Untuk beberapa lama Cui Sian membiarkan saja tangannya dipegang tapi kemudian ia menarik tangannya sambil berkata lagi.
"Koko, menurut kata suhu, setelah empat hari barulah kau boleh melakukan.perjalanan. Aku mempunyai tugas penting, yakni memimpin kawan-kawan mencari dan menggabungkan diri dengan induk kesatuan. Maka, terpaksa besok pagi-pagi aku pergi dari sini.”
Ouwyang Bun terkejut. "Pergi ke mana, moi-moi?" "Menyusul kawan-kawan. Ke mana lagi?"
"Aku juga ikut pergi," katanya dengan suara tetap.
Cui Sian mengangkat telunjuknya. "Ingat, koko, aku menunaikan tugasku untuk menyerbu ke kota raja."
"Akupun hendak ikut menyerbu dan bertempur di sampingmu."
"Ingat, koko. Tidak ada yang memaksa kau untuk ikut menggabungkan diri menjadi pemberontak."
"Tidak ada yang memaksa, dan kau bukanlah pemberontak. Kau adalah seorang patriot wanita, semua kawan adalah patriot-patriot gagah sejati. Aku sekarang mengerti dan tahu akan isi perjuanganmu, moi-moi."
"Tapi, koko, janganlah kau berobah pikiran hanya karena ada aku. Ingatlah bahwa kau akan berhadapan dengan susiokmu, bahkan mungkin dengan adikmu
sendiri." Mendengar adiknya disebut-sebut, Ouwyang Bun menghela napas dan berkata perlahan, "Sayang sayang
sekali Bu-te tidak berada di sampingku "
"Memang, aku juga sangat menyayangkan, koko. Ketahuilah, dari berita para pe nyelidik kita, aku mendapat kabar bahwa adikmu kini telah diangkat menjadi tangan kanan Cin-ciangkun."
Ouwyang Bun makin sedih mendengar ini.
"Dan diberi tugas mengepalai barisan yang menjaga benteng Kwi-ciok-bun di sebelah selatan kota raja. Kabarnya benteng nya besar dan kuat sekali dan merupakan perintang besar sekali bagi kawan-kawan kita."
"Dan kau serta kawan-kawanmu hendak menyerbu ke sana?" tanya Ouwyang Bun.
"Memang tugas kita harus melalui benteng itu."
"Kalau begitu, aku ikut. Biarlah, kalau perlu aku berhadapan dengan adikku sendiri. Mungkin aku dapat menyadarkannya sebelum terlambat."
Sehari itu mereka bercakap-cakap dan pada kesempatan ini Can Cui Sian menceritakan riwayatnya secara singkat.
Ternyata bahwa Can Lim Co, ayah Cui Sian dan Siauw Leng, setelah harta bendanya habis dan menjadi miskin, pindah ke Tung-han dan mendiami rumah sederhana. Pada suatu hari, ketika hujan turun dengan lebatnya, di depan rumah keluarga Can itu tampak meneduh seorang kakek yang memikul keranjang obat. Kakek itu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus air hujan yang menimpa kepala dan mukanya, lalu mengucapkan syair dengan suara riang sambil memandang air yang mengucur dari atas. Kata orang purbakala
mendung timbul dari samudera mendung jadi hujan
dan air mengalir masuk sungai sungai bergerak maju
dan akhirnya masuk ke samudera kembali Alangkah adilnya kekuasaan alam
segala sesuatu
pasti kembali ke asal semula.
Kebetulan pada waktu itu Can Lim Co sedang duduk di dekat jendela sambil memandang air hujan juga. Can Lim Co adalah seorang sastrawan yang tentu saja pandai akan sastra dan syair. Mendengar syair yang diucapkan orang dari luar ini, ia merasa kagum dan tertarik sekali. Segera ia keluar dan dengan ramah-tamah mempersilakan kakek tukang obat itu masuk.
Kakek itu ternyata adalah Sin-liong Ciu Pek In si Naga Sakti yang tidak hanya hebat sekali ilmu pedangnya. juga seorang ahli ilmu pengobatan yang pintar dan sakti. Ciu Pek In segera menjadi sahabat baik Can Lim Co karena keduanya suka akan syair-syair kuno, maka semenjak saat itu, seringkali Ciu Pek In mengunjungi sahabatnya itu. Kemudian, karena Can Lim Co juga berjiwa patriot, melihat keadaan negara dalam kacau dan tahu bahwa Ciu Pek In adalah seorang pendekar gagah perkasa, orang she Can ini minta kepada sahabatnya untuk menerima kedua anak perempuannya sebagai murid.
Ternyata kedua anak perempuannya, Cui Sian dan Siauw Leng, memang mempunyai bakat baik hingga mereka mudah £apat menerima pelajaran silat tinggi dari si Naga Sakti. Ketika pemberontakan pecah di mana-mana, sebagai seorang pen cinta bangsa Ciu Pek In juga ikut membantu pergerakan untuk meruntuhkan kekuasaan raja lalim dan para pemimpin jahat, sedangkan dua orang muridnya itu-pun mendapat izin dari orang tuanya untuk membantu pula.
Mendengar cerita Cui Sian, Ouwyang Bun merasa kagum sekali dan tiada habisnya memuji ayah. gadis itu sebagai seorang yang berjiwa patriot.
"Sayang sekali ayahku tidak berpemandangan demikian, dan lebih sayang lagi bahwa Bu-te juga tidak menginsyafi hal ini," katanya sambil menghela napas.
Pada keesokan harinya, ternyata kesehatan Ouwyang Bun telah pulih kembali dan luka-lukanya sudah hampir sembuh. Keduanya lalu berangkat meninggalkan tempat itu dengan naik dua ekor kuda yang memang sengaja disediakan dan ditinggalkan di situ untuk mereka berdua. Mereka memacu kudanya cepat-cepat untuk dapat menyusul kawan-kawan yang telah mendahului mereka empat hari yang lalu. Karena kawan-kawannya telah berangkat lebih dulu, maka di mana-mana Cui Sian mendapat bantuan orang kampung dan mudah saja baginya mencari tahu dari mereka ini ten-r tang perjalanan kawan- kawannya dan tentang pergerakan tentara negeri yang beraksi mengadakan pembersihan.
Melihat sikap gadis itu kepada orang-orang kampung, makin kagumlah hati Ouwyang Bun dan ia makin yakin para pemberontak memang berada di pihak yang benar dan mulia.
Tiga hari kemudian, ketika mereka sedang melarikan kuda dengan cepat menyeberangi sebuah hutan, tiba-tiba dari depan terdengar suara kaki kuda dilarikan dengan cepat dan sebentar saja tampak penunggang kuda itu dari depan. "Siong-lopeh, kau hendak ke mana?" tiba-tiba Cui Sian menegur dengan suara nyaring dan ramah.
"Twa-lihiap, aku sengaja hendak menyusul dan menyambut engkau." kata orang tua itu. Memang di antara kawan-kawannya itu, Cui Sian dipanggil twa-lihiap dan Siauw Leng dipanggil ji-lihiap, bahkan kadang-kadang Cui Sian mendapat julukan It-to-bwee.
"Apakah ada kejadian-kejadian yang penting, Siong- lopeh?" tanya gadis itu dengan sikap tenang-tenang saja.
"Perjalanan kita terhalang oleh barisan besar yang kuat. Telah dua kali terjadi pertempuran, tapi pihak musuh terlampau kuat dan jumlahnya jauh lebih besar. Ji-lihiap memerintahkan kami supaya mundur dan bersembunyi di dalam hutan-hutan dan tidak boleh menyerang sebelum kau datang. Karena kami merasa gelisah menghadapi musuh yang kuat dan banyak, kami lalu mengambil keputusan untuk menyusulmu dan aku yang mendapat tugas ini. Kebetulan sekali kita bertemu di sini, twa-li-hiap."
Suara gadis itu tetap tenang ketika ia - bertanya, "Bagaimana perbandingan jumlah tenaga dan siapa yang
memimpin pihak musuh?"
"Jumlah musuh menurut para penyelidik kita adalah lebih dari tigaratus orang sedangkan kita hanya berjumlah enampuluh. Pemimpin pihak lawan adalah seorang perwira baru yang masih muda dan memiliki kepandaian silat tinggi. Kabarnya ji-lihiap kenal padanya dan kalau tidak salah perwira itu adalah keponakan Cin-ciangkun sendiri."
"Apa?" Ouwyang Bun tak tahan lagi berseru dengan kaget. Tentu adiknyalah perwira itu. Tapi Cui Sian lebih tenang dan berkata, "Kalau begitu, mari kita menemui kawan-kawan secepatnya, lopeh," dan kepada Ouwyang Bun ia berkata,
"Koko, mari kau ikut."