Bocah itu berkata.
"Hemm, dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak menjadi seorang manusia yang berguna. Jangan membantah lagi!"
Di dalam suara Suma Han terkandung wibawa yang membuat anak itu tidak berani lagi membantahnya.
"Locianpwe, harap membawa pergi anak itu dan Lociapwe sudah tidak ada urusan lagi dengan mereka ini. Sayalah yang bertanggung jawab dalam urusan ini!"
"Omitohud....! Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu,"
Siauw Lam Hwesio lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu, diikuti pandang mata semua orang, namun tidak ada yang berani bergerak menghalanginya pergi. Tiba-tiba dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan mereka bergerak. Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan tangan dan berhamburan senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru bintang dan golok-golok terbang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Suma Han lenyap dari depan mata mereka. Ketika senjata-senjata itu sudah lewat dan golok-golok terbang sudah kembali ke tangan pemiliknya, kiranya tubuh pendekar butung itu tadi mencelat ke udara dan kini sudah kembali di tempatnya, berdiri tersenyum pahit sambil bersandar pada tongkat bututnya!
"Serbu....!"
Bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.
"Tangkap!"
Pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buahnya. Kini puluhan macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han. Pendekar ini menggerakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke sana sini, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah bunyi nyaring berkali-kali susul-menyusul dan tampak senjata-senjata itu beterbangan dalam keadaan patah-patah. Empat orang pimpinan kedua rombongan itu marah sekali, mereka maju serentak mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sin-kang mereka. Kini Suma Han mendorongkan kedua tangan ke depan, mengempit tongkatnya dan empat orang itu terdorong mundur, terhuyung-huyung akhirnya terbanting keras. Mereka merayap bangun dan wajah mereka berubah, gentar dan heran.
"Siapaka engkau, hai pemuda yang luar biasa?"
Si Muka Tengkorak dari Thian-lion-pang bertanya.
"Namaku Suma Han!"
Jawab Pendekar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali tidak merasa bangga akan namanya.
"Engkau datang dari partai manakah dan siapa julukanmu? Kami perlu tahu untuk kami laporkan kepada Ketua kami!"
Tanya tokoh Pulau Neraka yang bermuka ungu. Suma Han memandang orang ini, kemudian memandang orang-orang dari Pulau Neraka yang mukanya berwarna-warni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini adalah orang-orang aneh sekali, tentu mempunyai ketua yang luar biasa pula. Tidak baik menanam bibit permusuhan dengan mereka, maka ia sengaja berkelakar,
"Kalian sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Adapun partaiku? Tidak ada partai, tempatku adalah Pulau Es!"
Di luar sangkaan Suma Han, mendengar ini, rombongan muka berwarna itu mengeluarkan seruan kaget sekali dan serentak dua orang pimpinan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han, diturut oleh semua anak buahnya.
"Mohon diampunkan kelancangan hamba sekalian yang tidak mengenal sehingga telah berani bersikap kurang ajar terhadap To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es!"
Tentu saja Suma Han terkejut sekali, akan tetapi hatinya girang karena hal itu berarti bahwa sikap bermusuh mereka telah habis.
"Sudahlah, harap kalian jangan bersikap sungkan. Di antara kita tidak ada permusuhan apa-apa, dan kuharap saja di masa depan kita tidak akan saling bentrok. Harap sampaikan salamku kepada Ketua Thian-liong-pang dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!"
Setelah berkata demikian, Suma Han sengaja mengerahkan kepandaiannya sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan mereka semua. Para anak buah dua rombongan itu bengong terheran-heran dan penuh kekaguman, apalagi kalau mereka teringat akan peristiwa malam tadi dan nama besar Pendekar Siluman mulai saat itu makin terkenal, bahkan semenjak hari itu, Suma Han lebih dikenal sebagai Pendekar Siluman daripada Pendekar Super Sakti!
"Adikmu yang seperti setan itu hanya mendatangkan malapetaka saja! Sungguh celaka! Kalau tahu begini, sampai mati pun tidak sudi aku mengambil engkau menjadi isteriku! Adikmu itu telah berani melarikan Puteri Nirahai dari istana! Celaka, sekarang kita tentu akan tertimpa bencana karena engkau adalah cicinya!"
Giam Cu, panglima tinggi besar brawok itu menggebrak meja dan melotot kepada isterinya yang memandangnya dengan mata terbelalak dan air mata bercucuran. Isterinya yang muda dan cantik itu adalah Sie Leng, atau lebih tepat Suma Leng, kakak perempuan dan satu-satunya saudara kandung dari Suma Han. Dalam cerita PEDEKAR SUPER SAKTI telah diceritakan bahwa Suma Leng ini, ketika masih dara remaja, telah diperkosa dan diculik oleh panglima Mancu dan kemudian diambil menjadi isterinya karena panglima itu ternyata jatuh cinta kepada korbannya ini.
"Kalau dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri, sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau ribut-ribut?"
Suma Leng membantah, akan tetapi ia menjadi cemas menyaksikan sikap suaminya kepadanya yang amat berubah ini. Baru sekarang suaminya yang biasanya memperlihatkan sikap kasih sayang, kelihatan marah-marah dan sinar kebencian terpancar dari matanya.
"Tiada sangkut pautnya katamu?"
Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya menghantam permukaan meja.
"Brakkk!"
Meja itu pecah pecah menjadi beberapa potong! "Semua orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka tentu kita sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat! Gara gara engkau mempunyai adik siluman, aku pun akan turut celaka pula."
Wajah panglima itu menjadi pucat teringat akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri.
"Kecuali kalau...."
Suma Leng mendapat firasat buruk, jantungnya berdebar ketika mendengar kalimat terakhir yang tidak lengkap itu keluar perlahan lahan dari mulut suaminya, dengan nada yang rendah dan lirih.
"....kecuali kalau apa....?"
Tanyanya. Akan tetapi pertanyaannya ini disusul jerit mengerikan karena tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan tahu tahu ujung pedang di tangan Giam Cu telah menem-bus dada isterinya yang biasanya amat dicintanya itu! Suma Leng terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dada yang tertusuk pedang.
"Kau.... kau...."
Ia terengah engah, terhuyung ke belakang. Sedetik Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya dengan keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan diri.
"Terpaksa, demi keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)...."
"Ibu....! Ibuuuuu....!"
Seorang anak perempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari dari dalam. Seorang kanak-kanak memiliki perasaan yang amat tajam dan halus sekali apalagi dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang dekat sehingga anak perempuan yang biasanya diasuh oleh para pelayan, kini seperti digerakkan sesuatu yang mujijat, meronta dan berlari mencari ibunya!
"Kwi Hong....!"
Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.
"Ibuuuu....!"
Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu, memasuki kamar dan berlari menghampiri ibunya. Akan tetapi tiba-tiba tangan Panglima Giam menyambar tengkuknya dan bocah itu meronta dan menangis dalam pondongan ayahnya.
"Aku mau Ibu....! Lepaskan, akan turut Ibu....!"
"Husshh! Ibumu jahat dan nakal, engkau turut Ayah saja!"
Panglima Giam Cu membentak dalam usahanya menghibur anaknya secara kaku dan kasar.
"Tidakkkk....! Aku mau Ibu...., mau Ibu....!"
Anak itu meronta ronta.
"Kwi Hong.... Kwi Hong.... engkau.... hati-hatilah anakku.... ohhhh!"
Suma Leng menghembuskan napas terakhir dan bagaikan digerakkan sesuatu, anak itu menjerit dan menangis sekerasnya.
"Diam! Kutampar engkau kalau tidak mau diam!"
Giam Cu membentak akan tetapi anak itu tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah dan benar benar menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu. Para pelayan datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan mereka menggeletak di lantai dengan dada tertembus pedang dan tidak bernyawa lagi. Giam Cu menerangkan.
"Dia membunuh diri karena malu mengingat adiknya Suma Han yang menjadi siluman kaki buntung dan menimbulkan keributan di istana."