"Setan!" Koo Cai Sun sudah mencabut senjatanya, yaitu sepasang siang-kek, tombak pendek yang bercagak dan dia me loncat ke arah datangnya suara tadi, dari kiri di mana terdapat sebuah bangunan tembok. Akan tetapi, dia hanya me lihat bayangan yang bertubuh langsing berkelebat dan bayangan itu pun lenyap dari situ.
"Akan kuhajar perempuan iblis itu! Akan kuhancurkan kepalanya dengan kepalanku, akan kucabik-cabik dagingnya dengan siang-kek ini!" Sumbarnya, namun dia m-dia m dia terkejut melihat betapa cepatnya bayangan tadi berkelebat dan bergerak. Akan tetapi, Ki Cong sudah menjadi demikian takutnya sehingga dia cepat-cepat mengajak Cai Sun dan pasukan pengawalnya untuk kemba li ke rumahnya. Setelah me mer intahkan para pengawalnya untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat dan mendatangkan pasukan pengawal lain, Pui Ki Cong lalu mengajak Koo Cai Sun untuk berunding di dalam ruangan sebelah dala m.
"Bagaimana baiknya sekarang?" tanya Ki Cong dengan suara agak gemetar. Melihat keadaan Louw Ti tadi, kemudian me lihat berkelebatnya bayangan yang mengeluarkan suara ancaman, dia menjadi ketakutan.
Di lubuk hatinya, Cai Sun juga sudah takut setengah mati. Dia bukan seorang bodoh, melainkan cerdik dan licik sekali. Dia tahu bahwa wanita puteri guru silat Kim itu muncul untuk me mba las dendam dan bahwa wanita itu kini lihai bukan ma in. Sudah terbukti ketika ia mencelakakan Pui-taijin kemudian menyiksa Louw Ti dan tadi pun kemunculannya me mbuktikan kelihaiannya. Dia dan keluarganya terancam! Dia harus dapat mempergunakan kecerdikannya untuk menyelamatkan keluarganya dan dirinya sendiri, di samping itu jangan sa mpai kelihatan sebagai seorang pengecut besar yang ketakutan. Maka dia pun tersenyum. Wajahnya yang bulat itu seperti terbelah menjadi dua ketika mulutnya terbuka lebar.
"He-he-he, Pui-kongcu. Menghadapi anca man bocah setan itu, tidak perlu kita takut. Memang jelas bahwa ia tentu akan berusaha untuk mencelaka i kita, terutama sekali engkau, Kongcu, mengingat bahwa engkaulah musuh uta manya, akan tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Pui-kongcu, me mang seba iknya kalau untuk se mentara waktu ini, kita bergabung untuk menghadapinya, dan juga aku merasa berkewajiban untuk me mbantu mu dalam meno lak anca man perempuan itu. Bagaimana kalau untuk sementara ini aku me mbawa keluargaku tinggal di sini agar dapat menjaga keselamatan Kongcu?"
Tentu saja Pui Ki Cong yang merasa gentar menghadapi ancaman gadis puteri Kim- kauwsu itu menjadi girang bukan ma in. Dia tidak tahu bahwa sebetulnya bekas pembantunya itu pun ketakutan dan ingin berlindung di gedungnya yang banyak dijaga para pengawal!
"Baik sekali kalau begitu, Toako. Dan akupun akan mencari jagoan-jagoan di kota raja ini untuk melindungiku. Selain itu, juga aku akan me ngerahkan orang pandai untuk mencari dan me mbe kuk pere mpuan iblis itu."
Girang sekali rasa hati Cai Sun. Memang itulah yang dikehendakinya. Selain dapat berlindung di gedung Pui Ki Cong dan dalam me nghadapi Kim Cui Hong dia me mperoleh bantuan orang-orang pandai, juga dia dapat berjasa terhadap bekas majikan itu karena seolah-olah dia berada di situ untuk me lindungi keselamatannya, bukan untuk mengungsikan keluarganya!
0-dw-0
Cui Hong me masu ki rumah ma kan yang tidak begitu ra mai itu. Rumah ma kan yang sederhana dan berada di ujung kota. Seorang pelayan restoran yang selama beberapa hari ini me layaninya, segera menyambut dengan senyum ra mah. Nona cantik ini me mang telah menjadi langganan restoran, setiap hari makan di situ.
"Selamat siang, nona. Selamat duduk, dan nona pilih saja meja mana yang nona kehendaki. Banyak yang masih kosong, nona." pelayan itu menegur. Cui Hong mengangguk sedikit lalu matanya menyapu ruangan. Memang tidak banyak tamu, hanya lima enam meja yang ada orangnya. Mereka ini berkumpul di bagian depan, ma ka ia pun me milih meja di sudut agak belakang yang sepi. Hanya ada seorang tamu lain duduk di meja belakang, hanya terpisah dua meja dari tempat yang dipilihnya.
"Sediakan makanan seperti kemarin," kata Cui Hong singkat kepada pelayan itu yang mengangguk-angguk ra mah. Setelah pelayan itu mengundur kan diri untuk me mpersiapkan pesanannya, Cui Hong menga mbil te mpat duduk dan tanpa disengaja ia me ma ndang ke depan. Kebetulan sekali pada saat itu, pemuda yang duduk di meja la in, yang juga duduk sendirian saja, sedang memandangnya. Dua pasang mata bertemu dan Cui Hong segera me mbuang muka. Wajah seorang pria yang sangat menarik, pikirnya. Heran ia men gapa tiba-tiba saja ia tertarik kepada pria itu. Padahal, pria itu me mandangnya dengan sinar mata kagum yang demikian jujur, tidak mengandung sinar kurang ajar seperti yang seringkali ia lihat dalam pandang mata pria lain. Biarpun ia tidak pernah me mandang langsung, dari sudut kerling matanya ia beberapa kali menga mati keadaan pemuda berpakaian serba kuning itu.
Pemuda itu bukan re maja lagi, tentu sudah tiga puluh tahun usianya, atau kurang pun hanya sedikit. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dari kain kuning yang tidak mahal. Ra mbutnya yang hita m dan tebal agak keriting itu digelung ke atas dan diikat dengan pita biru.
Wajahnya tidak terlalu tampan, na mun ganteng dan penuh kejantanan, dengar, hidung mancung dan dagu meruncing me mbayangkan ketabahan dan kemauan besar. Sinar matanya lembut namun taja m, terbayang kejujuran di dalam pandang matanya. Bentuk tubuhnya sedang, dengan dada yang bidang dan leher yang nampak kuat. Melihat bentuk pakaiannya, tentu dia seorang pe muda petani, pikir Cui Hong yang merasa semakin heran melihat diri sendiri yang begini menaruh perhatian terhadap seorang pria yang tidak pernah dikenalnya. Padahal, biasanya ia belum pernah me mperhatikan seorang pria. Se menjak ia diperkosa dan diper mainkan e mpat orang laki-laki, kemudian ia ikut belajar ilmu silat dari gurunya, ia tidak pernah tertarik kepada pria. Apalagi ketika ia mendapat kenyataan betapa pandang mata hampir semua orang pria yang ditujukan kepadanya selalu mengundang sifat kurang ajar, ingin menggoda, kekaguman yang mengandung nafsu, membuat ia teringat akan pandang mata e mpat orang pria musuh besarnya dan ia seperti tak pernah merasa tertarik atau suka kepada pria. Bahkan ada sedikit perasaan benci, menganggap bahwa semua pria adalah makhluk yang kejam dan hanya mengejar kesenangan nafsu berahi belaka!
Inilah sebabnya mengapa ia merasa heran sendiri melihat ia merasa begitu tertarik kepada pria yang satu ini! "Ah, dia hanya seorang laki-laki....." Akhirnya Cui Hong mencela diri sendiri dan segera mengalihkan perhatiannya kepada hidangan yang baru saja dikeluarkan oleh pelayan.
Sambil makan ia me mikirkan dan mencari siasat untuk menghadap i dua orang musuhnya. Setelah berhasil me mba las dendam terhadap Louw Ti, ia me lakukan penyelidikan dan dengan mudah saja ia dapat menemukan di mana tinggalnya Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun. Segera ia melakukan penyelidikan tentang keadaan hidup dua orang musuh besarnya itu. Ia sempat melihat ro mbongan Ki Cong dan Cai Sun yang dikawal belasan orang perajurit mene mui Louw Ti yang telah menjadi gila di je mbatan itu, dan ia se mpat pula mengejek dan menganca m dua orang musuh besarnya. Kalau ia menghendaki, tentu pada waktu itu juga ia dapat menyerangnya dan meluka i mere ka. Akan tetapi tidak, ia tidak mau dan tidak mau menimbulkan keributan, apalagi harus menga muk di antara pasukan pengawal. Ia harus mencari siasat yang tepat dan baik.
Sakit hati yang diderita Cui Hong terlalu besar sehingga me mpengaruhi seluruh hidupnya, me mbentuk suatu watak tersendiri terhadap musuh-musuh besarnya. Ia ingin men ikmati keman isan pe mba lasan dendam sedikit de mi sedikit! Ia tidak tergesa-gesa. Sudah hampir delapan tahun ia menahan sakit hati, sudah bertahun-tahun ia bersabar, maka sekarang pun ia tidak tergesa-gesa. Bagaikan seekor kucing yang melihat dua ekor tikus yang akan dijadikan korban, ia tidak tergesa-gesa menerkam mere ka, melainkan hendak me mper ma inkan sepuasnya, seperti ketika ia diper ma inkan oleh musuh-musuhnya dahulu! la ingin melihat mereka mender ita ketakutan, kengerian dan akhirnya barulah ia akan turun tangan me mbuat mereka menderita badan. Ia ingin mereka men derita lahir batin secara hebat, seperti yang pernah dideritanya dahulu oleh perbuatan mereka. Betapa nikmat dan man isnya melakukan pemba lasan dendam seperti ini! Seperti orang makan hidangan lezat, tidak segera ditelannya, melainkan dikunyahnya perlahan-lahan, demikian pikir Cui Hong sambil mengunyah makanannya. Ia tidak tahu bahwa pria berpakaian kuning itu, yang tadi tidak mau me mandang kepadanya secara langsung, kini menatapnya dengan penuh perhatian dan penuh kagum, selagi ia mencurah kan perhatiannya kepada ma kanannya.
Selama beberapa hari ini, Cui Hong diam-dia m mengikuti semua gerak-gerik dua orang musuhnya. Ia seringkali tersenyum mengejek me lihat kesibukan mereka, melihat betapa Cai Sun me mbawa se mua keluarganya, mengungsi ke rumah gedung Pui Ki Cong, …….
Halaman gak ada
dan ia pun me lihat yang ada hanyalah seorang pemuda yang telah melukai para perajurit pengawal dan aku sebagai seorang kepala pengawal. “Menyerahlah untuk kutangkap dan aku pun tidak akan me mpergunakan senjata terhadap dirimu."
Tan Siong me ngangguk. "Baiklah, ini urusan pribadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah, maka terpaksa aku menolak untuk menyerah dan ditangkap." "Su-toako, pemuda ini so mbong sekali. Kalau tidak diberi hajaran tentu akan memandang rendah kepada kita!" teriak Cai Sun marah karena dia merasa khawatir kalau-kalau rekannya itu akan berda mai dan tidak me lanjutkan perkelahian melawan pe muda itu. Dia sendiri sudah menggerakkan pedang di tangannya melakukan serangan dahsyat yang disambut oleh Tan Siong dengan tenang. Melihat ini, terpaksa Su Lok Bu maj u lagi me lakukan serangan dengan sepasang pedangnya. Juga dua orang pengawal me mbantu dengan pedang mere ka.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki pendek berkulit putih dan berperut gendut, dengan rambut dan jenggot putih se mua. "Penjahat muda yang nekat, lihat golok besarku!" bentak orang itu dan begitu tiba di situ, dia me mbentak dan menggerakkan sebatang golok besar dan berat dengan gerakan yang amat dahsyat. Suara golok itu se ma kin berdesing-desing dan menya mbar-nyambar ganas menyerang Tan Siong.
Tentu saja Tan Siong terkejut bukan main karena golok itu tidak kalah bahayanya dengan sepasang pedang di tangan Su Lok Bu! Orang yang baru datang ini adalah Cia Kok Han yang menyusul rekannya dan begitu melihat rekan-rekannya mengeroyok seorang pemuda yang amat lihai dan me lihat ada empat orang pengawal yang terluka, dia pun segera maju mengeroyok.
Kini Tan Siong kewalahan sekali, apa lagi karena dia tahu bahwa yang baru datang ini tentulah seorang Bu-tong-pai hatinya merasa semakin ragu dan khawatir. Karena itu, gerakan pedangnya agak….
Halaman gak ada
…… nanti kemanisan balas dendam sepenuhnya tanpa gangguan orang lain. Napsu yang me mbakar hati Cui Hong mirip dengan napsu yang me mbakar d iri Kai Sun atau Ki Cong ketika me mper kosa wanita itu tujuh tahun yang lalu. Dan untuk menjatuhkan pembalasan denda mnya, Cui Hong seperti seekor kucing yang tekun dan sabar mengintai tikus-tikus calon korbannya, kini dengan amat sabarnya menanti saat baik dan me ncari-cari siasat bagaimana agar ia dapat berhadapan dengan dua orang musuh besar itu tanpa adanya gangguan orang lain.
Tiba-tiba Cui Hong dikejutkan dari la munannya oleh suara ketawa seorang laki-laki. Ia mengangkat mukanya dan melihat seorang laki-la ki berusia tiga puluhan tahun, ber muka penuh bopeng dan bertubuh tinggi besar, berdiri dekat mejanya dan sedang me mandang kepadanya sambil tertawa terkekeh- kekeh. Masih ada lagi tiga orang laki- laki lain, te man-teman dari orang yang kini berada di dekat mejanya, berada di meja sebelah kir inya, dan mereka pun tertawa-tawa dan me mberi semangat kepada si muka bopeng.