Lie Eng juga tidak sabar lagi, lalu maju dan bertanya kepada pengurus rumah penginapan, "Eh, sebenarnya Lai- loya ini orang macam apakah? Apakah ia telah menjadi raja?"
"Di kampung ini ia memang sama dengan raja. Siapa berani membantahnya? Hampir semua rumah-rumah di kampung ini adalah miliknya dan semua sawah ladang di sekeliling kampung inipun miliknya. Boleh dibilang sekampung ini adalah hambanya, karena betapapun juga, kami telah berhutang budi kepadanya."
"Berhutang budi? Bagaimana maksudmu?" tanya Lie Eng.
"Lai-loya telah begitu baik hati sudi menyewakan rumah- rumahnya itu kepada kami dan menyerahkan tanah- tanahnya itu untuk kami kerjakan dengan bagi hasil. Kalau tidak ada dia, bukankah kami akan mati kelaparan?"
Lie Eng memandang heran, sedangkan Ouwyang Bun tiba-tiba menjadi tertarik sekali. "Kau bilang bahwa dia yang menolong semua penduduk kampung ini? Dan berapa kau bayar untuk sewa rumah ini?"
"Murah saja, hanya seperempat bagian dari seluruh hasil usaha kami."
"Seperempat bagian? Dan kaukatakan ini sebagai pertolongan?" setelah berkata demikian, tiba-tiba Ouwyang Bun tertawa bergelak-gelak. Ia merasa geli dan kasihan melihat kebodohan orang kampung itu dan merasa marah mengingat akan kelicinan orang she Lai yang memeras penduduk kampung tapi masih menerima ganjaran nama baik sebagai "penolong besar" itu. Alangkah bodohnya orang-orang kampung ini dan alangkah pintarnya hartawan itu.
"Apalagi kalau bukan pertolongan?" pengurus rumah penginapan itu berkata lagi. "Kalau tidak ada Lai-loya, takkan ada rumah ini, dan kalau tidak ada rumah ini, kami takkan dapat membuka perusahaan ini."
Kembali Ouwyang Bun tertawa geli. "Dan sawah-sawah ladang itu? Apakah hendak kau bilang juga bahwa kalau tidak ada Lai-loyamu itu, maka takkan ada sawah ladang dan tanah? Apakah Lai-loya itu yang membikin tanah di sekitar kampung ini pula?"
"Tentu, kalau tidak ada dia tentu kita tidak bisa menyewa tanah sawah di sekitar kampung ini. Dan tentang membikin tanah...." penjaga rumah penginapan itu berhenti karena bingung.
"Bun-ko, sudahlah," tiba-tiba Ouwyang Bu menyela kakaknya, "apakah anehnya dengan semua itu? Memang sudah menjadi kebiasaan demikian, yakni penyewa rumal" harus membayar dan penggarap tanah harus pula membagi hasilnya kepada pemilik tanah. Apakah yang aneh dalam hal ini maka kau menjadi heran dan menertawakannya?"
Ouwyang Bun memandang kepada adiknya dengan heran. "Apa? Kau juga tidak dapat melihat kelucuan hal ini? Tak dapatkah kau melihat kejahatan orang she Lai itu? Kejahatannya lebih besar daripan da kejahatan seorang perampok. Tidak tahukah kau.... dan kau, sumoi, kau juga tidak tahu? Tidak mengerti.....?" Ouwyang Bun memindah- mindahkan pandangan matanya kepada Lie Eng dan Ouwyang Bu, tapi kedua anak muda itu hanya balas memandang dengan penuh keheranan.
Akhirnya Ouwyang Bu segera memegang pundak kakaknya karena ia merasa cemas kalau-kalau kakaknya itu terlampau lelah. "Bun-ko, sudahlah. Kau perlu beristirahat. Jangan pikirkan hal itu lagi, karena bukankah ayah juga seorang kaya dan memiliki banyak tanah dan rumah pula? Ingatlah, sawah-sawah dan rumah-rumah kita juga banyak disewa orang seperti yang terjadi di kampung ini."
Tapi sungguh tak terduga sama sekali, mendengar kata- kata adiknya ini, tiba-tiba Ouwyang Bun menggunakan tangannya untuk memukul tiang yang berdiri di dekatnya hingga dengan mengeluarkan suara keras tiang kayu yang besar itu roboh karena sebagian daripadanya hancur kena pukulan Ouwyang Bun.
"Itulah yang memualkan perutku. Itulah.." sambil berkata demikian pemuda itu berjalan ke arah sebuah kamar yang kosong dan tanpa melepas pakaian atau sepatunya lagi ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan kemudian terdengarlah dengkurnya.
Ouwyang Bu saling pandang dengan Lie Eng. Keduanya heran sekali melihat kelakuan Ouwyang Bun seperti itu. Sementara itu, pengurus rumah penginapan melihat betapa galaknya mereka ini, hinggai ia tak berani, membantah, lalu menyediakan dua kamar untuk mereka. Hanya ia berkata berkali-kali kepada Ouwyang Bui dan Lie Eng bahwa mereka harus berani bertanggung jawab bila nanti Lai-loya menjadi marah.
"Jangan takut, kami yang akan menghadapi loyamu itu." Ouwyang Bu akhirnya membentak marah hingga pengurus rumah penginapan itu menjadi takut dan pergi. Lie Eng memasuki kamarnya dan beristirahat, sedangkan Ouwyang Bu masuk ke dalam kamar yang ditiduri kakaknya. Dengan khawatir dan penuh kasih sayang, ia perlahan-lahan membuka sepatu kakaknya itu lalu menyelimuti tubuh Ouwyang Bun. Lalu ia duduk di pinggir pembaringan dan berkali-kali meraba jidat kakaknya, karena ia khawatir kalau-kalau kakaknya jatuh sakit. Ouwyang Bu sampai lupa akan diri sendiri yang sama sekali belum mel ngaso itu. Sambil memandangi wajah kakaknya, ia merasa bingung memikirkan mengapa kakaknya menjadi begini. Sungguh ia tidak mengerti.
Terdengar suara panggilan perlahan dari Lie Eng di luar pintu. Ouwyang Bu lalu keluar. Ternyata, setelah mencuci muka dan badan, gadis itu memesan makanan dan maksudnya mengajak kedua suhengnya itu makan malam.
"Sumoi, kau makanlah lebih dulu. Bun-ko belum bangun."
"Bagaimana dia? Apakah sakit?" Lie Eng bertanya dengan khawatir lalu ia memasuki kamar itu. Dengan penuh perhatian dipandangnya muka pemuda yang berbaring itu dan dengan gaya yang mesra dirabanya jidatnya. Kemudian ia berpaling dan bersama Ouwyang Bu keluar dari kamar.
"Kalau begitu biarlah kita menanti sampai ia bangun," katanya perlahan.
"Sumoi, kau makanlah dulu. Kau lelah dan sejak pagi tadi belum makan pagi. Makanlah, nanti kau sakit," kata Ouwyang Bu dengan penuh perhatian.
Mendengar suara pemuda itu, Lie Eng menjadi terharu. Ia maklum bahwa pemuda ini mencintainya, tapi apa daya hatinya telah terjatuh oleh sinar mata Ouwyang Bun. la hanya menggelengkan kepala dan menjawab, “Biarlah, ji-suheng, aku juga belum lapar benar. Kita makan sama-sama saja nanti kalau twa-suheng telah bangun." Dan gadis ini lalu lari ke kamarnya.
Ketika Ouwyang Bii memasuki kamarnya lagi, ia melihat kakaknya bergerak-gerak. Ia cepat menghampiri dan duduk di pinggir pembaringan. Ouwyang Bun membuka matanya perlahan dan memandang adiknya.
"Bun-ko, bagaimana? Kau merasa pening?" tanya adiknya sambil memegang lengannya.
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun-ko, kau kenapa? Apakah kau marah kepadaku?
Kalau aku bersalah, pukul saja aku, Bun-ko."
Tiba-tiba Ouwyang Bun bangun cepat. Ia peluk adiknya yang dikasihinya ini.
"Adikku, adikku.... tidak. Kau tidak bersalah, Bu-te. Akulah yang bersalah, ah.... kau juga.... kita berdua dan... dan suhu juga. "
"Bun-ko, apa maksudmu?" Ouwyang Bu memandang dengan mata terbelalak.
"Ya, suhu salah, bahkan.,., ayah juga salah Ah,
adikku, tidak tahukah kau bahwa mereka itu, orang-orang yang kita anggap pengkhianat dan pemberontak jahat itu, mereka adalah orang-orang yang benar cinta kepada tanah air dan bangsa? Mereka adalah patriot-patriot sejati. Mereka benar, memang keadaan rakyat kita sangat sengsara dan perlu ditolong."
Ouwyang Bu memandang kakaknya dengan mata liar. Ia takut kalau-kalau kakaknya telah menjadi gila. Kata-kata kakaknya membuat ia marah sekali. Ia pegang kedua pundak Ouwyang Bun sambil berkata dengan suara berbisik tapi penuh nap-su hingga terdengar mendesis,
"Apa katamu....? Apa katamu....??" Ia mengguncang- guncangkan tubuh kakaknye seakan-akan hendak membuat kakaknya sadar dari maboknya
Dengan tubuh lemas dan suara terputus-putus Ouwyang Bun berkata,
"Memang.... suhu.. susiok... ayah dan kita sendiri kita
semua tersesat dan menjadi.... alat. belaka. "
"Plok.." tangan Ouwyang Bu menampar muka kakaknya. Karena Ouwyang Bun tidak mengelak atau menangkis, maka tamparannya tepat mengenai pipi Ouwyang Bun hingga darah merah mengalir keluar, dari bibir pemuda ifu. .
"Ya, tamparlah.... tamparlah sekali lagi, dua kali, ya tamparlah seratus kali, Bu-te. Memang aku pantas ditampar untuk menebus dosa suhu, dosa ayah........ dosa kita. "
Melihat betapa muka kakaknya yang dikasihinya itu berdarah, tiba-tiba Ouwyang Bu memeluk kakaknya dan menangis.
"Bun-ko.... Bun-ko, jangan kau bicara begitu, Bun-ko....
kau tidak sayang kepada adikmu ?"
"Bu-te, siapa bilang aku tidak sayang kepadamu? Aku tidak gila, juga tidak ma-bok. Semua kata-kataku itu kuucapkan dengan penuh "kesadaran. Bu-te, kalau kau memang menurut kehendakku, marilah kita pergi dari sini. Marilah kita tinggalkan sumoi dan tinggalkan semua ini, kita pergi ke puncak gunung dan mengasingkan diri dari dunia yang penuh keributan ini." Ouwyang Bu bangun duduk dan memandang muka kakaknya.
"Bun-ko, kalau aku tidak sangat sayang kepadamu, untuk ucapanmu terhadap ayah dan suhu tadi saja, sudah cukup bagiku untuk membunuhmu. Tapi aku tak dapat melakukan itu, dan kau.... janganlah kau berbuat semacam ini, Bun-ko. Apakah kau ingin menjadi seorang pengkhianat? Ingin melawan dan memusuhi pendapat dan cita-cita ayah dan suhu sendiri? Di mana jiwa kebaktianmu terhadap orang tua dan guru? Apakah kau ingin menjadi pengecut yang merasa takut terhadap para pemberontak itu dan mengundurkan diri? Ah, Bun-ko, pikirlah baik-baik."
"Adikku, bukan sekali-kali aku pengkhianat atau pengecut. Kau cukup tahu o-rang macam apa kakakmu ini. Hanya saja, aku telah merasa yakin bahwa tindakan kita ini keliru. Kita tidak boleh memusuhi para pejuang rakyat itu, bahkan seharusnya kita membantu. Kalau kau suka menurut kakakmu dan masih percaya akan bimbinganku, mari kita pergi dan kau kelak akan melihat sendiri bahwa pendapatku ini benar semata-mata."
"Tak mungkin." adiknya menjawab sambil menggelengkan kepala.
Ouwyang Bun memegang. pundaknya. "Bu-te, kau.....
cinta pada sumoi, bukan?"
Pundak yang dipegang itu sesaat menggigil sedikit. Akhirnya Ouwyang Bu mengangguk perlahan lalu menundukkan mukanya.