Sepasang Pendekar Kembar Chapter 29

NIC

Biarpun anggauta pemberontak she Siong itu merasa heran mendengar panggilan Cui Sian kepada pemuda itu namun ia tidak berani membuka mulut, dan ketiganya lalu memacu kuda secepatnya. Orang she Siong itu berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan, Cui Sian di belakangnya dan Ouwyang Bun di belakang sekali.

Setelah membalapkan kuda hampir setengah hari dan hari telah menjadi gelap, barulah mereka sampai di tempat tujuan yakni sebuah hutan pohon pek yang lebat sekali. Di tengah-tengah hutan itulah para anggauta pemberontak menyembunyikan diri. Ketika Cui Sian datang, semua orang merasa gembira sekali dan lega, karena dengan adanya pendekar wanita ini di antara mereka, maka hati mereka menjadi lebih tabah.

Siauw Leng menyambut encinya dengan girang kemudian memeluknya. Gadis lincah itu lalu menjura kepada Ouwyang Bun dan berkata dengan wajah sungguh- sungguh dan lenyaplah untuk saat itu sifatnya yang nakal, "Ouwyang-taihiap, sungguh-sungguh aku merasa girang dan lega sekali melihat kau suka datang di tempat ini bersama cici."

Kemudian, enci dan adik itu serta beberapa orang yang dianggap sebagai pembantu, mengadakan rapat di dekat api unggun. Di sekeliling api itu ditutup dengan kain tebal hitam hingga dari jauh api itu takkan tampak oleh musuh. Ouwyang Bun ikut duduk di situ, tapi ia hanya mendengarkan saja segala percakapan mereka. Setelah mendengar laporan-laporan para pembantunya, Cui Sian memeras otaknya yang cerdas lalu mengatur siasat.

"Kawan-kawan kita yang berjumlah e-nampuluh ini kita bagi menjadi tiga kelompok. Empatpuluh orang besok pagi- pagi sekali ikut dengan aku sendiri menyerbu musuh di luar hutan. Kalau jumlah mereka bertambah, aku pimpin empatpuluh orang kawan ini mundur dan melarikan diri ke dalam hutan untuk memancing mereka mengejar sampai di tempat yang banyak terdapat pohon siong besar yang kulihat di sana tadi. Di belakang pohon-pohon itu, Siauw Leng harus memimpin sepuluh orang yang pandai menggunakan anak panah dan menunggu sampai musuh yang mengejarku tiba di situ lalu menghujani anak panah tanpa memperlihatkan diri. Tentu keadaan mereka menjadi kacau dan banyak korban jatuh. Kalau mereka melarikan diri dan kembali hendak ke luar hutan, maka Lui-twako yang memimpin sepuluh orang kawan lain harus menyergap mereka dengan anak panah pula dari depan hingga mereka seakan-akan terkurung tanpa mengetahui jumlah kita yang sesungguhnya. Aku sendiri akan memimpin kawan-kawanku untuk menyerbu kembali hingga mereka betul-betul menjadi kacau-balau."

Semua orang mendengarkan perintah i-ni dengan penuh perhatian, sedangkan Ouwyang Bun merasa kagum sekali.

Pada keesokan harinya semua orang telah bersiap melakukan tugas masing-masing. Ouwyang Bun menemui Cui Sian dan bertanya,

"Moi-moi, aku tentu boleh ikut denganmu, bukan?" "Lebih baik jangan, koko. Siapa tahu, jangan-jangan

adikmu sendiri yang akan maju memimpin pengejaran nanti, dan jika ia melihat kau, ia akan menjadi curiga dan siasatku mungkin akan gagal. Biarlah kau mengamat-amati saja dan membantu bila di antara kawan kita ada yang terkurung atau terancam bahaya."

"Tapi kau harus berlaku hati-hati, moi-moi, jangan kau pandang ringan adikku itu dan.... dan.,,, sedapat mungkin janganlah kau. celakakan dia."

Cui Sian memandang pemuda itu dengan mata sayu. "Apa dayaku, koko? Dalam keadaan seperti ini apakah masih perlu perasaan perseorangan diutamakan?" Ouwyang Bun menghela napas dan tak men jawab karena ia maklum sepenuhnya akan maksud kata-kata gadis itu.

Setelah memberi pesan terakhir kepada kawan-kawannya dan mengatur persiapan-persiapan untuk menjalankan siasat itu, Cui Sian lalu memimpin kawan-kawannya untuk menyerbu perkemahan serdadu negeri yang menjaga di luar hutan dalam tenda-tenda berwarna hijau. Kurang lebih tigaratus orang serdadu itu memang dipimpin sendiri oleh Ouwyang Bu. Bagaimanakah nasib pemuda gagah ini yang ditinggal pergi oleh kakaknya yang ia kasihi?

Setelah Ouwyang Bun pergi, Ouwyang Bu merasa sangat sedih, akan tetapi karena kasih dan cintanya kepada Lie Eng jauh lebih besar daripada kasih sayangnya kepada kakaknya itu, maka kenyataan bahwa ia dapat selalu berdampingan dengan gadis itu yang banyak menghibur hatinya.

-00oodwoo00-

SEMENTARA itu, semenjak kepergian Ouwyang Bun, Lie Eng menjadi pendiam. Wajahnya yang cantik itu tampak muram saja dan ia jarang tersenyum, kecuali kalau sedang bicara dengan Ouwyang Bu, karena diam-diam ia merasa sangat kasihan kepada pemuda ini. Ia tahu bahwa pemuda ini sekarang menaruh seluruh pengharapannya kepada dia seorang, maka tidak sampai hatinya untuk menolak cinta Ouwyang Bu, biarpun ia juga tidak menyatakan bahwa ia menerima atau membalas cinta itu. Diam-diam gadis ini masih mengingat dengan hati penuh rindu Kepada Ouwyang Bun, pemuda idaman hatinya itu.

Setelah Ouwyang Bun pergi, Lie Eng dan Ouwyang Bu tiada bernapsu lagi untuk melanjutkan perantauan mereka, maka langsung mereka menyusul pasukan yang dipimpin oleh Cin Cun Ong. Beberapa hari kemudian mereka dapat menyusul pasukan itu karena Cln-ciangkun menggerakkan pasukannya sambil melakukan pembersihan di sana-sini.

Sambil berlutut Ouwyang Bu memintakan ampun untuk kakaknya yang telah pergi tanpa pamit itu. Cin Cun Ong menghela napas dan diam-diam ia merasa menyesal karena ia sungguh mengharapkan tenaga anak muda itu, tapi mulutnya berkata,

"Tidak apalah, memang segala sesuatu tidak dapat dipaksakan. Mungkin dia mempunyai pendapat lain. Mudah-mudahan saja dia tidak mengambil jalan berlawanan dengan jalan kita. Dan kau sendiri bagaimana?"

"Teecu sudah berjanji hendak membantu pekerjaan susiok sampai titik darah peng habisan." sambil berkata demikian pemuda itu melirik ke arah Lie Eng yang berdiri di dekat ayahnya bagaikan patung, seakan-akan pikirannya melayang-layang pergi jauh dari tubuhnya. Cin Cun Ong adalah seorang kang-ouw yang sudah ulung dan banyak punya pengalaman. Ia maklum bahwa saudara kembar she Ouwyang itu mempunyai hubungan persaudaraan yang luar biasa. Dan kalau ada sesuatu yang mampu memisahkan mereka berdua, maka sesuatu itu tentulah seorang wanita. Dan dalam hal ini, siapakah lagi kalau bukan Lie Eng anak gadisnya sendiri?

"Ouwyang Bu, baik sekali kalau pendirianmu demikian. Aku percaya penuh kepadamu. Ketahuilah, sekarang ini dari sekeliling jurusan yang menuju ke kota raja, telah penuh dengan barisan pemberontak yang bergerak dengan sembunyi-sembunyi. Menurut perhitunganku, yang berbahaya adalah barisan-barisan pemberontak yang bergerak dari timur dan utara. Maka kebetulan sekali kedatanganmu ini. Aku akan menjaga di sebelah timur dan kau menjaga di sebelah utara. Karena kau belum berpengalaman, maka biarlah Lie Eng membantumu."

Bukan main girang hati Ouwyang Bu, bukan terlalu girang karena diberi tugas besar yang berbahaya itu, tapi gembira karena gadis yang dicintainya itu dijadikan pembantunya. Cin Cun Ong dapat melihat sinar bahagia memancar dari muka pemuda itu, maka dugaannya makin tebal. Tapi ketika ia menengok dan memandang muka Lie Eng, gadis itu menyambut perintah ini dengan dingin saja, walaupun ia berkata,

"Aku akan girang sekali kalau dapat membantu Bu-ko." "Kalian harus memimpin barisan yang kini sudah berada

di benteng Liok-kwa-shia. Di situ terdapat seribu orang

tentara di bawah pimpinan Gui-ciangkun. Kau bawalah suratku untuknya dan boleh ambil alih pimpinan dan angkatlah ia menjadi pembantumu. Biarpun kepandaian Gui-ciangkun tidak berapa tinggi, namun ia dapat memimpin anak buahnya dan ia cukup setia. Ingat, kewajiban kalian hanya untuk menjaga daerah itu yang panjangnya lima li dan jangan bergerak terlalu jauh. Ingatlah baik-baik akan gerak-gerik barisan pemberontak yang menggunakan taktik perang secara sembunyi- sembunyi dan jangan percaya kepada segala petani dan pengemis. Mereka ini mungkin sekali adalah anggauta- anggauta pemberontak atau mata-mata. Pendeknya, tanggung jawab benteng itu kuserahkan kepadamu dan hati- hatilah jangan sampai pemberontak dapat menerobos dan melewati benteng itu."

Setelah menerima nasihat-nasihat banyak sekali dari panglima tua yang ulung itu, Ouwyang Bu dan Lie Eng berangkat dengan diiringkan oleh satu regu tentara pilihan. Ouwyang Bu mengenakan pakaian perwira kelas satu yang terbuat dari kain berwarna hijau dengan sulaman-sulaman kuning. Topinya dihias benang emas hingga berkilauan kena cahaya matahari sedangkan pedangnya digantungkan di pinggang. Ia tampak gagah sekali dan untuk sesaat Lie Eng memandang padanya dengan mata mesra karena Ouwyang Bu memang dalam hal rupa dan bentuk badan serupa benar dengan Ouwyang Bun. Juga Lie Eng berpakaian sebagai seorang panglima wanita, tapi ia tidak menggantungkan sepasang pedangnya di pinggang. Ia lebih suka mengikatkan pedangnya itu di punggungnya hingga dilihat dari depan, hanya gagang pedang saja yang nampak mengintai dari balik bahunya.

Kedatangan mereka disambut oleh Gui Li Sun atau Gui- ciangkun, panglima yang tinggi besar itu. Gui-ciangkun tentu saja merasa tidak puas dan kecewa sekali ketika ia harus menyerahkan pimpinan benteng itu kepada Ouwyang Bu. Anak muda yang baru saja masuk lingkungan ketentaraan itu dan belum mempunyai pengalaman perang sama sekali, telah diserahi tugas ini? Sungguh gemas sekali hati Gui Li Sun dan kalau ia tidak ingat bahwa Ouwyang Bu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, pula kedatangan anak muda itu membawa surat perintah dari Cin-ciang-kun, bahkan Cin Lie Eng juga ikut membantu, tentu ia akan memperlihatkan rasa menyesal dan marahnya. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa selain memberi hormat secara militer kepada Ouwyang Bu yang semenjak saat itu menjadi pemimpinnya.

Dengan bantuan Lie Eng dan Gui Li Sun, Ouwyang Bu mengadakan peraturan baru yang keras pada seluruh anak buahnya dan penjagaan dilakukan lebih kuat lagi.

Semenjak Ouwyang Bu menjabat pimpinan di situ, benar saja para pemberontak yang hendak menerobos daerah itu selalu dapat digagalkan. Telah lebih dari lima kali rombongan-rombongan kecil pemberontak yang lewat di situ dapat digagalkan bahkan dihancurkan. Beberapa orang pemberontak yang berkepandaian tinggi tidak kuat menghadapi Ouwyang Bu yang dibantu oleh Lie Eng, pula tidak dapat melawan barisan yang besar jumlahnya dan dapat menerobos penjagaan yang sangat kuat itu.

Di waktu tidak ada serbuan pemberontak, tiap hari Ouwyang Bu melatih semua anak buahnya dengan latihan- latihan main senjata. Ia sengaja menurunkan kepandaian silat yang praktis dan yang mudah dipelajari serta dapat digunakan pada saat terjadi pertempuran.

Posting Komentar