
Yang keras disusul pekik nyaring yang merdu, lantas terlihat bayangan, ungu berkelebat gesit sekali.
Tahu-tahu Ci hun-giok-li meloncat keluar kalangan pertempuran bagai seekor ular yang kaget kena gebok, sementara itu Bo-pak-jan Sa Ko juga terdengar menggerung rendah, cepat-cepat iapun mundur lima kaki terus mendongak tertawa terkekeh-kekeh, serunya.
"Bagus, bagus sekali, sungguh tak nyana, hari ini Lohu seperti kapal terbalik didalam selokan ...."
Suaranya berganti terloroh-loroh menyedihkan tiba-tiba badannya melenting tinggi terus melesat masuk dalam hutan.
Wajah Cihu-giok li tampak pucat pasi, setelah melihat Bopak it-jan menghilang didalam rimba, wajah nan ayu jelita itu baru menampilkan senyum manis yang terhibur.
Pelan-pelan ia menghela napas panjang, badannya juga lantas bergoyang goyang seperti kehabisan tenaga, sedikit membuka mulut, darah segera kontan meleleh keluar dari ujung bibirnya.
Sebat sekali tahu-tahu pemuda baju kuning berkelebat tiba disamping Ci-hu-giok-li sambil tertawa-tawa ia jinjing lengan kirinya serta tanyanya penuh prihatin.
"Nona Kiong, bagaimana keadaanmu?"
Pelan-pelan Ci-hu giok-li menggelengkan kepala, tiba-tiba ia menyipatkan tangan serta meloloskan tangan dari cekalan orang, katanya sambil tertawa ewa.
"Tak nyana kepandaian si cacat tua bangkotan itu lihay benar..."
Pemuda baju kuning tertawa, katanya.
"Cici terluka parah, perlukah kubitabaags ketawa untuk istirahat I"
Mendengar tawaran ini Ci-hu-giok-li sedikit terkejut sekilas ia melerok lalu sahutnya.
"Terima kasih akan kebaikanmu luka-lukaku ini tidak menjadi soal ... lalu dengan langkah ringan pelan-pelan ia maju kedepan sana, sepasang matanya yang indah cerah dan bening itu memandang penuh perhatian kearah pertempuran Giok-liong. Tatkala mana Giok liong sudah kerahkan sepuluh bagian tenaga Ji-lo ilmu Sam-ji cui-hun chiu juga sudah dilancarkan sampai puncaknya, dorong mendorong sampai berlapis-lapis bayangan pukulan tangan laksana gelombang samudra mengamuk terus berbondong-bondong menerjang kearah Ham-kang-it-ho Pek Su in. Semakin bertempur hati Ham-kang it -ho Pek Su-in semakin gentar dan ciut nyalinya, sekuat tenaga ia sudah lancarkan seluruh kemampuan dalam ilmu Pek-hun- ji cap-pwe-sek kenyataan toh dirinya masih terdesak dibawah angin tanpa dapat balas menyerang dari pada banyak membela diri saja. Lambat laun, kabut semakin tebal bayangan pukulan tangan semakin banyak berlapis, Lama kelamaan keringat mulai membasahi seluruh badan dan jidat Ham-kang-it-ho, terang bahwa dirinya sudah semakin terdesak dibawah angin. Sebuah telapak tangan putih yang halus tanpa suara tahutahu sudah menyelonong tiba disamping tubuhnya terus berputar kencang sekali, setiap kali kesempatan lantas menepuk datang dengan ringannya. Selain itu, sekeliling tubuhnya sadah terbungkus oleh angin badai yang menderuderu, tekanan juga terasa semakin berat, ditambah lapisan bayangan pukulan tangan yang susah ditembus, semakin terasakan jiwanya sudah terpencil dipinggir jurang kematian. Pada detik terakhir ini baru timbul rasa penyesalan dalam sanubarinya. Dia menyesal bahwa dirinya sudah menjadi tamak dan loba ingin merebut benda milik orang lain, Selain itu iapun menyesal terlalu mengandalkan kemampuan kepandaian sendiri untuk menindas dan menghina seorang pemuda remaja yang baru pertama kali berkelana di dunia ramai. Tapi sayang sekali penyesalan ini mengetuk hati kecilnya pada saat-saat ia menghadapi bahaya, seumpama dia berhasil secara gampang merebut benda yang diinginkan itu, pasti takkan timbul rasa penyesalannya ini, Begitulah karena sedikit terpecah pikirannya, sehingga gerak-geriknya sedikit lambat, seketika terasakan tekanan dari luar disekeliling tubuhnya itu bertambah berat dan kuat. Bersamaan dengan itu kedengaran Giok-liong tengah mengejek.
"llmu silatmu memang lumayan, sayang mempunyai hati yang kurang lurus."
Ditengah gelombang angin badai yang menderu-deru serta ditengah bayangan lapisan pukulan tangan itu, tangan putih halus yang misterius itu tiba-tiba sudah menyelonong tiba menekan kedepan dadanya.
Saking kagetnya Pek Su in lantas memutar badan dengan jurus pertolongan yang dinamakan Pek-hun-yu-yu, kedua telapak tangannya yang besar itu mendadak didorong maju, diantara tekanan angin badai yang menerpa dari berbagai penjuru.
Giok liong tertawa dingin, mulutnya menyungging rasa menghina, jengeknya.
"Binatang berontak dalam kepungan tak perlu dikwatirkan lagi!"
Sepasang tangannya disilangkan lantas menggapai-gapai, berbareng kakinya menggeser gesit sekali badannya melesat ke samping. ejeknya.
"Hentikan pertempuran ini, nanti kuampuni jiwamu!"
Melihat Giok liong mundur Pek Su-in malah mendapat hati, dikiranya orang juga sudah kehabisan tenaga dan tiada kekuatan melancarkan ilmunya lagi, maka sambil mendengus iapun balas menjengek.
"Asal kau mau serahkan seruling samber nyawa itu, Lohu segera lepas tangan tinggal pergi."
Sembari berkata lagi-lagi jurus Pek-hun yu-yu tadi dilancarkan lagi, kedua telapak tangannya itu dengan ganas mencengkeram kearah Giok-liong.
Rasa dongkol Giok-lioni semakin membakar kemarahannya, Tadi ia merasa sedikit kasihan karena tindak tanduk lawannya ini bukan gembong penjahat yang sudah penuh dosanya, maka sedikit memberi kelonggaran, serta memberi peringatan dengan kata-katanya itu, Siapa nyana kebaikannya ini malah digunakan sebagai kesempatan untuk balas menyerang oleh lawan malah dengan tujuan jelek lagi, ditambah mulutnya berkata begitu takabur.
Karuan kemarahan Giok-liong seumpama api disiram minyak sambil menghardik keras dan menggertak gigi ia memaki.
"Memang kau ini bangsat yang setimpal dibunuh!"
Tapi sedikit kelonggaran yang diberikan sudah menjauhkan kesempatan bagus bagi musuh untuk melancarkan ilmu mautnya, Untung ia sudah kerahkan ilmu pelindung badannya tapi tak urung sepasang telapak tangan besar itu toh sudah menyengkeram tiba dengan ganasnya.
Dalam keadaan gawat ini.
Mendadak Giok-liong mendongak keatas terus kertakakan keras tangan kiri berputar setengah lingkaran ditengah udara sedang tangan kanan merogoh kearah pinggang.
Tahu-tahu selarik sinar kuning keemas-emasan memancar ketengah udara.
Kiranya Potlot emas yang telah menggetarkan dunia persilatan pada masa silam telah mengunjuk keampuhannya.
Memang kesaktian Potlot emasini tidak perlu diragukan lagi, dimana waktu kepalan tangan merangsak tiba berbareng sinar mas meluncur tiba seketika terjadilah hujan darah lalu disusul pekik serta gerengan kesakitan yang menyayatkan hati.
Begitu usahanya memperoleh hasil yang memuaskan Giokliong lantas merandek.
Kiranya sambil mengerahkan sepuluh bagian tenaga murninya dengan jurus Keng-sim (kejut hati) untuk menolong jiwa sendiri dari renggutan elmaut cengkeraman cakar musuh, begitu berhasil ia merandek tidak terus mengejar malah segera ia melejet mundur setombak lebih sambil menjinjing potlot masnya itu.
Dalam pada itu, Pek Su in sendiri juga melompat mundur dua tombak jauhnya, Air mukanya pucat pias, tangan kirinya mengalirkan darah deras sekali.
Meskipun ia sudah berusaha menutuk jalan darah, tapi tak urung darah segar masih terus merembes ke luar.
Mimpi juga dia tak menduga bahwa pot-lot emas Giok-liong itu masih kuat menembus penjagaan ilmu pelindung badannya malah melukai pula tangan kirinya.
Setelah menenangkan diri dan mengatur pernapasannya, dengan penuh kebencian ia tatap wajah Giok-liong, tiba-tiba ia terloroh-loroh sedih, ujarnya.
"Bagus Ma Giok- liong terhitung Lohu sudah berkenalan dengan kepandaianmu !"
Lalu ia menyapu pandang ke empat penjuru, Dilihatnya Ci-hu-giok-li dan pemuda baju kuning itu tengah memandang kearah Giok liong dengan penuh rasa simpatik Hatinya menjadi mengkeret, batinnya.
"Dilihat naga-naganya jikalau aku berkeras kepala situasi yang runyam ini pasti tidak bakal menguntungkan bagi diriku. Terpaksa aku harus memancing dia dengan janji tiga hari lagi untuk bertemu Dalam jangka waktu tiga hari ini aku harus berusaha memberi tahu dan mengundang majikan pulau awan putih dan bantuan lain ...
"
Tengah ia menimang-nimang ini. Mendadak terdengar serentetan suara tawa panjang yang dingin seram berkumandang di tengah udara, Hatinya menjadi tergetar, batinnya lagi.
"Mungkinkah dia sudah datang? Kalau begitu tak bisa aku tinggal pergi, jikalau seruling samber nyawa itu sampai terjatuh ditangan orang lain, bukankah sia-sia saja perjalanan ini."
Berpikir demikian sepasang matanya lantas memancarkan cahaya terang yang menyeramkan, katanya tertawa besar.
"sekarang Pek Su-in minta diri, kelak pasti takkan kulupakan tanda mata di tanganku ini"
Habis berkata kedua kakinya menjejak tanah badannya lantas meluncur kedalam hutan dan menghilang.
Suara seram bagai pekik kokok beluk itu masih terus berkumandang semakin keras bergema dialas pegunungan gelap ini, sehingga menambah keseraman suasana yang sunyi lengang diliputi ketegangan.
Dalam hutan disemak belukar sana tengah terpancar entah berapa banyak pasang mata tajam yang diliputi hawa membunuh tengah mengancam setiap saat.
Tadi sekuat tenaganya Giok-liong melancarkan serangannya, meskipun memperoleh kemenangan namun hawa murni dalam tubuhnya juga susut sebagian malah kena tergetar pula sehingga sedikit cidera.
Ci-hu-giok-li bersama pemuda baju kuning itu bergegas melejit maju mendekat dengan gelisah, bersama pula mereka membuka mulut bertanya.
"Kau terluka ?"
Pelan-pelan Giok-liong manggut-manggut sahutnya kalem.
"sedikit luka, tapi tidak menjadi soal."
Air muka Ci-hu-giok li yang kelihatan pucat itu seketika bersemu merah dan unjuk rasa girang, katanya lembut.
"Wah, membuat gugup orang saja !"
Pemuda baju kuning melirik sambil terkikik geli, katanya menggoda.
"Aduh, benar-benar mesra dan penuh kasih sayang!"
Kedua pipi Ci-hu-giok-li kontan bersemu merah jengah kemalu-maluan, ujarnya merengut.
"Cis, siapa suruh kau banyak mulut, kalau cerewet lagi kusobek mulutmu yang langcang."