"Barangku apa yang hendak kau rebut ?"
Air muka Kiong Ling-Iing mengunjuk rasa kikuk dan serba salah, sahutnya tertawa dibuat-buat.
"Aku hendak merebut Jan-hun-ti milikmu itu."
"Apa ? Dari mana kau dapat tahu kalau aku memiliki Seruling samber nyawa?"
"Aku hanya dengar kabar tersiar dikalangan Kangouw."
"Bagaiamana mereka bisa tahu ?"
"Sudah tentu mereka tidak tahu, yang terang mereka hanya tahu bahwa kau adalah murid penutup dari Pang-locianpwe, Maka ayahku berani memastikan bahwa seruling samber nyawa itu pasti berada diatas badanmu."
"0h, menurut analisa mu ini, terang kalau Bo-pak-it-jan serta yvitu laii-it-ho itu juga berniat hendak merebut seruling samber nyawa itu ?" "Hal ini ...sudah tentu ada kemungkinan itu ! Tapi sekarang mereka takkan berhasil."
"Kenapa ?"
"Sebab aku akan membantu kau."
"Lho, kenapa kau hendak bantu aku ?"
"Aku ... apa jelek kalau orang membantu kau, untuk apa kau nyerocos bertanya."
"Tidak aku harus mengetahui apa alasannya !"
"Tidak ada alasan dan tidak perlu alasan, aku senang berbuat begitu."
"Benar-benar kau tidak ingin merebutnya ?"
"Tepat, aku tidak akan rnerebutnya lagi."
Untuk sementara waktu masing-masing tenggelam dalam renungan masing-masing. Saban-saban Ling-ling melirik mesra kearah Giok liong. Akhirnya Giok-liong buka suara lagi.
"Ling ling, lebih baik kau tidak usah membantu aku."
"Sudahlah tidak perlu dipersoalkan lagi, kau harus segera istirahat, nanti malam mungkin kita harus menghadapi sebuah pertempuran dahsyat."
"Baiklah, kau juga perlu istirahat,"
Lalu ia pamitan kembali kekamarnya sendiri.
Tengah malam telah tiba, seluruh alam semesta ini dilingkupi kegelapan, tiada bintang tiada sinar rembulan udara mendung dan hawa dingin, Saat begini orang-orang banyak yang meringkuk diatas ranjang tidur mendengkur dengan nyenyaknya.
Tian-sun-po yang terletak sepuluh Ii di-sebelah kota An-sun biasanya merupakan tempat semak belukar yang jarang diinjak kaki manusia, lebih seram keadaan malam ini yang sunyi serta dilengkapi hawa membunuh yang menghantui sanubari sedap manusia yang hadir.
Benar benar menggiriskan.
Didepan sebuah hutan gelap yang terletak di Tiang-sun-po itu, mendadak muncul seorang berkedok yang mengenakan pakaian serba hitam, dimana tangannya diangkat bertepuk empat kali.
Suara tepukan tangan yang nyaring ini memecah kesunyian alam sekelilingnya.
Seketika itu juga dari dalam hutan melesat keluar dua orang berkedok yang mengenakan seragam hitam pula, langsung mereka maju menghadap terus membungkuk memberi hormat serta katanya lirih tertahan.
"Bala bantuan yang diandalkan dari kumpulan kita sudah lengkap scmua, adakah petunjuk Tong cu, selanjutnya?"
"Bagainjana dengan saudara dari Kim i-pang?"
"Mereka sudah dipencar keempat penjuru."
Sekonyong-konyong sebuah bayangan kuning mas berkelebat seorang laki-laki perte ngahan umur yang mengenakan baju serba kuning mas berkilau melompat keluar dari belakang batu besar disemak belukar sana, laksana anak panah cepatnya tahu-tahu sudah meluncur datang ditengah gelanggang, sedikit tersenyum lantas katanya.
"Malam ini sedapat mungkin kita harus mengerahkan segala tenaga dan daya upaya."
Orang berkedok hitam manggut-manggut sahutnya.
"Hiathong dan Kim-i menjadi satu seumpama saudara kandung, malam ini untuk pertama kali kita bergabung beroperasi besar harapan bisa mendapat sukses." "Para Pang-cu kita segera akan tiba, perintahkan kepada semua anak buahmu untuk tidak usah keluar menyambut dan jangan lupa suruh mereka sembunyi yang rapi, jangan terlalu dekat dengan gelanggang pertempuran. Sebab tokoh-tokoh yang datang dalam ini berkepandaian cukup tinggi, jikalau sembunyi kita sudah kenangan sebelum bergerak, pasti gatal total seluruh rencana kita,"
Kedua orang berkedok itu berbareng mengiakan.
"Awas dan ingat, sebelum Kim ding-ling dan Hiat hong-ling dilepas bersama, siapapun dilarang mengunjukkan diri! Tahu? Baik, kembalilan ke tempat masing-masing."
Sinar kuning mas dan bayangan hitam berkelebat, serentak ketiga orang itu melesat hilang di kegelapan.
Tidak berselang lama, jauh di pinggir hutan di lereng gunung sana, dua bayangan sinar kuning keemasan dan sebuah bayangan hitam meluncur datang cepat sekali terus melambung tinggi menghilang didalam hutan.
Alam sekitarnya kembali menjadi sunyi lengang, siapapun takkan menduga bahwa dimalam sunyi berhawa dingin dengan angin badai menghembus kencang ini, diatas lereng gunung yang liar belukar ini,akan terjadi suatu pertempuran besar serta menjadi tempat penjagalan manusia yang tidak mengenal kasihan.
Baru saja terdengar kentongan ketiga berbunyi, sebuah bayangan keputih-putihan melayang tiba diatas lereng bukit itu,sejenak ia berhenti mengamat-ngamati keadaan sekelilingnya, terus berkelebat hilang di kegelapan.
Selanjutnya tampak lagi sebuah bayangan ungu bergerak gerak, tahu-tahu diatas lereng bukit itu sudah bertambah seorang gadis berpakaian ungu berbadan langsing semampai berwajah ayu rupawan.
Berputar badan ia menghadap kearah tempat menghilangnya bayangan keputihan tadi lantas terdengar suaranya berkata.
"Ma Giok-liong, tokoh yang pegang peranan malam hari ini kemungkinan besar adalah kau Iho."
Habis berkata, ia berpaling kearah tempat yang agak jauh sana, lalu katanya lagi sambil tertawa. itulah pelajar rudin kecut itu telah datang."
Giok-liong sembunyi diatas sebuah pohon besar yang rindang, sahutnya tertawa.
"Tadi nona berkata lebih baik aku jangan keluar dulu..."
"Nona yang mana?"
Giok-Iiong tercengang, akhirnya ia paham sendiri, katanya geli.
"Ling-ling, kau bukan yang berkata."
"Apa lagi yang telah kukatakan?"
"Menurut pesanmu...jikalau keadaan tidak menguntungkan, kau menyuruh aku segera angkat kaki, habis perkara,"
"Tapi aku yang rendah bulan manusia macam begitu,"
"Kau ...
"
Saat itulah sebuah bayangan hijau telah meluncur tiba dari jarak yang agak jauh sana, langsung hinggap diatas lereng bukit itu, pendatang ini bukan lain adalah Ham-kang-it-ho Pek Su -in adanya.
Begitu menginjak tanah, segera celingukan keempat penjuru, lalu jengeknya dingin.
"Kirarya nona juga dapat dipercaya."
Ci-hu-giok-li Kiong Ling-ling tertawa cekikikan, ujarnya.
"Kaum keluarga Ci-hu selamanya dapat dipercaya."
Ham-kang it-ho menyeringai, katanya mengejek.
"Tidak sedikit jumlah kaum keluarga Ci nu yang ikut datang hari ini."
Sikap Kiong Liag-ling tetap wajar, jengeknya kembali.
"Bantuan yang diundang dari Pek-hun-to, mungkin lebih banyak dari kedatangan orang-orang Ci-hu bukan."
"Hm, aku yang rendah datang seorang diri."
"Nonamu ini juga bertandang sendirian."
Berubah air, muka Pek Su-in, desisnya dengan nada berat.
"Lalu kemana bocah she Ma?"
Sebuah suara tawa dingin yang serak terkiang ditengah gelanggang Dimana angin berkesiur keras disusul bayangan berkelebat tahu-tahu Bo pak-it-jan Sa Ko sudah berdiri tegak dihadapan mereka, sebagainya dingin.
"Kiranya sia-sia saja Pek-bun Toju memberi makan dan membesarkan kau bocah ini ! Bukankao bocah she Ma itu tengah ungkang-ungkang duduk diatas dahan pohon itu?"
Telunjuknya menuding keatas.
"Siuuur"
Meluncurlah selarik angin keras langsung menerjang kearah pohon besar yang diduduki Giok-liong. Giok-liong terbahak-bahak, serunya lantang.
"Ternyata tidak bernama kosong."
Di mana terlinat bayangan putih melejit berkelit enteng sekali Gtok-liong hindarkan diri dari sambaran angin tusukan jari yang lihay itu, setelah hinggap di tengah gelanggang, sedikit saja ia berkata tersenyum.
"Aku yang rendah Ma Giok-liong, harap terimalah hormatku ini."
Disindir sedemikian rupa oleh Bo pak-it-jan Ham-kang-it-ho Pek Su in menjadi malu dan dongkol sampai air mukanya berubah hijau, jengeknya sinis.
"Lohu kira bocah hijau macam mu ini sudah lari sembunyi tak berani muncul lagi, takut mati!"
Mendadak dari dalam rimba sebelah sana terdengar suara penyahutan yang lantang.
"Ya, yang takut mati memangnya takkan berani datang!"
Belum hilang suaranya, tahu-tahu pemuda berpakaian serba kuning itu sudah melangkah ringan berlenggang memasuki gelanggang, menghadap kearah para hadirin ia hunjuk senyum lebar, malah sengaja atau tidak matanya lekat-lekat menatap ke arah Giok-liong.
Bok-pak-it-jan mengekeh tawa, selanya.
"Apa maksud kedatangan kalian ?"
Pemuda baju kuning mandah tertawa tawa saja melangkah ke pinggir tanpa membuka mulut. Sebaliknya Ham-kang-it-ho terdengar mendenguskan hidung. Terdengar Ci hu giok li menyahut lembut.
"Sa-lo-than pertanyaanmu ini sungguh mengherankan."
"Apa yang perlu diherankan ?"
Ci-hu-giok-Ii tertawa lagi, tanyanya.
"Kau sendiri apa maksud kedatanganku ini?"
Bo-pak- it-jan melengak, air mukanya, yang kaku itu sedikit bergerak, sahutnya.
"Budak, kecil, kau sendiri apa kehendakmu kemari ?"
"Alah, main pura-pura."
Sahut Ci-hu-giok-li "Bukankah kau sudah dengar aku ada janji dengan Pek-tay-hiap untuk menyeleaikan suatu urusan disini."
"Hm, sudah tentu Lohu sendiri juga ada urusan yang perlu diselesaikan."
"Sa cianpwe mempunyai urusan apa ?"
Sepasang mata Sa Ko memancarkan cahaya beringas yang aneh menatap kearah Giok-liong, ujarnya.
"Kedatanganku ini hendak membawa buyung kecil ini pulang."
Giok-liong tetap berlaku tenang, dengan sikap dingin ia pandang sekilas kearah orang tua cacad ini lalu berpaling kearah Ci-hu-giok li.
Ci-hu-giok-li tertawa manis, diulurkan telunjuknya yang runcing putih itu menunduk kearah Bo-pak-it-jan seraya berkata.
"Sa-lo-thau, coba kau tanya pada yang bersangkutan, apakah dia sudi pergi dengan kau ?"