Halo!

Sepasang Pendekar Kembar Chapter 25

Memuat...

"Aku pernah mendengar tentang Cin-ciangkun yang kau sebut tadi. Apakah dia sendiri yang melakukan penangkapan?" Ouwyang Bun tahu bahwa paman gurunya itu tak mungkin di sini, maka ia sengaja bertanya demikian untuk memancing dan mengetahui apakah orang she Tan ini membohong atau tidak.

"Ha, kau tampaknya takut-takut, kongcu. Jangan takut pemberontak, selama masih ada barisan-barisan Cin- ciangkun, mereka tidak akan mampu bergerak. Tentu saja bukan Cin-ciangkun sendiri yang memimpin, tapi barisan Cin-ciangkun telah tersebar di mana-mana."

"Mereka apakan anggauta-anggauta pemberontak yang tertawan itu?" Ouwyang Bun bertanya.

"Ha-ha, diapakan? Tentu saja digiring ke kota raja untuk menanti hukuman gantung. Digiring seperti babi-babi dibawa ke pejagalan." orang she Tan itu tertawa girang sekali.

Ouwyang Bun memandang tajam. "Kau agaknya membenci sekali kepada pemberontak, mengapakah?"

Orang she Tan itu memperlihatkan luka yang telah mengering di lehernya sebelah belakang. "Kau lihat ini, kongcu? Nah, inilah yang mereka lakukan padaku. Hampir saja aku mereka bunuh."

"Mengapa?"

"Mengapa? Entah, karena..... karena aku pedagang kuda."

"Tak mungkin orang akan membunuh tanpa alasan," "Alasannya hanya karena aku didakwa membeli kuda curian."

Tiba-tiba Ouwyang Bun teringat bahwa di daerah itu memang sering terjadi pencurian kuda, maka diam-diam ia lirik kuda yang baru saja dibelinya. Jangan-jangan inipun kuda curian. Para pemberontak itu tentu mempunyai alasan kuat hingga menuduh orang ini pencuri kuda.

"Barangkali kau memang tukang membeli kuda curian," katanya sambil naiki kuda itu dan pergi, meninggalkan si pedagang kuda yang memandangnya dengan heran.

Ouwyang Bun melarikan kudanya menuju ke timur karena ia hendak melihat sendiri keadaan para pemberontak yang tertawan itu. Siapakah yang menawan mereka? Apakah barangkali ia mengenal pemimpin barisan Cin- ciangkun ini?

Ketika ia tiba di luar kota, tiba-tiba ia melihat debu mengepul dari timur tanda bahwa di atas jalan yang berdebu itu sedang berjalan banyak kuda dan rombongan orang. Ia segera menghampiri, dan benar saja, seregu tentara terdiri dari kira-kira tigapuluh orang sedang menyeret-nyeret dan menggiring tawanan kurang lebih tigapuluh orang. Tawanan itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian sebagai petani miskin, bahkan di antara mereka terdapat pula beberapa orang wanita. Tawanan-tawanan itu memperlihatkan sikap macam-macam, ada yang berjalan tunduk dan bersedih, ada yang mengangkat dada dan kepala dengan gagah, ada pula yang menangis sepanjang jalan. Kedua tangan mereka semuanya terbelenggu.

Ouwyang Bun mencari-cari dengan pandangan matanya dan melihat bahwa tiga orang perwira yang berkuda dan memimpin barisan itu tak dikenalnya. Sebaliknya tiga orang perwira itu memandang kepada Ouwyang Bun dengan pandangan curiga dan mereka berbisik-bisik.

Melihat keadaan para tawanan itu Ouwyang Bun merasa kasihan dan sedih. Ia maklum bahwa tak mungkin anggauta-ang-gauta pemberontak selemah itu, membiarkan dirinya begitu saja ditawan sedangkan jumlah mereka lebih besar. Mungkin mereka adalah orang-orang kampung yang kena fitnah oleh hartawan-hartawan yang menghendaki tanah mereka. Memikir demikian, timbullah marahnya. Ia majukan kudanya dan menghadang di depan barisan itu. Tiga orang perwira itu segera mencabut pedang masing- masing.

Ouwyang Bun sengaja mengangkat tangan kanannya memberi tanda berhenti kepada barisan itu. Ia menghadapi tiga orang perwira tadi dan menegur,

"Sam-wi ciangkun, orang-orang kampung ini hendak kalian bawa ke mana?"

"Orang tidak tahu diri." seorang di antara ketiga perwira itu menegur. "Siapa kau maka berani-berani mencegat kami? Apakah kau sudah bosan hidup?"

Ouwyang Bun tersenyum. "Hm, kalau Cin-ciangkun melihat lagakmu yang sombong ini, tentu akan turun pangkat." sindirnya.

Melihat sikap pemuda itu, perwira yang tertua berlaku hati-hati, dan bertanya sambil mengangkat kedua tangan,

"Siapa dan dari mana enghiong yang telah kenal dengan Cin-ciangkun kami, dan ada keperluan apa maka mencegat barisan kami?"

Ouwyang Bun balas memberi hormat dari atas kudanya. "Siauwte Ouwyang Bun dan tentu saja kenal dengan Cin- ciangkun karena beliau adalah susiok dan siauwte pernah menjadi pembantunya."

Terkejutlah ketiga perwira itu dan buru-buru perwira yang tadi berlaku kasar segera memberi hormat, biarpun ia masih meragukan kebenaran kata-kata anak muda ini.

"Maaf kalau kami tidak mengenal kepada taihiap. Orang- orang ini adalah tawanan kami, mereka adalah anggauta- anggauta pemberontak dan kini sedang kami giring ke markas besar Cin-ciangkun."

"Kalian salah tangkap, kawan-kawan. Mereka itu bukanlah pemberontak. Kurasa kalian takkan semudah ini menangkap mereka kalau mereka benar-benar pemberontak. Orang-orang kampung ini hanya menjadi korban fitnahan belaka. Lepaskan mereka."

Ketiga perwira itu terkejut. "Taihiap mengapa berkata begitu? Bukanlah hak kami untuk memutuskan apakah mereka itu pemberontak atau bukan. Kewajiban kami hanya menangkap orang-orang yang dicurigai dan membawanya ke markas besar. Dan selain Cin-ciangkun sendiri atau atasan lain, tidak ada orang yang berhak melepaskan orang-orang tawanan kami ini."

""Begitukah? Tapi aku tetap minta kalian melepaskan mereka."

Marahlah perwira termuda yang tadi mengeluarkan kata- kata kasar.

"Ji-wi twako, kukira orang ini mengaku-aku saja menjadi keponakan Cin-ciangkun. Jangan-jangan ia ini juga anggauta pemberontak."

Ouwyang Bun tertawa bergelak-gelak. "Baik, kau percaya atau tidak, aku tetap hendak membela orang-orang kampung ini yang menderita karena kekejaman kalian." "Bagus, kawan-kawan, tangkap orang ini." teriak ketiga perwira itu dan anak buah mereka lalu mengurung dengan senjata di tangan.

Ouwyang Bun tertawa keras dan sambil mengangkat kepala ia berkata,

"Cin-susiok, maafkan kalau teecu terpaksa menghajar anak buahmu yang kurang ajar ini." tiba-tiba saja tubuhnya lepas dari punggung kuda dan menyambar ke sana ke mari di antara keroyokan para tentara itu. Dan di mana saja ia sampai, tentu terdengar pekik kesakitan dan seorang pengeroyok roboh. Sebentar saja beberapa orang anak buah rombongan itu jatuh terguling terpukul atau tertendang hingga keadaan menjadi kacau. Tapi kepungan makin tebal, bahkan ketiga perwira itupun mulai mengambil bagian. Ternyata kepandaian mereka cukup baik.

Menghadapi serangan dan kepungan yang dilakukan oleh lebih dari duapuluh orang bersenjata tajam itu, Ouwyang Bun terpaksa menggunakan pedangnya untuk melawan. Ia tidak berlaku setengah-setengah lagi dan memainkan pedangnya dengan hebat hingga banyaklah korban luka oleh u-jung pedangnya.

Tiba-tiba dari jurusan timur datang barisan yang lebih besar lagi, dan barisan i-ni dipimpin oleh dua orang perwira yang telah lanjut usianya. Barisan ini adalah barisan pengawal istimewa dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang perwira yang berkepandaian tinggi karena ini adalah anggauta Pengawal Sayap Garuda, terlihat dari topi mereka yang berbentuk sayap burung garuda.

Melihat kedatangan barisan baru itu, terkejutlah Ouwyang Bun, karena hanya seorang diri saja tak mungkin ia melawan orang sebanyak itu. Ia lalu memutar pedangnya lebih cepat dan melukai beberapa orang lagi, lalu ia cepat meloncat keluar dari kalangan pertempuran. Ia bingung bagaimana harus menolong tawanan-tawanan sebanyak itu, sedangkan untuk melawan para anggauta barisan itu saja sudah payah baginya. Tiba-tiba dari barisan yang baru datang itu berkilat bayangan hijau dan seorang perwira Sayap Garuda melintangkan golok besarnya dan membentak,

"Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?" suara orang itu parau dan biarpun tubuhnya tinggi besar, tapi gerakannya ketika meloncat menghadang Ouwyang Bun tadi sangat gesit hingga Ouwyang Bun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang "berisi".

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment