Sepasang Pendekar Kembar Chapter 27

NIC

"Kau..... kau dan adikmu... dari manakah asalmu ?"

Cui Sian tidak tampak heran melihat sikap Ouwyang Bun yang aneh ini, bahkan dengan tenang sekali ia berkata,

"Aku sudah tahu apakah yang timbul dalam dugaanmu, taihiap. Memang dugaanmu itu benar. Ayahku adalah Can Lim Co yang tinggal di Tung-han." "Kau.. kau....," Ouwyang Bun tak dapat melanjutkan kata-katanya hanya menggunakan jari telunjuknya untuk menuding dada gadis itu lalu menuding dadanya sendiri.

Cui Sian mengangguk-angguk. "Ya, memang ibumu dan ibuku telah menjodohkan kita...," gadis itu lalu menundukkan muka dengan malu.

Ouwyang Bun teringat akan adiknya dan ia meloncat- loncat ke atas bagaikan menginjak pasir panas. "Kalau begitu, adikmu itu.... nona Siauw Leng dan Bu-te. "

"Ya, memang menurut orang tua kita, adikmu itupun telah dijodohkan dengan Siauw- Leng."

Tiba-tiba Ouwyang Bun tertawa gelak-gelak sambil mengangkat kepalanya ke atas. Ia merasa geli sekali ketika teringat betapa Ouwyang Bu telah mengadu kepandaian melawan tunangannya sendiri. Alangkah cocoknya jodoh itu. Adiknya yang kasar dan jujur dan Siauw Leng yang lincah dan Jenaka. Tapi, tiba-tiba ia teringat akan keadaan Ouwyang Bu dan tiba-tiba saja suara ketawanya berobah menjadi isak dan pemuda gagah itu lalu menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis.

Cui Sian yang belum mengetahui duduknya persoalan, menjadi heran sekali dan salah sangka. Terdengar kata- katanya yang diucapkan dengan tenang tapi tetap,

"Ouwyang-taihiap, tak perlu, hal ini dibingungkan dan disusahkan. Kita adalah orang-orang yang mengutamakan kejujuran dan tidak terikat oleh segala yang tak kita setujui. Kalau kita tak menyetujui tindakan orang tua kita, mudah saja. Batalkan dan habis perkara, tak perlu dibingungkan."

Mendengar ini, sekali itu juga hati Ouwyang Bun memberontak dan ingin sekali ia meloncat dan memegang tangan gadis itu dan mengakui bahwa ia setuju sekali dengan ikatan jodoh itu, tapi karena ia sedang merasa hancur hatinya teringat kepada adiknya yang mengambil jalan lain, ia tak kuasa menjawab kata-kata Cui Sian, hanya berkata lirih berkali-kali,

"Bu-te.... Bu-te. "

Ketika Ouwyang Bun mengangkat mukanya, ternyata Cui Sian telah lenyap dari situ. Ia cepat berdiri memandang ke sekitarnya, tapi keadaan di situ sunyi senyap. Sementara itu, hari telah berobah senja dan keadaan telah mulai gelap.

Tiba-tiba dari timur tampak beberapa orang berlari cepat sekali ke arahnya dan empat orang telah berada di hadapannya. Mereka ini adalah perwira-perwira Sayap Garuda dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Ouwyang Bun yang masih merasa setengah sadar karena pukulan kesedihan tadi, cepat menggunakan pedangnya melakukan perlawanan. Ternyata empat orang pahlawan keraton ini sangat hebat dan segera ia terkurung rapat. Sementara itu, musuh datang lebih banyak. Ouwyang Bun maklum bahwa ia takkan tertolong lagi, karena terlalu banyak musuh pandai mengurung dan menyerangnya, bahkan di antara mereka ini tampak Kin Keng Tojin, tokoh Go-bi-san yang bertubuh bongkok dan rambutnya yang panjang diikal ke atas. Inilah tosu yang pernah ia jumpai di medan pesta Gak Liong Ek dulu, dan ternyata pendeta inipun telah menjadi kaki tangan kaisar pula.

Karena terkurung rapat-rapat sedangkan ia hanya seorang diri, Ouwyang Bun menjadi nekat. Ia mainkan pedangnya sedemikian rupa dan ia kerahkan seluruh tenaga dan kepandaian hingga sampai dua-ratus jurus ia masih tetap dapat mempertahankan diri, biarpun tubuhnyalah merasa lemas dan lelah sekali. Ia telah menerima hantaman tiga kali, yakni sekali bacokan golok yang meleset dan melukai kulit pundaknya, sedangkan dua kali lagi pukulan toya di lengan kiri dan pinggang. Tapi berkat semangatnya yang menyala-nyala dan kenekatannya yang luar biasa, ia belum juga dapat dirobohkan.

Akhirnya kedua matanya menjadi gelap, pandangan matanya kabur dan kepalanya pening, sepasang lengannya terasa lemah tak bertenaga dan kedua kakinya terhuyung- huyung ke belakang. Ia hanya mendengar suara ketawa dan bentakan-bentakan lawannya di sekelilingnya yang tiba-tiba terhenti dan akhirnya semuanya tampak hitam karena ia telah pingsan.

0odwo0

Ketika sadar kembali, Ouwyang Bun mendapatkan dirinya terbaring di atas sebuah dipan bambu yang bertilamkan kain putih bersih dan pinggirnya berenda. Bantal yang mengganjal kepalanya terbungkus sutera merah bersulam kembang-kembang mawar indah sekali. Bantal itu mengeluarkan bau harum dan sedap menyegarkan. Ouwyang Bun merasa seakan-akan dalam mimpi. Tanpa menggerakkan kepala, kedua matanya bergerak ke sekelilingnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah kamar segi empat yang terbuat dari bilik bambu sederhana. Di sebelah kirinya terdapat lubang jendela yang tak berapa besar dan dari jendela itu masuklah angin berhembus perlahan menggerak-gerakkan sutera hijau yang tergantung di belakang jendela. Dari atas sutera hijau itu, ia hanya dapat melihat langit yang biru muda terhias awan-awan putih berkelompok-kelompok. Tiba-tiba teringatlah ia akan pertempuran hebat dan teringatlah ia betapa ia terluka karena dikeroyok oleh jagoan-jagoan keraton. Maka ia segera menggerakkan kedua lengannya. Lengan kanannya dapat digerakkan seperti biasa, tapi lengan kirinya terasa sakit sekali ketika ia gerakkan, terutama di bagian pundak. Ketika ia raba pundaknya, ternyata bahwa bagian tubuh itu telah dibalut.

Di manakah dia? Demikianlah otaknya mulai berpikir dan ia bangkit dengan perlahan lalu duduk di atas dipan itu. Pada saat itu, daun pintu di sebelah kanannya terbuka perlahan dan seorang gadis masuk dengan langkah kaki perlahan dan halus. Gadis itu membawa sebuah nampan berisi cawan kosong dan poci air teh, dan sebuah mangkuk berisi obat. Ketika pandang mata mereka bertemu, hampir saja Ouwyang Bun berseru karena herannya. Ia merasa seakan-akan berhadapan dengan seorang bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Demikian cantik, demikian manis dengan pakaiannya yang sederhana. Senyumnya menghias mulut yang indah bentuknya itu, sepasang matanya berseri-seri dan bercahaya bagaikan bintang pagi, dan begitu lemah gemulai. Ouwyang Bun hampir tak percaya kepada mata sendiri, tapi tak terasa pula bibirnya bergerak memanggil,

"Cui Sian "

Gadis yang sedang berdiri dan memandang padanya itu tiba-tiba menundukkan mukanya yang berobah menjadi kemerah-merahan dan tangan berkulit putih halus itu menggigil hingga cawan kosong di atas nampan berbunyi berkerotekan. Benarkah ini Cui Sian, gadis yang biasanya berpakaian laki-laki, gadis yang gagah perkasa, yang telah mendapat kekuasaan memimpin barisan pemberontak, yang biasa menghadapi musuh banyak dengan tenang dan sepasang pedang di tangan. Benarkah tangan yang biasanya pandai mengayun dan mempermainkan pedang itu kini gemetar menggigil untuk membawa sebuah nampan kosong saja?

Ternyata bahwa dara ini memang benar Cui Sian adanya.

"Ouwyang-taihiap, kau sudah sadar?" tanyanya. Aneh sekali pendengaran telinga Ouwyang Bun, suara gadis inipun berobah, merdu halus dan bagaikan kicau murai di waktu pagi.

"Cui Sian..... moi-moi, masih perlukah kau panggil aku dengan segala taihiap-taihiapan?" Ouwyang Bun berkata perlahan.

Muka gadis itu makin merah dan ia mengerling kepada pemuda itu dengan sudut matanya.

"Baiklah, Bun-ko," jawabnya perlahan hampir tak terdengar, kemudian setelah menghela napas untuk menenteramkan hatinya yang berdebar-debar tadi, ia berkata lagi, kini dengan suara biasa, "Bun-ko, minumlah dulu obat ini."

Semenjak kecil Ouwyang Bun memang paling benci minum obat-obat yang tak sedap rasanya, apalagi kalau yang pahit. Mendengar bahwa ia harus minum obat semangkuk penuh itu, ia kenyitkan hidungnya dan belum apa-apa ia telah merasa mau muntah.

"Haruskah kuminum obat itu, moi-moi?" tanyanya.

Melihat wajah pemuda itu, Cui Sian tertawa geli. "Tentu saja harus kau minum, apa kaukira aku bersusah payah masak obat ini hanya untuk main-main saja?" "Eh, kau memasak obat untukku, adikku yang baik? Dan kau.... kau rawat aku dengan baik pula, ah.... sungguh kau baik sekali, moi-moi "

"Hush..... sudahlah, minum dulu obat ini dan jangan membantah." setelah gadis itu meletakkan nampan di atas meja kecil, lalu mengambil mangkuk obat itu dan menghampiri Ouwyang Bun. Dari pakaian gadis itu keluar bau harum'yang sama dengan bau harum bantalnya, maka Ouwyang Bun memejamkan mata sebentar dan menarik napas dalam, lalu dengan menurut sekali ia terima mangkuk itu, menutup matanya rapat-rapat lalu sekali tuang habislah obat semangkuk itu.

"Nah, begitu baru baik," gadis itu memuji dan cepat mengambil mangkuk kosong itu menuangkan teh di dalam cawan kecil yang kemudian disodorkan kepada pemuda itu, "dan ini obat penawar pahit," katanya sambil tersenyum dan memandang penuh mesra. Ouwyang Bun juga tak membantah dan meminum habis teh itu.

"Sekarang, kau ceritakan semuanya kepadaku, moi-moi," ia lalu menuntut, tapi cepat disambungnya, "eh, jangan kau berdiri saja, duduklah....." Pemuda itu merasa bingung karena ia merasa tidak sepantasnya kalau mereka duduk berdua di atas pembaringan, sedangkan di situ tidak ada bangku atau kursi. Maka ia lalu cepat turun dari pembaringan. Pinggangnya terasa agak sakit, tapi ditahannya, lalu ia berdiri dan berkata lagi,

"Nah, kau duduklah di situ biar aku berdiri saja."

Cui Sian tersenyum geli. "Kau berbaring saja, Bun-ko. Lukamu belum sembuh benar, tidak boleh turun dari pembaringan. Biar aku duduk di pinggir pembaringan."

Karena memang pinggangnya terasa sakit dan kepalanya masih pusing, Ouwyang Bun lalu merebahkan diri lagi, dan tanpa malu-malu lagi Sui Cian duduk di pinggir pembaringan.

"Moi-moi... bukannya aku tak suka, tapi.... tapi kalau terlihat orang lain... bolehkah kau duduk di pinggir pembaringanku?" sambil berkata demikian pemuda itu menjauhkah diri sedapat mungkin dan mukanya menjadi merah sekali.

Cui Sian menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutup mulutnya dan menahan geli hatinya.

"Koko, sungguh kau... menggemaskan. Tiga hari aku terus-menerus menjagamu di sini dan sekarang kau hendak melarang aku duduk di sini?" "Apa? Tiga liari kau menjagaku di sini? Seorang diri?

Dan di mana kawan-kawan yang lain?"

"Sabar, koko. Ketahuilah, ketika kau dengan mati- matian dan gagah berani menghadapi keroyokan beberapa perwira Sayap Garuda dan berada dalam keadaan yang berbahaya sekali, kebetulan aku dan kawan-kawan datang. Untung pada waktu itu suhuku juga ada di antara kami hingga beliaulah yang menolongmu dari bahaya maut. Kalau tidak ada suhu, kiraku sukar menolongmu, karena pengeroyok-pengeroyokmu adalah jago-jago keraton yang berkepandaian tinggi."

"Aduh, kalau begitu aku berhutang budi kepada suhumu."

"Stt, siapa bicara perkara budi? Dengarlah baik-baik ceritaku," gadis itu menyela. "Setelah kami berhasil memukul mun dur mereka semua, kami lalu membawamu ke sini yang terpisah hampir limapuluh li dari tempat kau bertempur. Suhu lalu memeriksamu dan ternyata kau mendapat beberapa luka yang berat juga. Kata suhu, kau akan pingsan sampai dua atau tiga hari karena selain mendapat luka dan terlampau lelah, kau juga menderita tekanan hatin hebat hingga jantungmu terganggu."

"Aah, suhumu sungguh pandai luar biasa seperti seorang dewa," kata Ouwyang Bun dengan kagum.

"Suhu lalu memberi obat dan beliau segera pergi karena mempunyai tugas penting di kota raja, sedangkan semua kawan-kawan juga harus segera menggabungkan diri dengan kawan-kawan lain untuk bersiap sedia menanti perintah penyerbuan besar-besaran ke kota raja. Karena kau harus dirawat baik-baik seperti perintah suhu, maka aku lalu memberikan tugasku kepada Siauw Leng dan aku sendiri tinggal merawatmu." "Ah, moi-moi, adikku yang manis," Ouwyang Bun berbisik terharu sambil memegang tangan gadis itu dan tanpa disadarinya ia mencium tangan yang halus dan hangat itu.

Posting Komentar