"Kita harus memperkuat benteng di sini karena akan ada barisan pemberontak besar dan kuat melalui daerah ini. Karena ini pula aku membawa seribu orang tentara ke. benteng ini dan ada pula beberapa orang kawan-kawan yang membantu kita. Mari kuperkenalkan kau kepada mereka."
Ouwyang Bu mengikuti susioknya keluar dari kamar itu dan memerintahkan orang-orangnya mengurus jenasah Gui Li Sun dan Can Siauw Leng, dengan pesan bahwa jenasah nona itu harus diurus baik-baik dan jangan dianggap sebagai mayat musuh biasa. Setelah tiba di luar, ia diperkenalkan kepada beberapa orang tokoh persilatan yang terkenal di kalangan kang-ouw.
Ia melihat Hoa-gu-ji Lee Un si Kerbau Belang, Bi Kok Hosiang si hwesio gendut yang bersenjata tasbeh, Khu Ci Lok si Huncwe Maut yang hebat. Mereka ini adalah tiga tokoh yang dulu pernah membantu Cin Cun Ong di benteng tembok besar di utara. Juga tampak Kin Keng Tojin tokoh Go-bi-san yang bongkok kurus dan di antara seribu orang anggauta tentara yang baru datang, terdapat sepasukan tentara istimewa sebagaimana dapat dilihat dari topi mereka, yakni Barisan Sayap Garuda, pahlawan- pahlawan istana kaisar yang terkenal kekejaman dan keberaniannya. Pasukan ini terdiri dari seratus dua puluh orang. Melihat rombongan yang kuat ini, diam-diam Ouwyang Bu merasa kagum, dan ia merasa yakin bahwa kali ini barisan pemberontak pasti akan dapat dihancurkan. Semua perwira dan para ksatria itu lalu dijamu oleh Cin Cun Ong dan semua orang, kecuali Ouwyang Bu, merasa gembira. Pemuda ini tidak dapat bergembira karena hatinya masih sedih mengingat kematian Lie Eng dan ditambah pula ia menyesal sekali telah menangkap Siauw Leng hingga gadis itu menjadi binasa. Kalau saja ia binasakan gadis itu di dalam pertempuran, maka ia takkan demikian menyesal. Tapi, biarpun ia tidak membunuh gadis itu, namun tetap saja ia merasa menyesal dan merasa seakan-akan ia sendiri yang menyebabkan kematian gadis Itu. Hanya sedikit pikiran yang menghiburnya, yakni bahwa ia telah membunuh Gui Li Sun,
"Cuwi," kata Cin Cun Ong, "menurut laporan para penyelidik kita, musuh yang akan menyeberang daerah ini jumlahnya besar sekali dan mungkin lebih besar daripada jumlah anak buah kita. Akan tetapi, dengan adanya kawan- kawan di sini, kurasa kita takkan kalah. Menurut perhitunganku, malam ini tentu mereka telah tiba di sini dan kalau tidak malam ini, tentu besok pagi-pagi mereka melakukan serangan. Maka kuharap cuwi sukalah berjaga- jaga menghadapi segala kemungkinan. Ketahuilah bahwa tempat ini sangat penting artinya dan penyerbuan ke kota raja oleh para pemberontak itu tergantung kepada berhasil atau tidaknya mereka menyeberang daerah ini."
"Cin-eiangkun" tiba-tiba Khu Ci Lok si Huncwe Maut berkata setelah melepaskan huncwenya dari mulut. "Perlukah kita takuti segala pemberontak itu? Biarpun jumlah mereka besar, tapi mereka itu terdiri dari petani- petani dan pengemis-pengemis miskin yang kelaparan. Kurasa biarpun jumlah mereka lima kali lebih banyak daripada jumlah kita, dengan satu lawan limapun kita takkan kalah. Maka kuharap Cin-ciangkun tidak berkecil hati.”
Semua orang membenarkan kata-kata ini, tapi Ouwyang Bu diam-diam khawatir melihat kesombongan mereka. Juga Cin Cun Ong berkata,
"Betapapun juga, harap cuwi berhati-hati, karena terus terang saja kukatakan bahwa di antara mereka ada juga orang pandai.” Akan tetapi, tentu saja panglima yang cerdik itu tidak mau mengecilkan hati dan semangat mereka yang membantunya ini, dan untuk menggembirakan suasana, ia minta kepada mereka untuk mendemonstrasikan kepandaian silat guna menyegarkan semangat.
Lok Wi Beng, seorang komandan Barisan Sayap Garuda, yang masih muda dan bersikap galak, mulai dengan demonstrasi kepandaiannya. Ia adalah murid dari Him Kok Hwesio seorang tokoh dari Thai-san, maka kepandaian silatnya cukup hebat. Dengan senjata sebatang tombak panjang, perwira Sayap Garuda ini main silat tombak yang mendapat sambutan dan pujian riuh rendah. Ujung tombaknya bergetar-getar dan menjadi belasan banyaknya, mengelilingi seluruh tubuh dengan suara angin yang cukup kuat. Diam-diam Ouwyang Bu kagum juga dan merasa bahwa kepandaian komandan she Lok tidak berada di bawah kepandaiannya sendiri.
Selesai Lok Wi Beng berdemonstrasi, majulah dua perwira lain yang dijuluki Tiat-tho-siang-houw atau Sepasang Harimau Kepala Besi. Dua perwira ini adalah saudara seperguruan dan mereka ini murid-murid Siauw- lim-si yang berpihak pada pembesar seperguruan dan mereka ini murid-murid Siauw-Iim yang berpihak pada pembesar pemeras dan diperbantukan kepada Cin Cun Ong. Kepandaian kedua murid Siauw-lim si inipun cukup hebat. Mereka memperlihatkan kemahiran bersilat dengan toya dan tentu tingkat kepandaian merekapun berimbang dengan tingkat Lok Wi Beng hingga Ouwyang Bu makin berbesar hati saja.
Dengan bergiliran, mereka saling memperlihatkan kehebatan mereka. Ouwyang Bu teringat akan gurunya, maka ia lalu mendekati susioknya dan dengan suara perlahan bertanya mengapa suhunya tidak datang membantu.
"Gurumu orang aneh" kata Cin Cun Ong. "Aku sudah minta bantuannya tetapi ia berkata bahwa ia tidak mau mengotorkan tangannya dengan segala urusan perang. Ia telah tua dan telah menjadi lemah, sayang..." Cin Cun Ong tertawa dan Ouwyang Bu merasa heran, diam-diam ia merasa menyesal mengapa suhunya bersikap demikian. Suhunya telah menyuruh ia dan kakaknya turun gunung untuk membantu Cin Cun Ong, tapi ia sendiri tidak mau membantu. Sungguh aneh.
Pada saat itu, Khu Ci Lok si Huncwe Maut, Bi Kok Hosiang, dan Hoa-gu-ji Lee Un sudah memperlihatkan kemahiran mereka. Ketika tiba giliran Kin Keng Tojin memainkan pedangnya, maka Ouwyang Bu kagum sekali karena tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi pula.
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar berkelebat bajingan putih dan terdengar suara orang berkata,
"Cin Cun Ong, maafkan aku mengganggu pestamu. Aku perlu dengan pemuda she Ouwyang ini"
Semua orang terkejut ketika melihat betapa tiba-tiba saja di tengah ruangan itu berdiri seorang tua berpakaian sebagai petani dengan baju warna putih dengan sikap-tenang sekali. "Sin-liong Ciu Pek In" Cin Cun Ong berkata terkejut.
Mendengar nama ini, Hoa-gu-ji Lee Un tahu bahwa kakek yang datang ini adalah seorang tokoh pemberontak yang terkenal sekali, maka diam-diam ia mengeluarkan tiga batang piauw dan melemparkan senjata rahasia itu dari jurusan belakang, mengarah tiga jalan darah yang paling berbahaya dari kakek itu. Semua orang terkejut melihat hal ini dan terutama Cin Cun Ong merasa tak senang karena tindakan Lee Un itu dianggap gegabah dan sembrono sekali.
Ciu Pek In seperti tidak tahu akan datangnya tiga batang piauw yang menyambut dan tiga buah senjata rahasia itu tepat mengenai tubuhnya. Tapi sungguh aneh. Bagaikan mengenai karet saja, tiga buah senjata itu mental kembali dan jatuh di atas tanah tanpa melukai kulit kakek itu sedikitpun.
"Cin Cun Ong, tidak malukah kau menyambut tamu dengan cara gelap?" tanyanya kepada Cin Cun Ong.
Cin-ciangkun dengan muka merah berkata, "Pemberontak tua. Apakah kehendakmu datang ke sini?"
"Ada dua macam keperluan. Pertama, aku hendak membawa pemuda she Ouwyang ini karena ada sesuatu urusan penting. Kedua, aku memimpin barisanku hendak menyerang bentengmu ini dan kini mereka telah mulai menyerbu masuk"
Dan pada saat itu terdengar sorak-sorai yang hebat dan gegap-gempita dari luar benteng. Terkejutlah semua orang yang berada di situ.
"Ciu Pek In, kau mencari mati" kata Cin Cun Ong sambil mencabut pedangnya. Tapi pada saat itu, dari luar berloncatan masuk beberapa orang, di antaranya tampak Ouwyang Bun, Can Cui Sian si Bunga Bwee, tampak juga tiga orang tosu ulung yang sebenarnya adalah Cun-san Sam-lo-hiap (Tiga Pendekar Tua Dari Cun-san), tampak pula Bhok Sun Ki si Raja Pengemis, Cin Kong Hwesio ketua kelenteng Hok-po-tong yang gemuk pendek, dan tidak ketinggalan Kilok Ngo-koai (Lima Setan Dari Kilok).
Ternyata para pemimpin pemberontak ini dengan gagah berani menyerbu masuk pada saat para pemimpin barisan negeri sedang berkumpul. Sedangkan anak buah mereka telah bertempur di luar tembok benteng dengan hebat melawan penjaga-penjaga benteng.
Di ruangan yang lebar itu segera terjadi pertempuran yang. luar biasa hebatnya. Ciu Pek In yang mempunyai gerakan bagaikan seekor naga sakti, sekali menggerakkan tubuh sudah menyambar ke arah Ouwyang Bu dan sebelum anak muda itu dapat melawan, ia telah kena ditotok hingga tak dapat bergerak.
Cin Pek In lalu mengempit pemuda itu dan dibawa meloncat keluar dari ruangan. Ia turunkan Ouwyang Bu di atas tanah. Ia bertanya dengan suara tetap dan berat,
"Anak muda yang sesat, kauapakan muridku si Siauw Leng?"
Pada saat itu Cui Sian juga memburu kesitu dan melihat pemuda itu ia memaki gemas,
'Manusia keji. Kau telah menculik dan menganiaya tunanganmu sendiri, sungguh kejam dan rendah"
Biarpun Ouwyang Bu telah ditotok tai-twi-hiat yakni jalan darah yang membuat ia lemah tak berdaya, namun ia masih dapat berbicara dan semangatnya tidak padam. Dengan berani dan tabah ia berkata, "Aku sudah tertangkap, mengapa tidak lekas kau bunuh, mau tunggu apalagi?"
"Akuilah dulu bagaimana kau membunuh muridku" kata Ciu Pek In. Tapi Ouw yang Bu hanya memandang dengan mata bersinar dan tidak mau menjawab. Betapapun juga, ia telah merasa bertanggung jawab atas kematian Siauw Leng, untuk apa ia harus menceritakan segala peristiwa itu hingga seakan-akan ia membela diri? Ia tidak takut mati dan ia tak perlu minta dikasihani.
Melihat kekerasan hati Ouwyang Bu, Cui Sian menjadi tak sabar dan tak dapat menahan kemarahan hatinya, ia mengangkat tangannya yang memegang pedang. Tapi pada saat itu terdengar teriakan,
"Moi-moi. Ciu-locianpwe. Tahan dulu dengarlah
keterangan orang ini"
Ternyata yang datang adalah Ouwyang Bun yang menyeret-nyeret seorang anggauta tentara. Anak muda ini sengaja menangkap dan memaksa tentara ini mengaku dan menceritakan peristiwa yang terjadi antara Gui Li Sun, Siauw Leng, dan Oouyang Bu. Dengan paksaannya, tentara itu terpaksa menceritakan kembali di depan Ciu Pek In dan Can Cui Sian tentang peristiwa itu, betapa Gui-ciangkun menawan Siauw Leng dan betapa ia membawa gadis itu ke tendanya dengan maksud jahat. Kemudian datang Ouwyang Bu yang menghalangi maksudnya hingga terjadi pertempuran. Dan ia ceritakan pula bahwa yang membunuh Siauw Leng adalah Gui Li Sun dan bahwa karena itulah Ouwyang Bu sampai membunuh orang she Gui itu.
Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Cui Sian menjerit lirih dan ia pegang tangan Ouwyang Bu sambil berkata, "Ah.... kau.... telah membalaskan sakit hati Siauw Leng.... dan ... dan aku yang membunuh kekasihmu... sekarang mendakwamu lagi..."
Tapi Ouwyang Bu tidak memperlihatkan muka girang, dan setelah Ciu Pek In dengan wajah kagum melepaskan totokannya, Ouwyang .Bu berdiri lalu berkata keras, "Aku adalah seorang perajurit yang telah bersumpah setia kepada negara. Segala urusan pribadi ini bukanlah urusanku. Nona Siauw Leng terbunuh karena ia seorang anggauta pemberontak yang tertawan. Ini sudah sewajarnya. Gui- ciangkun kubunuh karena ia melanggar peraturan kami. Ini- pun sewajarnya" Kemudian ia menghunus pedangnya dan dengan gagah berkata,
"Dan kalian semua adalah anggauta-anggauta pemberontak yang melanggar tempat penjagaanku, maka sudah sewajarnya pula kalau menjadi musuh-musuhku yang harus kubasmi" ia lalu menggerakkan pedangnya mengamuk.
"Ouwyang-hiante, kau layani dia" kata Ciu Pek In kepada Ouwyang Bun. Pemuda ini dengan hati perih terpaksa menurut dan dengan pedangnya ia menangkis serangan Ouwyang Bu yang kalap.
"Bu-te, jangan kau gunakan pedangmu terhadap aku.
Mari kita berdua pergi saja jauh-jauh, Bu-te."
"Jangan banyak cerewet. Kau pemberontak dan aku perajurit negara"
Adik yang telah kalap ini menyerang lagi lebih hebat hingga terpaksa Ouwyang Bun menangkis dengan hati-hati. Berkali-kali Ouwyang Bun menyebut nama adiknya dengan hati hancur. Ia tidak mau balas menyerang, hanya menangkis saja. Melihat keadaan Ouwyang Bun demikian itu, Cui Sian tahu bahwa kalau dilanjutkan, kekasihnya itu tentu akan kena celaka di ujung pedang Ouwyang Bu, maka ia meloncat untuk membantu. Tapi pada saat itu, datanglah Cin Cun Ong yang sengaja mencari-cari Ouwyang Bu. Melihat Ouwyang Bun sedang bertempur melawan adiknya, panglima tua ini marah sekali dan membentak,
"Ouwyang Bun, kau pemuda pengkhianat"