Maka tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Bun menggerakkan pedangnya mengirim serangan kilat, tapi perwira itu menangkis dengan golok besarnya. Tangkisan itu saja cukup memperingatkan kepada Ouwyang Bun supaya berlaku hati-hati, karena ternyata perwira itu bertenaga kuat dan gerakan goloknyapun gesit. Mereka berdua bertempur dengan seru, dan tak lama kemudian kembali Ouwyang Bun kena terkurung, kini lebih rapat dan hebat daripada tadi karena gerakan golok perwira itu betul- betul hebat. Diam-diam Ouwyang Bun mengeluh karena kini keadaannya berbahaya sekali. Jangan kata hendak menolong puluhan tawanan itu, sedangkan untuk menolong diri sendiripun ia harus mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dan inipun masih belum tentu berhasil. Ia lalu berseru nyaring dan mengeluarkan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti) yang dilakukan dengan cepat dan hebat sekali. Melihat permainan pedang ini, terkejutlah perwira ini, yang meloncat mundur sambil berseru,
"Tahan. Dari mana kau peroleh Sin-eng Kiam-hoat ini?
Apa hubunganmu dengan Cin-ciangkun?" Ouwyang Bun memandang tajam dan ia tertawa menyindir ketika menjawab, "Cin-ciangkun adalah susiokku. Kau mau apa?"
Perwira itu makin terkejut. "Kalau begitu, mengapa kau memusuhi kami? Kenapa kau bertempur dengan anak buah Cin-ciangkun sendiri?" tanyanya heran.
"Kami berselisih paham,"-jawab Ouwyang Bun dengan suara dingin, "kalau kalian bertempur melawan pemberontak, Itu bukan urusanku, tapi kalau kalian menangkapi orang-orang kampung yang tidak berdaya, aku tak dapat membiarkannya."
"Habis, apa kehendakmu?" perwira Sayap Garuda itu bertanya.
"Lepaskan mereka ini."
"Aah, tak mungkin. Sungguh-sungguh a-neh permintaanmu ini, apalagi kalau diingat bahwa kau adalah murid keponakan Cin-ciangkun sendiri. Seharusnya kau tahu akan peraturan ini."
"Betapapun juga, kalian harus melepaskan orang-orang kampung yang tidak berdosa dan tidak berdaya itu." Ouwyang Bun berkata sengit dan menggerak-gerakkan pedangnya dengan sikap menantang.
"Kalau begitu, kau termasuk pengkhianat yang harus dibinasakan." perwira itu berseru marah dan kembali mereka bertarung sengit, dan kali ini perwira yang seorang lagi dan yang bersenjata sebatang tombak ikut menyerbu. Maka repot juga Ouwyang Bun menahan serangan mereka yang ternyata berkepandaian tinggi hingga ia terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri.
Dalam saat ia berada dalam keadaan terdesak itu, tiba- tiba para pengepungnya menjadi panik dan kepungannya mengend ur. Ketika Ouwyang Bun meloncat keluar dari kepungan yang sudah menipis itu, ia melihat keadaan yang mendebarkan jantungnya. Ia melihat Kilok Ngo-koai atau Lima Setan Dari Kilok yang malam tadi bertempur dengannya, telah datang menyerang pihak tentara dengan pedang mereka, sedangkan selain kelima setan dari Kilok ini, tampak juga..... Cui Sian, nona yang dirindukannya itu, juga Siauw Leng gadis lincah yang pernah menguji kepandaian dengan Ouwyang Bu dulu, serta tidak ketinggalan Lui Kok Pauw, penyelidik kaum pemberontak yang telah dikenalnya dulu. Dan kini terjadilah pertempuran hebat antara -kurang lebih empatbelas orang pemberontak yang berkepandaian tinggi dengan puluhan tentara negeri yang mengeroyok mereka.
Ouwyang Bun berada dalam keadaan serba salah Apakah ia harus membantu tentara? Ah, hal itu tak mungkin ia lakukan, karena berlawanan dengan keyakinannya. Pula, pemberontak-pemberontak itu menyerbu tentu untuk menolong orang-orang kampung yang menjadi tawanan itu, jadi berarti cocok dengan maksud hatinya sendiri. Kalau begitu, apakah ia harus membantu pihak pemberontak? Ini juga tak mungkin ia lakukan, karena ia masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengkhianati paman gurunya sendiri.
Karena merasa bingung, Ouwyang Bun lalu teringat akan para tawanan itu. Ah, kewajibannya hanyalah membebaskan para tawanan itu. Cepat ia lari ke tempat di mana para tawanan itu berada. Tapi ia dicegat oleh lima orang anggauta tentara yang menjaga para tawanan itu. Terpaksa Ouwyang Bun lalu menggunakan pedangnya untuk memutuskan semua tali belenggu yang mengikat tangan para tawanan itu. Dan aneh, begitu terlepas dari belenggu, sebagian besar para tawanan laki-laki, yakni yang tadi mengangkat tegak kepala mereka, lalu ikut menyerbu dan melawan tentara setelah memungut senjata-senjata para korban yang terlempar ke atas tanah. Mereka ikut mengamuk seakan-akan hendak membalas sakit hati kepada para anggauta tentara yang tadi telah menghina dan menyakiti mereka.
Setelah melepaskan belenggu semua tawanan, Ouwyang Bun lalu berdiri menganggur dan hanya menjaga para bekas tawanan yang tidak ikut bertempur.
Ternyata amukan para pemberontak dan para bekas tawanan itu membuat anggauta-anggauta tentara itu kewalahan dan tak lama kemudian mereka terdesak mundur. Terutama pedang di tangan Cui Sian yang sangat hebat itu membuat kedua perwira Sayap Garuda merasa bahwa pihak mereka takkan menang, maka segera mereka memberi isyarat mundur.
Setelah semua anggauta tentara lari, Cui Sian memberi perintah kepada Kilok Ngo-koai yang ternyata juga pemimpin-pemimpin pemberontak, untuk membawa orang- orang kampung itu lekas pergi bersembunyi, karena tak lama lagi tentu akan datang bala bantuan tentara yang lebih besar jumlahnya Untuk mengadakan "pembersihan"
Kemudian, Cui Sian dan Siauw Leng menghampiri Ouwyang Bun dan menjura,
"Ouwyang-taihiap, pertemuan kali ini sungguh-sungguh membuat kami merasa girang sekali," kata Cui Sian sambil memperlihatkan senyumnya yang mempercepat jalan darah dalam tubuh Ouwyang Bun.
Mendengar kata-kata ini, bukan main girang hati pemuda itu, hanya ia merasa kecewa mengapa gadis ini menyatakan bahwa yang bergirang bukan gadis itu seorang diri tapi menggunakan sebutan "kami", maka ia segera menjawab,
"Bolehkah aku bertanya. Dari mana li-hiap ketahui she- ku yang tak ternama, dan mengapa pula lihiap merasa girang dengan pertemuan kali ini?" Ia sengaja bertanya mengapa mereka merasa girang. Cui Sian adalah seorang gadis yang cerdas otaknya, maka mendengar kata-kata ini saja sudah cukup untuk membuat wajahnya yang jelita itu menjadi merah karena merasa malu.
"Kami tahu bahwa taihiap bernama Ouw yang Bun dan murid dari Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang dari Hc-ng-san. Jangan taihiap menjadi kaget karena nama suhumu sudah cukup terkenal dan kami ketahui semua itu dari suhu kami. Adapun tentang kegirangan kami karena pertemuan kali ini ialah karena kau telah membantu kami menghadapi gerombolan kaki tangan kaisar itu."
"Ouwyang-taihiap sungguh gagah perkasa, dengan seorang diri saja berani menghadapi puluhan tentara kaisar, sungguh-sungguh satu perbuatan gagah berani yang pantas dikagumi." Siauw Leng ikut memuji dengan suara yang nyaring dan kerling mata yang tajam.
"Eh, dengarlah, ji-wi. Jangan menganggap bahwa aku telah membantu kalian. Aku bertempur dengan mereka adalah karena persoalanku sendiri. Aku adalah tetap murid keponakan dari Cin-ciangkun dan tentang pemberontakan yang kalian dan kawan-kawanmu lakukan, tiada sangkut- pautnya dengan diriku. Juga aku takkan membela mereka yang mencoba menumpas pemberontakan."
Cui Sian kembali tersenyum manis. "Ucapanmu inipun tidak aneh bagi kami, taihiap. Kami telah tahu benar persoalanmu. Aku tahu juga bahwa kau telah meninggalkan adikmu dan sumoimu." Hampir saja pemuda itu meloncat kaget. "Apa? Dari mana kauketahui semua itu?"
"Ouwyang-taihiap, kau dan adikmu adalah orang-orang hebat yang kalau menjadi lawan akan merupakan musuh yang kuat. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk menyelidiki keadaanmu dan hal ini mudah saja karena di setiap kota, di setiap rumah penginapan, di setiap rumah makan, pasti ada rakyat yang membela dan membantu kami."
Ouwyang Bun memandang kagum dan heran kepada nona yang luar biasa cerdiknya itu, lalu ia menggelengkan kepala. "Kalau melihat keadaan ini, hampir aku menyangka bahwa kau juga telah mengetahui segala isi hati dan jalan pikiranku, lihiap."
Cui Sian tersenyum lagi dan suaranya menjadi perlahan sekali ketika ia berkata,
"Mungkin aku dapat menduga isi hati dan jalan pikiranmu itu, taihiap."
"Benarkah? Coba kaukatakan." Ouwyang Bun merasa gembira sekali, di samping heran dan ragu.
"Di dalam hatimu kau bersimpati kepada gerakan kami dan pikiranmu juga membenarkan tindakan para patriot yang hendak membebaskan rakyat dari kekuasaan raja lalim, tapi karena susiokmu kebetulan menjadi panglima perang raja yang justeru berkewajiban membasmi kami, maka liangsim-mu (hati nurani) tidak meng-ijinkan kau untuk mengkhianati paman gurumu itu. Bukankah demikian?"
Sekarang benar-benar Ouwyang Bun merasa heran. Ia pandang wajah yang cantik berseri-seri itu dengan mata tak berkedip dan mulut ternganga. "Nona.....," katanya setengah tak sadar. "kau ini....
manusia atau. dewi kahyangan yang sakti?"
Terdengar suara tertawa cekikikan dari Siauw Leng hingga sadarlah Ouwyang Bun akan kata-katanya yang lucu dan bodoh itu, maka buru-buru ia menjura dengan wajah merah.
"Lihiap, kau sungguh luar biasa. Sukakah kau menerangkan dari mana pula kauketahui semua itu? Apakah juga dari suhumu yang sakti?"
Kini Cui Sian menggeleng-gelengkan kepala. "Bukan dari siapa-siapa. Apakah sukarnya mengetahui atau menerka hal itu? Setiap orang yang berjiwa patriot akan berpendirian seperti itu. Setiap laki-laki yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, yang bijaksana, yang berpemandangan luas, akan berpendirian seperti itu. Dapat melihat kebenaran dalam perjuangan para patriot bangsa, tapi juga tidak lupa akart kebaktian terhadap guru."
Kembali terdengar Siauw Leng tertawa cekikikan, kini bahkan dengan menepuk-nepuk bahu Cui Sian.
"Eh, eh, kau kenapa?" tanya Cui Sian sambil memandang gadis lincah itu.
"Ah, ciciku yang baik, betapa kau telah memuji-muji Ouwyang-taihiap. Bagus, bagus, ya??"
Maka sebentar saja otak yang tajam dari Cui Sian dapat menangkap maksud adiknya dan seluruh mukanya berobah merah. Benar saja, tanpa disadarinya ia telah mengatakan bahwa pemuda itu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berbudi mulia, bijaksana dan berpemandangan luas. Sementara itu, Ouwyang Bun tersenyum saja dengan hati berdebar girang dan hidungnya berkembang menahan geli hatinya mendengar dan melihat betapa Siauw Leng yang nakal telah menggoda Cui Sian.
Cui Sian merasa malu sekali dan untuk menghilangkan rasa malunya ia cubit lengan adiknya, yang segera lari sambil tertawa. Ouwyang Bun dan Cui Sian yang ditinggal berdua saja hanya berdiri saling berhadapan tanpa mengeluarkan ucapan apa-apa, bahkan mereka tak berani saling memandang, hanya tunduk dan hanya kadang- kadang mencuri pandangan dengan kerling tajam.
Akhirnya Ouwyang Bun memecahkan kesunyian dan kebingungan mereka dengan berkata, "Lihiap, kau telah mengetahui she dan namaku, tapi bolehkah aku ketahui she-mu dan apa pula hubungan nona Siauw Leng dengan kau?"
Cui Sian mengangkat muka dan memandang wajah Ouwyang Bun dengan tenang ketika ia menjawab,
“Aku she Can bernama Cui Sian, dan Siauw Leng adalah adikku sendiri bernama Can Siauw Leng."
Tiba-tiba Ouwyang Bun menjadi pucat dan ia merasa kepalanya pening ketika teringat akan sesuatu. Hampir saja ia tak dapat mengendalikan diri lagi dan hendak memegang lengan gadis itu yang segera mundur.