Sepasang Pendekar Kembar Chapter 33

NIC

Akan tetapi Cui Sian adalah murid pertama dari Sin- liong Ciu Pek In si Naga Sakti yang telah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kehebatan ilmu pedangnya. Biarpun baru belajar paling banyak lima tahun, namun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun ia belajar bersamaan dengan adiknya, tapi karena ia memiliki kecerdasan otak yang luar biasa, maka tentu saja kepandaiannya menjadi lebih tinggi daripada Siauw Leng. Dalam hal ilmu pedang ia tak khawatir kalah oleh Lie Eng, hanya ia kalah latihan karena Lie Eng telah belajar silat semenjak kecil. Akan tetapi sebaliknya, Cui Sian menang tenaga dan ketabahan serta ketenangan wataknya membuat permainan silatnya kuat dan tetap.

Menghadapi ilmu pedang Im-yang-siang-kiam-hoat yang luar biasa hebatnya dan serangan-serangan yang bagaikan badai datangnya itu, terpaksa Cui Sian tidak berani berlaku sembarangan dan iapun segera mengeluarkan ilmu pedang tunggal yang menjadi pokok kepandaiannya yakni Sin-liong Kiam-hoat. Ilmu pedang Naga Sakti ini adalah kepandaian tunggal dari Ciu Pek In dan selama orang tua itu malang melintang di dunia kang-ouw, belum pernah ilmu pedangnya terkalahkan, maka ke-hebatannyapun luar biasa. Pedang di tangan Cui Sian bagaikan hidup dan sinarnya merupakan gulungan putih yang tebal dan panjang hingga benar-benar bagaikan seekor naga sakti menyambar- nyambar dan bermain-main di antara mega-mega yang terbentuk dari gundukan kedua pedang Lie Eng. Telah seratus jurus lebih mereka bertempur dengan mati- matian dan mata para penonton di sekeliling lingkaran itu menjadi kabur karena hebatnya pertandingan itu. Sedangkan Ouwyang Bun menonton dengan muka pucat. Perasaannya tertekan sekali dan kesedihan hatinya memuncak. Bagaimana kalau Cui Sian sampai mati oleh Lie Eng? Ah, hal ini tentu akan menghancurkan hatinya, melenyapkan kebahagiaan hidupnya. Dan bagaimana kalau Lie Eng yang binasa? Juga susah, karena hal itu berarti hancurnya kebahagiaan adiknya. Ia menjadi serba salah, tapi apa daya? Tubuhnya masih berada di bawah pengaruh totokan, bahkan, andaikata ia tidak tertotokpun, belum tentu ia sanggup memisah kedua pendekar wanita yang sedang bergumul mati-matian karena kedua dara itu kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Karena merasa tidak berdaya, Ouwyang Bun terpaksa menekan perasaan hatinya dan ia menyerahkan nasib kedua gadis itu ke tangan Thian Yang Maha Kuasa

Lie Eng juga merasa kagum sekali menghadapi ilmu pedang Cui Sian yang begitu hebat dan kuat, sedangkan Cui Sian diam-diam memuji kelihaian Im-yang-siang-kiam- hoat.

Pada suatu saat Lie Eng menggunakan pedang kanan menusuk ke arah mata kiri Cui Sian dengan gerakan Bidadari Petik Teratai, sedangkan pedang kirinya pada saat itu juga membabat kaki dengan gerakan Angin Menyapu Daun Kering Bukan main hebat dan berbahayanya serangan bercabang ini. Seluruh perhatian lawan ditujukan untuk menghadapi serangan pedang yang menusuk mata, akan tetapi sebetulnya serangan ke arah kaki itulah yang lebih berbahaya karena mengandung perubahan tipu-tipu berbahaya. Biarpun ia pandai, namun Cui Sian terkejut juga, karena ketika ia menggunakan pedangnya menangkis serangan pedang kanan yang menyambar matanya itu dengan gerakan Naga Sakti Perlihatkan Ekor, tiba-tiba pedang kiri Lie Eng telah melayang ke arah kakinya. Ia cepat berseru dan menggunakan ginkang-nya untuk meloncat menyelamatkan kedua kakinya. Tapi tidak ia sangka pedang yang dilayangkan ke kaki itu segera berobah dengan gerakannya yang membabat tadi diteruskan menjadi sebuah tusukan yang berbahaya ke arah perut.

Ouwyang Bun terkejut sekali melihat kehebatan serangan ini, apalagi ketika ia melihat betapa pedang Lie Eng di tangan kanan menyambar pula untuk menjaga dan digunakan sebagai serangan susulan apabila lawan itu mengelak. Pemuda ini merasa betapa dadanya berdebar ngeri dan terbayanglah matanya betapa tubuh kekasihnya itu mandi darah.

Tapi, kembali kali ini ketenangan dan kecerdikan Cui Sian menolong dirinya. Melihat datangnya pedang yang menusuk perutnya, ia tidak mau menangkis, dan karena tubuhnya masih berada di tengah u-dara, ia segera menggerakkan tubuh itu miring ke kiri sambil menarik perutnya ke dalam hingga pedang Lie Eng menyambar angin. Cui Sian dapat menduga akan bahaya yang mengancam dari pedang kanan Lie Eng Benar saja, ketika ia mengelakkan pedang kiri lawannya ke kiri, tiba-tiba terdengar Lie Eng berseru girang dan pedang kanannya menyambar cepat membabat leher Cui Sian.

Kali ini tak mungkin Cui Sian mengelak karena selain datangnya pedang itu sangat cepat, juga tubuhnya masih miring biarpun kakinya telah menginjak tanah. Jalan satu- satunya bagi dia ialah melemparkan tubuh ke belakang dan bergulingan. Dara inipun melakukan hal itu, tapi ia tidak menjatuhkan diri ke belakang untuk bergulingan, hanya menggunakan ginkangnya yang tinggi untuk berjungkir balik ke belakang.

Akan tetapi Lie Eng tidak mau memberi kesempatan kepada Cui Sian untuk melepaskan diri dari kurungan pedangnya sedemikian mudah. Ia meloncat cepat menubruk dan mengirimkan tusukan maut dengan ujung pedang digetarkan. Ketika itu, baru saja Cui Sian menurunkan kakinya, melihat datangnya tusukan maut yang digerakkan dalam tipu Macan Buas Sambar Hati ini, ia segera kertak giginya dan mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya, lalu dengan gerakan Naga Sakti Menyabetkan Ekor ia menangkis dengan pedangnya sekuat tenaga.

"Traang.." dan bunga api biru dan merah memancar keluar ketika dua batang pedang itu beradu dengan kerasnya. Alangkah terkejut kedua dara itu ketika melihat bahwa pedang mereka ternyata telah putus di tengah- tengah. Lie Eng melempar gagang pedang itu dan kini ia menggunakan pedang kirinya untuk menyerang lagi kepada lawan yang telah tak bersenjata lagi itu.

Dalam keadaan seperti itu Cui Sian masih dapat berlaku tenang. Iapun melempar gagang pedangnya yang telah patah itu dan siap menghadapi serangan Lie Eng dengan tangan kosong. Akan tetapi, tiba-tiba Lie Eng menahan pedang yang telah digerakkan hendak menusuk itu. Ia berdiri bagaikan patung karena pada saat itu ia menggunakan pikirannya. Liang-simnya (hati nuraninya) dan sifat gagahnya tidak mengijinkan ia menggunakan kesempatan dan keuntungan itu untuk memperoleh kemenangan. Ia lalu berkata,

"Kau bertangan kosong? Baik, lihatlah ini." setelah berkata demikian, Lie Eng lalu melemparkan pedangnya hingga menancap di atas tanah. Lalu tanpa banyak membuang waktu ia maju menubruk dan melancarkan serangan dengan kepalan tangan dalam gerak tipu Sian-jin- ci-louw (Dewa Tunjukkan Jalan). Kepalan tangan ini bergerak ke arah leher dan segera berobah menjadi tusukan dengan dua jari tangan. Cui Sian mengelak dan balas menyerang.

Maka kembali dua dara jelita itu bertempur mati-matian. Kali ini dengan tangan kosong, tapi kehebatannya tidak kalah dengan pertempuran menggunakan pedang tadi. Lie Eng yang telah berpeluh dan lelah menggunakan kecerdikannya dan ia bersilat dengan ilmu gerakan Cian-jiu Koan-im-hian-ko, yakni Dewi Koan Im Tangan Seribu Persembahkan Buah. Biarpun ilmu silat ini hebat dan dapat menghadapi serangan yang bagaimanapun, tapi cukup dimainkan dengan tak banyak perubahan kaki hingga tidak membuang tenaga. Tampaknya Lie Eng berdiri diam saja dan hanya bergerak apabila diserang dan membalas dengan serangannya.

Sebaliknya, Cui Sian juga sama keadaannya dengan Lie Eng. Gadis inipun telah lelah dan peluhnya telah membasahi jidat. Menghadapi ilmu silat Lie Eng, gadis yang cerdik inipun tahu bahwa jika ia menurutkan napsu hati dan menyerang tanpa perhitungan biarpun ia takkan dikalahkan dengan ilmu silat itu, namun ia akan kehabisan tenaga juga, sedangkan Lie Eng dapat beristirahat sambil mempertahankan diri. Oleh karena itu, iapun lalu berdiri diam tidak mau menyerang, hanya memasang kudakuda di depan Lie Eng dan menanti lawannya maju menyerang.

Melihat sikap lawannya itu, diam-diam Lie Eng mengeluh sambil memuji, karena ternyata gadis yang amat cerdik itu telah tahu akan maksudnya dan tahu pula rahasia ilmu silat Cian-jiu Koan-im-hian-ko ini. Biarpun keduanya sama-sama cerdik dan tinggi ilmu silatnya, namun Lie Eng kalah tenang d an adat yang berangasan dan keras dari gadis ini membuat ia kalah sabar. Ia segera berseru keras dan menubruk maju sambil melancarkan serangan maut. Tangan kanannya memukul dada sedangkan tangan kiri ia gunakan untuk menusuk kedua mata lawan. Serangan ini luar biasa hebat dan berbahayanya karena dilakukan dengan nekat. Dengan dua tangan menyerang ini, maka otomatis Lie Eng telah membuka lubang bagi diri sendiri karena sama sekali tidak ada penjagaan. Ia memang telah nekat dan biarpun ia tahu bahwa lawannya akan mudah mengirim serangan, namun ia tahu juga bahwa kalau Cui Sian menyerang, tak mungkin lawannya itu menghindarkan serangan kedua tangannya.

Tapi agaknya Lie Eng terlalu memandang rendah lawannya dan inilah kesalahannya. Otak Cui Sian yang memang cerdas itu dalam saat sekilat saja sudah dapat melakukan perhitungan untung rugi dalam menghadapi serangan ini. Ia maklum bahwa kalau selalu menghindari pukulan Lie Eng, maka pertempuran ini takkan ada habisnya, apalagi ia telah merasa lelah sekali. Kini melihat datangnya serangan ia maklum bahwa Lie Eng telah berlaku nekat. Maka cepat sekali ia merendahkan tubuhnya hingga serangan tangan kiri lawan yang menusuk matanya itu lewat di atas kepalanya sedangkan tangan kanan Lie Eng yang memukul dadanya, kini tepat menghantam pundaknya. Tapi pada saat itu juga, dari bawah ia melayangkan pukulan ke arah lambung Lie Eng.

Keduanya menjerit ngeri dan keduanya terhuyung mundur lalu roboh pingsan. Para pemberontak segera maju hendak menghabiskan jiwa Lie Eng, tapi terdengar bentakan keras dari Siauw Leng.

"Mundur semua. Siapa berani menyentuh dia akan berkenalan dengan tanganku." Maka semua kawannya yang tadinya telah marah sekali kepada Lie Eng itu tiba-tiba teringat akan pesan Cui Sian. Sementara itu, Siauw Leng lalu membebaskan totokah yang mempengaruhi Ouwyang Bun hingga pemuda itu dapat bergerak. Ia maju menubruk Cui Sian yang rebah dengan wajah pucat seperti mayat. Tapi hatinya menjadi lega ketika mengetahui bahwa gadis itu hanya menderita luka yang tak berapa berat di pundaknya dan jatuh pingsan hanya karena terlalu lemah dan lelah. Kemudian ia teringat kepada Lie Eng dan segera memeriksa keadaan gadis itu. Diam-diam Ouwyang Bun terkejut sekali karena di bibir gadis ini tampak darah mengalir. Siauw Leng yang juga mempelajari ilmu pengobatan dari suhunya, mengerutkan jidat ketika memeriksa lambung Lie Eng yang terpukul karena ternyata gadis ini menderita luka dalam yang mengkhawatirkan keadaannya.

Ouwyang Bun lalu mendukung tubuh Cui Sian masuk ke tenda, sedangkan Siauw Leng mengangkat tubuh Lie Eng masuk ke tendanya sendiri. Tenda Siauw Leng ini berdekatan dengan tenda Cui Sian. Lie Eng masih pingsan ketika dibawa masuk, sedangkan Cui Sian telah sadar. Gadis ini sadar dalam dukungan Ouwyang Bun dan ia berbisik,

"Koko, maafkan aku tadi telah menotokmu."

Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala. "Ah, kalian gadis-gadis kepala batu. Gila sekali untuk bertempur mati-matian hanya karena seorang tak berharga seperti diriku."

"Untuk menjaga nama dan kehormatan, koko....," Cui Sian berbisik lemah. Ketika ia telah dibaringkan di atas dipannya, ia bertanya,

"Koko, bagaimana dengan dia?" "Siapa? Lie Eng? Ah, pukulanmu terlalu hebat." Cui Sian diam saja dan memejamkan mata.

"Kasihan Lie Eng yang malang...." sambil memejamkan mata ia berkata lirih.

Ouwyang Bun memandang wajah kekasihnya dengan heran. Sungguh ia tak dapat mengerti sikap ini. Tadi berkelahi mati-matian dan kini mengucapkan kata-kata menyatakan iba hati kepada bekas lawannya itu.

Sementara itu, dengan napas terengah-engah, Lie Eng sadar dari pingsannya. Ia membuka mata perlahan-lahan dan melihat betapa Siauw Leng sedang merawat dia. Maka ia menutup matanya lagi.

Rasa dendam dan gemas membuat lukanya makin terasa sakit. Gadis ini memang mempunyai watak tidak mau kalah, maka tentu saja kekalahan ini menyakitkan hatinya benar. Ia mencoba untuk mengerahkan Iweekangnya menahan rasa sakit itu dan tahulah ia bahwa lukanya memang berat dan berbahaya. Ia diam-diam kagum akan kehebatan Cui Sian dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gadis itu memang pantas menjadi isteri Ouwyang Bun.

Pada saat itu, telinganya yang tajam mendengar suara Ouwyang Bun di tenda sebelah, dan ia mendengar pula suara Cui Sian. Hatinya terasa perih karena ia tahu bahwa pemuda itu tentu sedang merawat Cui Sian. Ia teringat bahwa Cui Sian juga kena pukulannya, tapi hanya di pundak dan tehtu saja tidak berbahaya. Kembali ia memejamkan mata dengan hati sakit. Mengapa ia tidak mati saja? Ah, ia malu dan apa artinya hidup menanggung malu dan patah hati? Melihat wajah yang cantik itu nampak sedih, Siauw Leng merasa terharu. Iapun merasa suka kepada gadis yang gagah dan jujur serta keras hati ini, sifat yang juga menjadi sifatnya. Maka katanya perlahan,

"Lihiap, enciku itu telah ditunangkan dengan Ouwyang Bun semenjak mereka masih kecil oleh orang tua kami. Ouwyang Bun dengan enciku, dan Ouwyang Bu dengan aku.”

Ucapan Siauw Leng ini sebetulnya dimaksudkan untuk memberi penjelasan agar dapat menghibur hati gadis itu, tapi tidak mengira bahwa penjelasan ini bahkan lebih menyakiti hati Lie Eng. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu dan membentak.

"Pergi kau. Jangan rawat aku, pergi "

Dengan mengangkat pundak dan muka menyatakan kasihan, Siauw Leng keluar dari tenda itu.

Lie Eng menangis sedih tapi ia kuatkan hatinya untuk menahan suara tangisnya agar jangan sampai terdengar oleh o-rang lain. Hatinya makin terasa sakit. Ia malu sekali, karena ternyata bahwa Ouwyang Bun adalah tunangan Cui Sian yang sah hingga dialah yang sesungguhnya bersikap rendah, hendak merampas tunangan orang. Dan lebih-lebih lagi, dia telah menjadi sebab hingga Ouwyang Bu terpisah dari kakaknya, bahkan kini menjadi musuh Siauw Leng, tunangan pemuda itu sendiri. Ah, kalau saja tidak ada dia, tentu kedua pemuda itu akan berkumpul dengan kedua tunangan mereka dan semuanya akan beres dan lancar. Semua akan berbahagia. Tapi sekarang dengan adanya dia, segalanya menjadi kacau.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, semua orang di situ mendengar jerit tangis Siauw Leng yang memilukan, karena ketika gadis ini memasuki tendanya hendak menjenguk Lie Eng, ternyata ia mendapatkan gadis ini telah menjadi mayat. Lie Eng telah menggunakan sebilah pisau yang terdapat di tenda itu untuk bunuh diri. Pisau itu menancap di dada kirinya dan ia mati telentang di atas dipan. Tangan kirinya memegang sehelai kertas yang ternoda darah yang memercik keluar dari dadanya.

Melihat keadaan Lie Engr-Oywyang Bun tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia maju dan berlutut di dekat tubuh itu sambil menundukkan kepala. Diam-diam m merasa bertanggung jawab akan peristiwa ini dan tahu pula bahwa kematian gadis ini adalah karena dia. Sementara itu, Cui Sian yang juga sudah dapat turun dan berada pula di situ, hanya berdiri sambil menghela napas berulang-ulang. Ketika Ouwyang Bun mengangkat muka, ternyata wajah pemuda ini pucat dan kedua matanya basah, sedangkan pada wajah, itu terbayang kedukaan besar hingga membuat ia tampak lebih tua. Ia tidak saja menyedihi kematian sumoinya ini, tapi juga bersedih karena Ouwyang Bu. Ia maklum bahwa kematian Lie Eng ini akan menghancurkan kebahagiaan hidup Ouwyang Bu.

Dengan perlanan ia ambil surat di tangan gadis itu.

Ternyata surat itu ditujukan kepadanya.

Bun-ko,

Sudah Sepantasnya aku tewas di tangan. Cui Sian yang gagah, tapi sayang ia memukul kepalang tanggung hingga terpaksa aku sendiri yang menamatkan hidupku, Tapi agaknya arwahku takkan tenang sebelum mendapat ampun dari engkau dan dari Bu-ko. Aku adalah seorang gadis yang tak tahu diri dan hanya, mengacaukan kebahagiaan orang.

Dengan membabi-buta dan tak tahu malu aku telah berani mencintaimu, Bun-ko, mencintai seorang pemuda yang telah mempunyai tunangan secantik dan segagah Cui Sian.

Oleh karena akulah maka Bu-ko terpisah darimu. Karena aku pula Bu-ko menjadi pembantu ayah dan karenanya tak dapat berkumpul dengan Siauw Leng, tunangannya.

Aku tak mungkin menjadi isterimu, dan tak mungkin pula menjadi isteri Bu-ko, hingga akibatnya aku hanya akan hidup menderita dan merusak hati Bu-ko yang mencintaiku.

Karena inilah lebih baik aku mati.

Bun-ko, aku percaya bahwa kau tentu suka memaafkan daku karena aku tahu betapa mulia hatimu. Tapi aku masih ragu-ragu apakah Bu-ko dapat mengampuni dan melupakan aku. Sukakah kau mintakan ampun padanya?

Selamat tinggal dan tolong sampaikan permohonan ampun kepada ayah untuk anaknya yang tidak berbakti.

CIN LIE ENG

Semakin keraslah sedu-sedan dari dada Ouwyang Bun ketika ia baca isi surat ini dan tanpa berkata apa-apa ia berikan surat itu kepada Cui Sian untuk dibaca. Gadis itupun menjadi merah mukanya karena terharu sedangkan Siauw Leng yang juga membaca surat itu menangis keras. Ouwyang Bun lalu menyimpan surat itu dalam saku bajunya.

Ouwyang Bu merasa heran, khawatir, dan bingung ketika tidak melihat Lie Eng dalam benteng. Ia mencari ke sana-sini dan bertanya kepada anak buahnya yang berjaga di sepanjang daerah penjagaannya, tapi tak seorangpun melihat gadis itu.

Ketika matahari telah naik tinggi, tiba-tiba ia diberi tahu oleh penjaga bahwa di luar benteng ada seorang pemuda berpakaian putih datang dengan sebuah kereta hendak bertemu dengannya. Hati Ouwyang Bu berdebar aneh dan segera ia lari keluar.

"Bun-ko....." ia berseru keras sambil lari keluar menyambut kakaknya itu. Tapi ia heran sekali melihat betapa kakaknya itu berpakaian putih dan wajahnya nampak sedih sekali.

"Bun-ko, kau dari mana dan hendak ke mana? Mari, mari masuk, kita bicara di dalam," kata Ouwyang Bu setelah berpelukan dengan kakaknya.

Posting Komentar