"Kau pergilah..... biarkan aku bertanding dengan Cui Sian. Ah, Cui Sian seribu kali lebih berharga daripada engkau."
Dan pada saat itu Ouwyang Bun merasa tubuhnya lemas dan ia roboh di atas tanah. Ternyata Cui Sian telah menotoknya dari belakang tanpa ia duga sama sekali.
"Koko, kau memang terlalu mulia untuk membiarkan dua orang gadis beradu tenaga karenamu. Tapi sikap Lie Eng kuhargai, dan kalau aku menampik ajakan maka aku akan merasa malu dan menyesal selama hidupku. Nah, kau lihatlah saja dan maafkan bahwa aku terpaksa menotokmu dengan diam-diam."
Kemudian Cui Sian memerintahkan orang-orangnya membuat lingkaran besar dan semua orang yang hendak menonton harus berada di luar lingkaran. Beberapa obor dipasang untuk menerangi tempat itu dan semua orang dipesan agar jangan ikut mencampuri pertempuran ini.- "Kawan-kawan semua," Cui Sian berkata dengan suara lantang, "kali ini aku bukan bertempur sebagai seorang pemimpin-mu. Ingat, ini adalah urusan pribadi yang menyangkut nama dan kehormatan. Biarpun aku sampai kalah dan mati dalam tangan nona Cin Lie Eng ini, jangan sekali-kali kalian berani mencampuri. Dan lagi, sebagai seorang pemimpinmu, aku memberi pesan dan perintah, yakni andaikata aku kalah dan roboh mati, janganlah nona ini diganggu dan biarkan dia pergi dari sini dengan aman. Mengerti semua?"
Tiba-tiba Siauw Leng meloncat memeluk cicinya. "Cici, mengapa kau lakukan ini?"
Cui Sian dengan halus mendorong adiknya keluar lingkaran dan berkata,
"Adikku, kita adalah murid seorang gagah dan kita harus menghadap? kegagahan orang lain. Kalau aku kalah, kaulah yang menjadi pemimpin kawan-kawan kita."
Ouwyang Bun yang didudukkan di dekat situ sambil menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon dengan lemah tak ber daya, merasa hatinya seperti dipotong-po tong. Ia menyesal sekali mengapa tadi berlaku lalai hingga kena ditotok oleh tunang annya, karena kalau tidak demikian, biarpun bagaimana juga, ia takkan membiarkan dua singa betina ini saling terkam. Diam-diam ia mengerahkan Iweekangnya untuk membebaskan diri dari totoknn, tapi karena Cui Sian tahu akan kehebatan pemuda itu, ia telah menotok dua kali hingga tak mungkin pemuda itu dapat membebaskan diri dengan mudah begitu saja.
Sementara itu, Cui Sian berkata kepada Lie Eng, "Lie Eng, marilah kita mulai."
Lie Eng sekali lagi memandang wajah Ouwyang Bun dan ia gunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap air mata yang tiba-tiba memenuhi pelupuk matanya, kemudian ia menghadapi Cui Sian dengan tabah.
"Marilah, Cui Sian." jawabnya dan sepasang pedang di tangannya telah siap sedia.
"Kau sebagai tamu, bergeraklah lebih dulu." kata Cui Sian dengan pedang melintang di dada dengan sikapnya tenang sekali.
Lie Eng lalu mulai menyerang dengan hebat yang ditangkis oleh Cui Sian dengan tenang, dan beberapa saat kemudian kedua, dara remaja itu telah bertempur hebat sekali. Bayangan kedua dara itu lenyap ditelan sinar pedang yang bergulung-gulung dan angin pedang mereka sampai terasa oleh para penonton di luar lingkaran.
Ouwyang Bun yang lumpuh kaki tangannya itu berkali- kali memejamkan mata karena merasa ngeri, sedangkan semua penonton melihat pertempuran istimewa ini dengan hati tegang dan hampir tak berani bernapas. Lui Kok Pauw meremas-remas tangannya, Siauw Leng membanting- banting kakinya dan tiba-tiba gadis ini menangis perlahan. Semua orang tak berani mengeluarkan suara sedikitpun dan pada saat itu mereka merasa seakan-akan pertempuran ini adalah sesuatu yang suci dan yang harus dipandang dengan penuh penghormatan.
Sementara itu, kedua dara yang bertempur mati-matian itu berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa lawannya adalah seorang yang kuat. Lie Eng segera memainkan ilmu pedangnya yang paling hebat, yakni Im-yang-siang-kiam- hoat. Ilmu pedang berpasangan ini betul-betul hebat sekali, karena gerakan pedang kanan dan pedang kiri sungguh jauh bedanya dan bahkan boleh dibilang berlawanan. Oleh karena ini, tampaknya permainannya kacau dan kalut, tapi sebetulnya kedua pedang itu merupakan imbangan atau kesatuan gerakan yang bukan main kuatnya. Kalau pedang kiri digerakkan dengan tenaga halus, pedang kanan bergerak didorong tenaga kasar dan demikian sebaliknya hingga kalau saja yang bertanding melawan Lie Eng bukannya Can Cui Sian si Bunga Bwee, pasti takkan mampu bertahan lama.