Halo!

Sepasang Pendekar Kembar Chapter 31

Memuat...

Di samping itu ia selalu memikir-mi-kirkan bagaimana caranya agar ia dapat membawa kawan-kawannya melewati benteng itu hingga dapat menggabungkan diri dengan kesatuan induk yang dipimpin oleh pemimpin besar Lie Cu Seng. Oleh karena ini, ia tidak ikut bergembira-ria dengan kawan-kawannya, tapi bahkan menjauhkan diri dan duduk di bawah sebatang pohon pek dengan Ouwyang Bun. Ia merasa lebih senang dan tenteram untuk duduk dan bercakap-cakap berdua saja dengan pemuda ini.

"Moi-moi, tadi aku sudah hampir tidak kuat menahan diri mendengar bahwa Bu-te sendiri yang memimpin barisan menyerbu ke sini. Aku ingin sekali keluar dan menemuinya, tapi karena pertempuran berjalan hebat, aku khawatir kalau-kalau kedatanganku malah akan mendatangkan salah paham di kedua pihak. Untungnya kau tidak berlaku kejam dan tidak membinasakan adikku itu."

Cui Sian menghela napas. "Adikmu sungguh hebat, belum tentu aku dapat mengalahkannya. Sayang sekali dia tidak insyaf, ah, sungguh sayang. Ia akan merupakan pasangan yang tepat sekali untuk Siauw Leng...." Nona itu menghela napas, dan Ouwyang Butf juga ikut merasa terharu.

Alangkah baiknya kalau Ouwyang Bu dapat berada di situ bersama dia dan dapat bertemu sebagai tunangan dengan Siauw Leng, seperti halnya dia dengan Cui Sian. Diam-diam ia merasa heran sekali akan kebijaksanaan ibunya dan ibu Cui Sian. Kedua orang tua itu agaknya telah tahu lebih dulu bahwa mereka akan menjadi pasangan yang saling mengasihi dan saling mengagumi.

"Betul katakatamu moi-moi. Alangkah bahagianya rasa hatiku kalau Bu-te dapat bertemu dengan adik Siauw Leng seperti kau dan aku "

Cui Sian diam saja dan ia tidak membantah ketika tunangannya memegang tangannya. "Moi-moi, kau sungguh mengagumkan. Tidak saja kau lemah lembut dan baik budi sebagaimana terbukti ketika kau merawat aku di waktu aku mendapat luka, tapi kau juga gagah perkasa dan cerdik sekali. Aku heran di mana kau belajar ilmu perang hingga bisa mengatur siasat yang begitu berhasil siang tadi. Sungguh-sungguh aku kagum padamu."

"Ah, kau memuji saja. Apakah artinya kepandaianku kalau dibandingkan dengan kepandaianmu yang tinggi?"

Pada saat itu bulan telah muncul hingga keadaan yang remang-remang itu tampak romantis sekali dan sepasang anak muda itu tenggelam dalam cahaya bulan yang mendatangkan hikmat gaib bagi para muda yang sedang dimabok asmara. Biarpun hanya saling berpegang tangan sambil saling memandang, namun dalam sentuhan jari dan pertemuan sinar mata ini mereka telah sama-sama mengutarakan semua isi hati hingga bagi kedua pihak lebih jelas daripada seribu macam katakata. Mereka demikian asyik dan masyuk hingga tidak tahu bahwa ada sepasang mata yang tajam memandang mereka dengan sinar mata marah, tapi dengan pipi basah oleh air mata.

Pada saat itu terdengar teriakan. "Tangkap mata-mata musuh."

Ouwyang Bun dan Cui Sian terkejut sekali dan meloncat

ke arah suara itu. Tiba-tiba mereka melihat bayangan orang ber kelebat di belakang mereka. Keduanya lalu mengejar: Dan terdengarlah suara senjata beradu ketika bayangan itu diserang oleh seorang anggauta penjaga yang tadi melihat dia mengintai Cui Sian dan Ouwyang Bun.

Ketika dua anak muda itu tiba di tempat pertempuran, ternyata mata-mata musuh itu ialah Lie Eng sendiri yang sedang dikeroyok tiga orang penjaga.

"Sumoi.." Ouwyang Bun berseru dan ia cepat meloncat ke kalangan pertempuran dan berkata keras kepada tiga orang penjaga yang mengeroyok. "Tahan dulu."

Lie Eng mengenakan pakaian serba hijau yang kelihatan hitam ditimpa sinar bulan yang remang-remang itu dan sepasang tangannya memegang siang-kiam. Sikapnya tegas sekali dan ia berdiri dengan kedua kaki terpentang dengan sikap menantang.

"Kau... kau juga menjadi pemberontak?" tegurnya kepada Ouwyang Bun dengan sikap menghina.

"Sumoi.... kita memang berbeda paham. Kalau kau sudah tahu akan hal itu, mengapa....... kau malam-malam ke tempat ini..?” Tiba-tiba mata dara itu mengeluarkan eatiaya penuh kemarahan. Sambil menuding ke arah Ouwyang Bun dengan pedangnya, ia memaki.

"Kau... kau pengkhianat. Kau murid murtad.. Kau tidak kenal apa artinya bakti dan setia, tidak malu mengkhianati guru dan susiok sendiri.. Kau..... kau...," dan tiba-tiba saja gadis itu menangis karena merasa betapa hatinya hancur lebur dan krcewa.

Sementara itu, Cui Sian yang mendengar betapa tunangannya dimaki-maki orang, tentu saja tidak rela. Apalagi karena ia tahu bahwa gadis ini anak musuh besar semua hohan dan patriot, maka ia segera meloncat maju dan membentak,

"Perempuan kasar dan sombong, apa yang kaukchendaki maka kau berani lancang memasuki daerah kami? Menyerahlah kau menjadi tawanan kami."

Tiba-tiba Lie Eng tertawa dengan nyaring dan tinggi. "Ha, It-to-bwee. Bukalah telinga dan matamu lebar-lebar. Aku Cin Lie Eng, sengaja datang ke sini untuk mencari engkau. Aku telah mendengar tentang kegagahan dan kecantikanmu maka sekarang aku sengaja datang hendak melihat sendiri kegagahan yang disohor-sohorkan orang itu. Majulah dan mari kita bertempur sampai seorang di antara kita mati di ujung pedang."

Ouwyang Bun terkejut sekali. Tadinya ia hanya menyangka bahwa gadis yang tabah itu hanya datang untuk menyelidiki para pemberontak. Tidak disangkanya sama sekali bahwa sikap gadis itu akan senekat ini dan tiba-tiba ia dapat. menduga apa yang menjadi sebabnya. Lie Eng tadi telah mengintainya dan tentu mengerti bahwa ia dan Cui Sian saling mencintai. Dan inilah agaknya yang menjadi sebab kenekatan gadis itu dan yang membuat ia menantang Cui Sian bertanding sampai mati.

"Sumoi......" tegurnya sambil berdiri menghadapi gadis itu. "Kenapa kau begini nekat? Kenapa kau hendak mengadu tenaga tanpa alasan? Sumoi.... bukankah Bu-te menanti-nantimu dan alangkah akan hancur hatinya kalau.... kalau kau menjadi korban kenekatanmu ini "

"Diam. Kau perduli apa dengan tindakanku? Aku bukan sumoimu. Kau..... kau.... pengkhianat....." kembali ia terisak, kemudian ia berkata kepada Cui Sian,

"Eh, Cui Sian. Bagaimana? Takutkah kau kepadaku?"

Cui Sian lalu memegang lengan Ouwyang Bun dan menarik pemuda itu untuk mundur dan Ouwyang Bun menurut. Kemudian gadis yang tenang sikapnya ini-maju menghadapi Lie Eng dan berkata dengan suara halus tapi tetap, "Lie Eng, sekarang aku tahu. Kau... mencintai Bun- ko. "

"Perempuan rendah, jangan jual obrolan busuk." Lie Eng merasa marah sekali dan cepat menusuk dengan pedangnya, tapi Gui Sian mengelak sambil mundur.

"Nanti dulu, Lie Eng. Dengarlah dulu omonganku. Memang kau adalah musuhku, musuh semua orang yang berjiwa patriot dan yang kau sebut pemberontak- pemberontak. Sudah sepatutnya kalau aku menyiapkan semua kawan untuk membunuhmu. Tapi, terus terang saja kukatakan bahwa aku mengagumi kau. Aku kagum karena kau berani dan karena kau berhati... setia." Kalau tidak demikian, tak mungkin kau berani datang seorang diri ke sini. Aku kagum padamu, seperti juga guruku kagum kepada ayahmu yang gagah perkasa. Tapi melihat sikapmu ini, aku khawatir bahwa kita berdua terpaksa harus mengadu pedang sampai penentuan terakhir. Sungguh satu kehorm atan besar, kawan. Memang sayang bahwa justeru kau yang kukagumilah yang menjadi musuh besarku dalam hal ini, tapi sebaliknya aku takkan dendam kalau sampai terjatuh dalam tangan seorang wanita gagah seperti kau."

Lie Eng adalah seorang gadis yang juga memiliki otak yang cerdik dan pandangan yang luas, maka biarpun Cui Sian mempergunakan kata-kata kiasannya yang mengandung sindiran-sindiran, namun ia dapal menangkap seluruh isi dan maksudnya. Untuk sesaat ia tak dapat menjawab karena merasa terharu. Alangkah cerdiknya gadis ini, pikirnya. Sepintas lalu saja ia telah dapat membaca seluruh isi hatiku. Bukan main.

"Cui Sian, aku girang bahwa kau juga patut menjadi lawanku. Kita sama-sama dapat memahami. Nah, cabutlah pedangmu dan mari kita segera menyelesaikan urusan ini."

Pada saat itu yang paling bingung adalah Ouwyang Bun. Ia juga seorang cerdik dan pintar maka tentu saja ia tahu apa yang hendak dilakukan oleh kedua nona itu dan mengapa mereka hendak mengadu tenaga. Ia segera meloncat di tengah-tengah antara kedua nona itu sambil mengangkat kedua tangan dengan bingung.

"Sumoi. Kau pulanglah. Aku yang akan menjamin bahwa kau tentu keluar dari sini dengan selamat dan aman. Pulanglah kau dan jangan bikin ribut di sini lebih lama lagi."

"Kau laki-laki tidak setia, jangan banyak cerewet. Aku tidak berurusan dengan kau. Aku mempunyai urusan dengan Cui Sian. Kau minggirlah." Ia menggerakkan pedangnya hendak menusuk.

Tapi Ouwyang Bun mengangkat dada dan sama sekali tidak mengelak. Ketika ujung pedangnya sudah hampir menyentuh dada pemuda itu, Lie Eng menarik kembali senjatanya.

"Kau mau membunuh aku? Boleh, hayo tusuklah aku, sumoi. Aku juga tidak takut mati."

"Kau..... mengapa kau menghalang-halangi maksudku? Aku hendak bertempur melawan Cui Sian, bukan dengan kau."

"Sumoi, dengarlah. Kalau misalnya besok kau dan Cui Sian bertemu dalam peperangan dan bertempur mati- matian, aku takkan merasa apa-apa. Tapi keadaan kalian pada waktu ini bukan sewajarnya, kalian hanya terdorong oleh napsu hati yang sedang bergolak. Kau pulanglah dan jangan berlaku seperti anak kecil."

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment