"Sumoi, jangan bersedih. Bun-ko tersesat, biarlah karena aku yakin ia akan kembali ke jalan benar. Aku tahu bahwa sebenarnya Bun-ko adalah seorang perwira yang berhati mulia. Memang harus disesalkan bahwa ia meninggalkan kita, tapi bukankah masih ada aku di sampingmu? Percayalah, sumoi, selama aku masih ada di dunia ini aku pasti akan membelamu samr pai napasku terakhir. Aku akan membantu perjuangan ayahmu dengan setia."
Kemudian, dengan kata-kata keras mereka menegur dan menasihati Lai-wangwe supaya tidak berlaku sewenang- wenang mengandalkan kekayaannya dan memeras rakyat kampung yang miskin.
Setelah itu, keduanya melanjutkan perjalanan, kini langsung menuju ke kota raja.
0o-dw-o0 Ouwyang Bun meninggalkan adik dan sumoinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya pada dasar hatinya ia merasa bahagia dan girang sekali karena tindakannya itu membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terlepas dari kurungan, seakan-akan kini ia terbang ke angkasa dengan bebas lepas dan dengan tujuan yang lebih luas. Ia merasa seakan-akan terlepas dari sebuah tugas yang sangat menyiksa hatinya, tugas pekerjaan yang dipaksakan padanya dan yang berlawanan dengan kehendak hatinya. Ia kini boleh pergi ke mana saja yang ia sukai, boleh berbuat menurutkan suara hatin.
Tapi bila ia teringat akan adiknya, ia merasa sedih sekali. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu beradat keras dan tidak mudah dirobah pikirannya. Juga ia maklum betapa adiknya itu sangat mencintai Lie Eng hingga andaikata adiknya akan sadar juga bahwa pihak pemberontak tak seharusnya dimusuhi, masih akan sukar juga bagi Ouwyang Bu untuk meninggalkan Lie Eng, apalagi untuk menjadi lawan atau musuh gadis itu.
Dalam perjalanannya seorang diri kali ini, Ouwyang Bun mencurahkan perhatiannya kepada keadaan orang-orang kampung umumnya. Dan apa yang ia saksikan mempertebal keyakinannya bahwa memang raja yang memegang tampuk pemerintahan saat itu perlu diganti. Hampir di tiap kota atau kampung, tak pernah ia melihat seorang pembesar yang benar-benar patut disebut pemimpin rakyat. Para pembesar itu menjalankan pemerasan, penggelapan, kecurangan-kecurangan yang kesemuanya dibebankan kepada rakyat jelata. Hanya orang-orang kaya saja yang hidup senang bahkan berlebih-lebihan, karena dengan mengandalkan pengaruh uang sogokan kepada para pejabat pemerintah, mereka ini hidup terlindung. Jelas tampak di mana-mana bahwa pada hakekat-nya yang berkuasa ada lah harta kekayaan. Seorang yang ada uang tak usah takut sesuatu. Ingin mengawini belasan atau puluhan , gadis cantik? Ingin menang dalam perkara biarpun berada di pihak salah? Ingin naik pangkat secara mudah? Ingin menjadi raja kecil yang mempunyai kekuasaan sendiri, mempunyai "posisi" sendiri? Mudah, asal orang mempunyai banyak emas dan perak.
Melihat keadaan ini semua, diam-diam Ouwyang Bun merasa heran sekali mengapa suhunya dapat berdiri di pihak raja dan tidak suka kepada perjuangan para patriot bangsa yang dicap "pemberontak" itu. Ia kini dapat menangkap arti. dari kata-kata Ciu Pek In, orang tua perwira yang aneh itu. Baru terbuka matanya dan diam- diam ia mengagumi orang tua yang dianggap seorang locianpwe yang berpemandangan luas sekali. Ia merasa kagum betapa dalam keadaan bertentangan dan bermusuhan, Ciu Pek In masih memuji-muji sikap Cin Cun Ong. Ternyata bahwa orang tua she Ciu, guru dari nona Cui Sian yang. cantik dan perwira itu, telah dapat menundukkan perasaan perseorangan hingga pertimbangannya adil dan tepat, sama sekali bebas dari rasa sentimen. Rasa kagumnya membuat ia ingin sekali dapat bertemu lagi dengan orang tua itu. Dan diam-diam iapun merasa rindu kepada Cui Sian, gadis yang tampaknya pendiam tapi yang kalau sudah berkata-kata ternyata menyatakan pikirannya yang luas dan cerdik.
Beberapa hari kemudian, ia tiba di sebuah kota, yakni kota Lee-sarr yang cukup ramai. Toko-toko dan rumah- rumah makan berderet-deret di sepanjang jalan hingga menambah kemegahan kota itu. Ia memilih sebuah kamar di penginapan yang berada di jalan sebelah barat. Sebetulnya hari masih belum gelap benar dan iapun belum lelah, tapi melihat bahwa udara gelap dan agaknya akan turun hujan, ia tunda perjalanannya dan bermaksud menginap semalam di kota ini.
Ketika membuka bungkusan pakaian, baru ia ingat bahwa bekal uangnya telah habis sama sekali. Ouwyang Bun lalu mengambil keputusan untuk meniru pekerjaan suhunya ketika masih muda dulu, yakni menjadi maling. Gurunya, Si Iblis Tua Tangan Delapan, pernah berkata bahwa mengambil sedikit harta seorang kaya untuk sekedar bekal perjalanan, bukanlah hal yang patut dibuat malu bagi seorang kang-ouw, asal saja uang yang diambil itu bukan digunakan untuk hidup royal dan bersenang-senang. Apalagi kalau telah diketahui bahwa hartawan yang dimalingi itu adalah seorang yang bertabiat kikir dan yang menjadi kaya karena menghisap tenaga rakyat kecil.
Dengan hati tetap, ketika malam telah gelap benar, Ouwyang Bun keluar dari kamarnya melalui jendela dan langsung naik ke atas genteng. Keadaan benar-benar gelap karena udara diliputi mendung hitam hingga langit tak berbintang sama sekali. Biarpun matanya telah terlatih untuk dapat menangkap bayang-bayang benda di tempat gelap, namun untuk berloncat-loncatan di atas genteng pada saat segelap itu, bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, ia sangat berhati-hati dan tidak berani lari terlalu kencang.
Ketika ia telah berada jauh dari penginapannya, tiba-tiba ia melihat lima bayangan hitam bergerak turun dari atas wuwungan rumah. Ia cepat meloncat ke arah tempat itu dan memandang ke bawah. Dengan bantuan sinar lampu yang menyorot keluar dari lubang rumah, ia melihat lima orang tua berpakaian sebagai petani sedang berjalan di atas tanah dengan langkah cepat sekali. Ia lalu meloncat turun mengejar pula, karena ia merasa curiga dan tertarik sekali hatinya hendak melihat siapakah mereka itu dan apa yang hendak mereka lakukan pada waktu segelap ini.
Ternyata lima orang itu menuju ke gedung besar yang dapat diduga rumah tinggal seorang pembesar. Memang, yang tinggal di situ adalah seorang tihu kota itu. Seperti biasanya rumah pembesar, keadaan di luar dan sekitar gedung terang sekali, karena di seluruh sudut dipasang teng.
Ouwyang Bun makin tertarik karena kelima orang itu ternyata bersikap sangat mencurigakan. Mereka menghampiri gedung itu dari belakang dan berkumpul di suatu sudut sambil berbisik-bisik seakan-akan merundingkan sesuatu. Dan pada saat itu teringatlah Ouwyang Bun bahwa ia pernah bertemu dengan lima orang tua berpakaian petani yang seragam ini. Ia mengingat-ingat dan akhirnya ia tahu bahwa kelima orang itu adalah Kilok Ngo-koai atau Lima Setan Dari Kilok, yang dulu juga datang menghadiri pesta perjamuan di rumah Gak Liong Ek di Liok-hui.
Hatinya menjadi girang dan tiba-tiba Ouwyang Bun muncul dari tempat pengintaiannya dan menegur,
"Eh, ngo-wi (tuan berlima) bukankah kelima enghiong (orang gagah) dari Kilok?"
Bukan main terkejutnya kelima orang itu. Mereka segera memutar tubuh dan ketika melihat bahwa yang datang adalah Ouwyang Bun segera berkata perlahan, "Ouwyang- hengte."
Serentak mereka berlima mencabut pedang dan menyerang dengan gerakan hebat. Ouwyang Bun terkejut sekali dan mengelak sambil meloncat jauh.
"Eh, tahan dulu. Kenapa ngo-wi menyerang aku?" tanyanya. Tapi, tanpa menjawab, kelima orang tua itu maju lagi menyerang makin hebat hingga terpaksa Ouwyang Bun mencabut pedangnya untuk mempertahankan dan menjaga diri, karena ilmu pedang kelima kakek itu tak boleh dipandang remeh.
"Ngo-wi, mengapa kalian memusuhiku?" lagi-lagi ia bertanya, tapi Kilok Ngo-koai itu sama sekali tidak mau menjawab, hanya menyerang makin keras dan nekat hingga sekarang Ouwyang Bun juga merasa marah dan gemas. Ia putar pedangnya sedemikian rupa hingga dapat mengimbangi serangan kelima orang lawannya. Mereka bertempur ramai sekali.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan dari dalam gedung tihu itu keluarlah beberapa orang penjaga yang bersenjata tombak dan golok.
"Bangsat pengacau dari mana berani datang membikin ribut," mereka berteriak dan hendak mengurung. Melihat datangnya para penjaga ini, kelima petani dari Kilok itu segera meloncat dan melarikan diri. Ouwyang Bun sebenarnya merasa gemas dan ingin sekali bertanya kepada mereka mengapa mereka memusuhinya, tapi menghadapi para penjaga tihu yang banyak itu iapun tidak ada napsu untuk melayaninya, lalu meloncat terus ke dalam taman gedung tihu yang gelap. Dari taman itu ia langsung masuk ke dalam gedung dari belakang. Seorang pelayan yang bangun dan kaget karena ribut-ribut di luar kebetulan keluar dari kamarnya dan melihat Ouwyang Bun yang lari masuk sambil membawa pedang terhunus, merasa kaget sekali.
Tapi sebelum ia sempat berteriak, Ouwyang Bun telah mendahuluinya dan menotok jalan darahnya yang membuat pelayan itu menjadi gagu. "Jangan banyak ribut kalau kau menyayangi jiwamu," Ouwyang Bun mengancam. "Tunjukkan aku ke kamar majikanmu." Biarpun Ouwyang Bun bicara bisik-bisik dan ia tenang-tenangkan hatinya, namun tidak urung suaranya terdengar gemetar karena sesungguhnya selama hidupnya belum pernah ia mencuri harta orang lain seperti kelakuan seorang perampok.
Karena ketakutan, pelayan itu lalu menunjuk ke arah sebuah kamar besar di tengah ruang gedung. Ouwyang Bun lalu me-notok roboh pelayan itu dan cepat menghampiri pintu kamar. Sekali dorong saja terbukalah daun pintu. Ternyata tihu telah bangun karena iapun mendengar suara ribut-ribut di luar gedung. Tihu ini, she Lie, pernah pula mempelajari silat. Melihat seorang pemuda asing memasuki kamarnya, cepat ia menyambar pedangnya yang tergantung di tembok dan meloncat menyerang. Tapi sekali tangkis saja pedang ditangan tihu itu jadi terpental. Ouwyang Bun lalu menendang lutut lawan itu hingga jatuh berlutut.
"Jangan banyak tingkah, aku tak hendak
membunuhmu," kata Ouwyang Bun. "Aku hanya
membutuhkan sedikit uang bekal."
Besar dan girang hati tihu itu yang tadinya menyangka bahwa yang datang ini adalah seorang anggauta pemberontak yang mengingini jiwanya. Berulang-ulang ia mengangkat tangan memberi hormat dan berkata,
"Tai-ong (raja = sebutan kepala rampok), jangan khawatir, saya akan memberi bekal secukupnya."
"Diam. Tak usah banyak mulut dan jangan sebut kepala rampok," Ouwyang Bun membentak marah. "Keluarkan peti uangmu."
Dengan tubuh masih menggigil tihu itu membuka lemarinya dan Ouwyang Bun melihat uang emas dan perak berkantun g-kantung dan berjajar di dalam lemari itu. Timbul pula gemasnya karena ia dapat menduga bahwa uang itu adalah hasil perasan dan sogokan, karena kalau tidak, dari mana tihu ini dapat mengumpulkan uang sebanyak itu? Ia lalu mengambil tiga kantung uang emas, kemudian menghadapi tihu itu ia mengancam.
"Kau tentu seorang pembesar busuk juga. Ingat, kali ini aku kebetulan lewat di sini dan hanya mengambil uang sebagai peringatan. Lain kali kalau aku masih mendengar bahwa kau adalah seorang pembesar yang menindas rakyat, jangan kaget kalau aku bukan mengambil uang, tapi mengambil kepalamu, mengerti?" Pedang di tangan kanannya bergerak cepat dan tihu itu hilang semangatnya karena melihat sinar pedang menyambar kepalanya. Ia segera berlutut dengan kaki lemas dan mulutnya tiada hentinya meminta ampun.
Tapi ketika ia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ dan ia melihat rambutnya yang dikucir panjang dan tebal telah menggeletak di dekatnya, kena sabetan pedang tadi. Ia kaget sekali dan dengan tubuh gemetar dan panas dingin ia memekik memanggil penjaga. Ketika beberapa orang penjaga menyerbu masuk, tihu itu jatuh pingsan karena takutnya. Para penjaga, segera menolongnya dan mengangkatnya ke pembaringan.
Malam itu Ouwyang Bun mengelilingi kota itu dari atas genteng dan menjelang fajar baru ia kembali ke kamar hotelnya lewat jendela. Dan pada keesokan harinya, pagi- pagi sekali, banyak orang-orang miskin yang berumah gubuk, tiba-tiba menemukan segumpal emas di dalam rumahnya, hingga mereka merasa sangat kaget dan senang, lalu diam-diam memasang hio untuk menyatakan terima kasihnya kepada penolong yang tak dikenal itu. Ternyata ketika mengelilingi kota, Ouwyang Bun diam-diam membagi-bagi emas kepada penduduk miskin hingga habis dua kantung lebih. Sisanya ia simpan untuk bekal sendiri.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah Ouwyang Bun bangun dari tidur. Ia segera membersihkan tubuh dan setelah makan pagi, meninggalkan hotel untuk melanjutkan perjalanannya. Karena ketika meninggalkan adik dan su-moinya ia juga meninggalkan kudanya, maka sebelum meninggalkan kota itu ia membeli seekor kuda yang cukup baik.
Tukang kuda adalah seorang she Tan yang doyan sekali mengobrol. Ia sedang gembira karena. dari penjualan kuda kepada Ouwyang Bun, ia memperoleh keuntungan yang lumayan besarnya dan melihat bahwa pemuda itu adalah seorang asing ia lalu berkata,
"Kongcu tentu seorang yang pandai ilmu silat," katanya sambil tersenyum memuji.
Ouwyang Bun kaget. Ia memandang tajam ketika bertanya, "Bagaimana sebabnya maka kau menduga demikian?"
Pedagang kuda itu tertawa. "Mudah saja, kongcu. Kau seorang diri berani melakukan perjalanan jauh, membawa- bawa banyak emas dan juga menyandang pedang. Kalau tidak pandai menjaga diri, mana kau bisa melakukan perjalanan dengan selamat? Pada waktu ini keadaan tidak aman, pemberontak dan perampok berkeliaran di mana- mana. Untungnya barisan Cin-ciangkun yang gagah perkasa telah mulai bertindak. Kemarin banyak sekali anggauta pemberontak tertawan oleh Cin-ciangkun."
Ouwyang Bun merasa terkejut dan heran mendengar ini, ia tenangkan hatinya dan bertanya secara sambil lalu, "Di manakah ada pemberontak tertangkap?" "Di sebelah timur kota ini, kongcu. Kudengar jumlahnya banyak, karena hampir penduduk seluruh kampung Beng- lok-chun menjadi anggauta pemberontak."