Kini mendengar. makian Ouwyang Bun, ia marah sekali dan siap hendak memerintahkan kaki tangannya maju mengeroyok, tapi tiba-tiba matanya yang tajam itu dapat melihat Lie Eng. Tiba-tiba saja segala kemarahan yang terbayang pada mukanya lenyap seketika dan mulut yang tadinya cemberut itu berubah tersenyum, sedangkan mata yang tadinya merah dan mengeluarkan cahaya marah itu kini berseri-seri.
"He, kalian ini mengapa berani-berani mengganggu nona dan dua kawannya itu?" tiba-tiba ia menegur ke arah belakang kepada Cu Houw hingga kepala pengawal ini melongo, tapi ia memang telah tahu akan adat kelakuan majikannya dan dapat menduga bahwa si tua ini tentu tertarik oleh kecantikan gadis asing itu. Dasar seorang berjiwa penjilat, tukang pukul inipun tiba-tiba dapat merobah sikapnya. Kalau tadinya ia garang dan galak, kini ia membongkok-bongkok dan menjura kepada majikannya sambil berkata.
"Loya, maafkan hamba dan kawan-kawan yang tidak mengenal tamu-tamu agung." Ia sengaja menyebut Ouwyang-heng-te "tamu agung" untuk mengimbangi mak- sud dari niat majikannya.
Maka giranglah hati hartawan tua itu melihat kecerdikan orangnya, ia lalu maju dan menjura kepada Ouwyang- hengte dan Lie Eng sambil berkata,
"Sam-wi, mohon maaf sebesar-besarnya bahwa orang- orangku yang bodoh dan kasar ini mengganggu sam-wi. Kalau hendak memakai kamar di sini, silakan saja dan kami akan menganggap sam-wi sebagai tamu agung kami, karena kebetulan sekali hari ini aku sedang merayakan pesta perkawinan."
"Eh, mengapa sikap orang ini beda benar dengan sikap orang-orangnya?" Lie Eng berkata perlahan, lalu ia maju menjura dan berkata,
"Tuan yang harus memaafkan kami karena telah terjadi, salah mengerti ini. Apakah tuan hendak mengawinkan putra tuan?"
Ditanya oleh gadis itu sendiri, muka hartawan she Lai menjadi merah bagaikan kepiting direbus.
"Eh, bukan.... yang kawin eh, saya sendiri, siocia."
Kini muka Lie Eng yang berobah merah karena muak, sedangkan Ouwyang Bun tertawa gelak-gelak.
"Ha-ha-ha. Dengar, sumoi, Bu-te. Dia mau kawin. Sudah kuduga bahwa orang yang disebut Lai-loya tentu seorang hartawan tua pemeras rakyat yang berhati binatang dan pantas diberi hajaran."
"Bun-koko, jangan bicara begitu." Lie Eng menegur, dan dalam kebingungannya gadis itu terlanjur menyebut "Bun- koko" atau kanda Bun, tidak menyebut twasu-heng seperti biasa, hingga suaranya ini seakan-akan mewakili suara hatinya. Tapi karena keadaan yang tegang itu, baik Ouwyang Bun maupun Ouwyang Bu kurang memperhatikan perubahan ini.
Ouwyang Bun berkata lagi, suaranya seram, "Kalau orang macam ini tidak dibasmi hanya akan membikin kotor dunia saja." Sehabis berkata demikian, ia mer loncat dan tahu-tahu ia telah memegang leher baju hartawan she Lai itu dan dibawanya meloncat ke atas genteng. Cu Houw dan kawan-kawannya yang memiliki kepandaian lalu mengejar dan meloncat ke atas sambil berteriak-teriak. Juga Lie Eng dan Ouwyang Bu mengejar ke atas genteng sambil berkata,
"Bun-ko, lepaskan dia."
Tapi Ouwyang Bun yang sangat marah dan gemas kepada hartawan tua itu lalu membentak,
"Kau mau minta bangsat ini, marilah." ia lalu melemparkan tubuh itu sekuat tenaganya ke arah para pengejarnya. Tentu saja Cu Houw dan kawan-kawannya terkejut sekali dan mengelak karena tidak berani menyambut tubuh yang menyambar cepat ke arah mereka itu. Hartawan Lai menjerit-jerit ketika merasa tubuhnya melayang ke bawah dan jantungnya berhenti berdetak karena ia telah merasa pasti bahwa kali ini tentu akan mati konyol.
Tapi tiba-tiba hartawan tua itu merasa betapa lengan tangannya disambar orang dan ia dibawa melayang turun ke atas tanah dengan selamat. Ternyata pada saat yang sangat berbahaya itu, Ouwyang Bu berhasil menolong Lai- wangwe dari bahaya
Melihat betapa adiknya menolong Lai-wangwe dari atas genteng Ouwyang Bun berkata, "Ah, Bu-te, sekarang ternyata bahwa kaulah yang lemah. Karena anjing rendah macam itupun cukup berharga untuk kau tolong." Suara pemuda itu mengandung penyesalan besar.
"Bun-ko, kau mau ke mana?" tanya Ouwyang Bu yang segera meloncat lagi ke atas genteng.
"Sudahlah, Bu-te, selamat tinggal, mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik. Aku tetap tak dapat mengekor dan melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan suara batinku ini." Setelah berkata begitu, Ouwyang Bun lalu meloncat pergi.
"Twa-suheng.. Tunggu.." Lie Eng memanggil.
Ouwyang Bun menoleh. "Sumoi, jangan menahan aku. Baik-baiklah kau menjaga diri dan berlaku baiklah kepada Bu-te." Setelah berkata begitu, ia cepat lari pergi-
"Bun-ko......" Terdengar Ouwyang Bu memanggil, tapi Ouwyang Bun tidak memperdulikan dan lari terus.
Ouwyang Bu menutup mukanya dan air mata mengalir membasahi pipinya.
"Sudahlah, suheng. Dia tidak mau bersama-sama kita. Biarlah. Mungkin ia akan menyusul ayah dengan jalan lain."
Ouwyang Bu mengangkat mukanya lalu menghela napas. "Sumoi, kau tidak tahu... Bun-ko telah mengambil keputusan lain, ia..... tidak mau membantu susiok, tidak mau memusuhi para pemberontak, bahkan agaknya ia.....
ia. menganggap para pemberontak itu betul?"
"Apa.....?" gadis itu menjadi pucat karena terkejut. "Kaumaksudkan bahwa ia ....... ia hendak menyeberang dan membantu pemberontak?"
"Entahlah, tadinya ia mengajak aku pergi bersama-sama ke gunung untuk mengasingkan diri, tapi aku aku
menolaknya." suaranya terdengar penuh penyesalan.
"Mengapa kau tidak ikut dengan kakakmu, suheng?"
Ouwyang Bu memandang gadis itu dengan mata tajam dan mesra.
"Sumoi... bagiku.... pekerjaan ini dan semua urusan ini tidak ada artinya. Aku tidak perduli mana yang benar dan mana yang salah, tapi.... tapi karena ada kau di sini....
bagaimanakah aku sanggup meninggalkanmu ?"
0o-dw-o0
WAJAH Lie Eng yang sudah pucat kini berobah merah mendengar betapa pemuda jujur ini dengan terus terang menyatakan rahasia hatinya. Ia merasa terharu sekali. Tapi, ia teringat akan Ouwyang Bun, kesedihan besar membuat ia tak kuat menahan air matanya mengalir karena pemuda idaman hatinya itu telah pergi. Tapi ini, belum seberapa bila dibandingkan dengan kehancuran hatinya bila mengingat bahwa Ouwyang Bun hendak menyeberang dan membantu pemberontak. Inilah yang meremukkan hatinya benar.
Ia menutup mukanya dan menangis terisak-isak. Ouwyang Bu menyangka bahwa gadis itu menangis karena terharu dan menyangka pula bahwa Lie Eng diam-diam membalas perasaan hatinya, maka ia lalu memegang tangan, gadis itu dan berkata dengan suara mesra,