Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 31

NIC

ahhhh....!" Louw Ti me meja mkan matanya yang tinggal sebuah seperti hendak mengusir peristiwa tujuh tahun yang lalu, yang kini kemba li terbayang di dalam benaknya. Tentu saja dia teringat karena dia pun ikut pula me mperkosa gadis yang sudah hampir mati itu, me mperkosanya setelah gadis itu oleh Pui Ki Cong dihadiahkan kepada mereka bertiga, dia sendiri, Koo Cai Sun, dan Gan Tek Un, dipelopori oleh Koo Cai Sun yang me mang suka sekali me mper mainkan wanita cantik. Pantas saja gadis ini menyuruh orang-orang me mper kosa isterinya sampai mati, kemudian menyuruh orang-orang menyiksa kedua anaknya sampai mati. Kiranya gadis yang mereka lempar dan tinggalkan di dalam hutan itu masih belum mati dan kini telah menjadi seorang wanita yang me miliki ilmu kepandaian tinggi bukan main!

"Kau.... kau.... menjadi iblis betina yang kejam. Aku hanya me musuhi engkau, akan tetapi kenapa engkau me mba las kepada anak isteriku pula yang tidak tahu apa-apa? Siksalah aku, bunuhlah aku, akan tetapi kenapa engkau menyiksa mereka? "

Cui Hong tersenyum mengejek. "Manusia berhati b inatang! Engkau lupa betapa kalian telah menyiksa dan me mbunuh ayahku dan suheng, juga tunanganku. Akan tetapi aku tidaklah serendah dan sekejam engkau." Cui Hong lalu me lo mpat ke pintu dan me mbuka daun pintu tembusan itu. Keluarlah seorang wanita dan dua orang anak yang tadi dibawa ke dalam. Isteri Louw Ti itu masih berpakaian biasa, dan sama sekali tidak men unjukkan tanda-tanda bahwa ia telah diperkosa orang! Dan dua orang anak-anak itupun dalam keadaan sehat-sehat saja, sama sekali tidak menderita cidera. Melihat Louw Ti rebah dengan berlumuran darah, isterinya dan kedua orang anaknya lalu lar i mengha mpiri dan menang isinya.

Melihat mere ka, Cui Hong merasa kasihan pula dan ia pun berkata, suaranya tenang dan jelas terdengar oleh isteri Louw Ti. "Seperti sudah kuceritakan kepadamu, Enci, suamimu ini telah melakukan dosa yang tak dapat diampuni terhadap diriku dan ayahku, juga tunanganku. Dia dan komplotannya tidak saja menyiksa dan me mbunuh ayah dan tunanganku yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia dan komplotannya itu me mperkosa aku di depan mata ayah dan tunanganku sebelum me mbunuh mereka. Dia dan komplotannya telah me mper kosa aku bergantian sela ma beberapa hari, kemudian karena mereka mengira aku mati mereka melempar aku ke dalam hutan dan men inggalkan aku. Aku sudah puas sekarang, memba las dendam kepadanya akan tetapi aku tidak me mbunuhnya."

Diingatkan akan perbuatan suaminya yang sudah didengarnya dari Cui Hong, isteri Louw Ti berhenti menangis dan kini ia me mandang wajah suaminya yang berlumuran darah. Di bawah ancaman Cui Hong, juga karena sudah mendengar penuturan gadis itu, ia tadi me mbantu Cui Hong dengan merintih dan menang is seperti orang diperkosa, dan anak-anaknya ditakut-takuti sehingga mereka pun menangis dan berteriak-teriak.

"Benarkah se mua yang diceritakan itu? Benarkah engkau dahulu me lakukan i se mua perbuatan terkutuk itu?" tanyanya sambil bangkit berdiri.

Louw Ti tak dapat menyangkal lagi. Tiada gunanya menyangkal. Dengan mata tunggalnya yang berkedip-kedip dia me mandang anak isterinya seorang demi seorang, lalu berkata dengan suara lirih dan parau, "Benar. semua

benar. "

Jawaban ini seperti me mukul isterinya. Wanita itu cepat meraih dan me megang tangan kedua anaknya, ditariknya menjauh dari tubuh yang rusak itu seolah-olah takut kalau- kalau mereka akan ikut menjadi kotor. "Engkau me mang manus ia biadab! Aku sendiri pun dulu kau paksa menjadi isterimu, dengan menggunakan pengaruh uangmu dan kepandaian mu. ayahku takut meno lak dan aku terpaksa menjad i isterimu. Aku berusaha untuk menyesuaikan diri, belajar mencinta ayah dari anak-anakku, akan tetapi....

kiranya engkau pernah melakukan hai yang sedemikian kejinya. Terkutuk kau! Aku tidak sudi menjad i isterimu lagi, aku tidak sudi melihat muka mu lagi!" Wanita itu menang is dan me mba likkan diri, me mbelakang i suaminya.

Cui Hong menyerahkan sebuah bungkusan kepada wanita itu. "Enci, terimalah uang ini untuk bekal hidupmu bersama anak-anakmu."

Isteri Louw Ti menerima bungkusan itu yang berisi uang yang harganya seratus tail e mas lebih, yaitu uang yang diterima Cui Hong dari Louw Ti sebagai uang tanggungan, hasil penggadaian rumah dan seisinya. Isteri Louw Ti menerima uang itu la lu mengajak pergi kedua orang anaknya, untuk pulang ke rumah orang tuanya dan selamanya tidak akan mau lagi bertemu dengan bekas suaminya itu.

Melihat isteri dan anak-anaknya meninggalkannya, Louw Ti merasa gelisah bukan main. Dia sudah kehilangan segala- galanya, rumahnya dan seisi rumah, juga tubuhnya sudah cacat. Kalau sekarang isteri dan kedua orang anaknya men inggalkannya, bagaimana dia dapat hidup? Dia me manggil- ma nggil, meratap dan menangis, akan tetapi isteri dan anak-anaknya tidak memperdulikannya lagi sampai lenyap ke luar rumah.

Cui Hong me mandang dengan sinar mata penuh ejekan. "Nah, baru sekarang engkau merasakan akibat dari perbuatanmu terhadap diriku tujuh tahun yang lalu. Rumah ini hanya kusewa dari orang. Selamat tinggal, Louw Til" Cui Hong lalu me loncat keluar.

Louw Ti kini menjerit-jerit dan menang is, akan tetapi tak la ma kemudian terdengar dia tertawa bergelak, lalu menangis lagi. Kiranya pukulan batin lebih hebat daripada pukulan lahir baginya dan dia telah menjadi gila secara mendadak!

Sesal kemudian me mang tiada gunanya sa ma sekali. Penyesalan tidak akan mengubah seseorang dari wataknya yang sesat, karena penyesalan biasanya datang setelah akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi dirinya, kerugian lahir maupun batin. Jadi yang disesalkan bukanlah perbuatan pesatnya, melainkan akibatnya yang merugikan. Andaikata tidak ada akibat yang merugikan, penyesalan pun tidak akan ada, dan biasanya, kalau akibat yang merug ikan itu sudah mereda dan t idak begitu terasa lagi, maka pengulangan perbuatan sesat itupun terjadilah! Yang penting bukan penyesalan, melainkan penga matan setiap detik terhadap diri sendiri, setiap detik pada penga matan apa yang kita pikirkan, ucapkan, lakukan.

Pengamatan diri sendiri ini harus terjadi tanpa adanya "aku" yang menga mati, karena kalau terdapat sang aku, tentu pengamatan ini akan menilai dan pengamatan itu pun akan menjad i miring dengan adanya pendapat-pendapat baik dan buruk, benar dan salah. Padahal, setiap penilaian adalah palsu karena si penilai tentu akan mendasari setiap penilaian dengan perhitungan untung rugi bagi diri sendiri. Jadi, tidak ada "aku" yang menga mati, me lainkan yang ada hanyalah pengamatan itu saja, perhatian sepenuhnya tanpa penilaian dari sang aku. Pengamatan inilah yang akan mengubah! Perubahan seketika pada saat itu juga, tanpa penyesalan, tanpa pamrih.

0odwo0

Laki- laki itu berusia empat puluh tahun lebih. Mukanya yang bulat bersih tidak ada kumis atau jenggotnya selembar pun juga, agak putih dan mata itu bergerak-gerak lincah, mulutnya selalu tersenyum mengejek, akan tetapi seketika menjad i senyum ra mah kalau ada wanita lewat berpapasan dengannya. Perutnya gendut dan pakaiannya serba mewah dan dari sutera mahal. Mukanya masih dibikin lebih putih dengan olesan bedak tipis, dan pakaiannya mengeluarkan bau wangi sekali, seolah-olah sebotol minyak wangi telah tumpah dan menyira m pakaiannya.

Biarpun dia kelihatan seperti seorang laki- laki hidung belang tukang pelesir, dengan sinar mata me mbayangkan kecabulan dan mata keranjang, namun pria ini bukan seorang biasa, bukan sembarang orang. Dia adalah seorang jagoan yang me miliki ilmu silat tinggi! Dialah Koo Cai Sun, dan. seperti pembaca tentu masih ingat, Koo Cai Sun merupakan seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sa m-eng atau Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin! Dialah seorang di antara tiga jagoan yang pernah me mbantu Pui Ki Cong, me mbunuh Kim- kauwsu dan Can Lu San, muridnya, dan me merkosa Cui Hong. Bahkan dalam perbuatan me mperkosa Cui Hong, dialah yang menjad i pelopornya, karena di antara tiga orang jagoan itu, dialah yang berwatak paling mata keranjang dan suka sekali me mper ma inkan wanita cantik, baik secara halus me mperguna kan pengaruh uang dan kepandaiannya, namun juga secara kasar dengan jalan mengancam dan me mperkosa. Dan sela ma ini tidak ada orang berani menentangnya, karena selain dia sendiri lihai, juga se mua buaya darat dan kaum penjahat adalah sahabat baiknya!

Seperti juga Louw Ti, Koo Cai Sun tinggal di kota raja. Akan tetapi di antara mereka berdua jarang mengadakan perhubungan karena pekerjaan mereka me mang berbeda. Louw Ti me mpergunakan pengaruhnya untuk "melindungi" para hartawan dengan imbalan jasa, juga kadang-kadang me lindungi pengiriman barang-barang berharga dengan upah tinggi.

Adapun Koo Cai Sun yang tinggal di tengah kota, me mbuka sebuah toko yang berdagang macam- maca m senjata kuno yang dianggap sebagai pusaka-pusaka yang ampuh. Tokonya terkenal sekali dan dia me mpero leh banyak keuntungan, menjad i kaya raya. Para pembesar di kota raja mengenalnya karena para pembesar itu suka me mbe li benda-benda kuno yang dianggap keramat dan bertuah, dan dalam hal mencarikan senjata-senjata kuno yang ampuh untuk para pembesar itu, Cai Sun a mat pintar. Sejak dulu Cai Sun berwatak mata keranjang, tak boleh me lihat wanita cantik. Mudah saja dia tergila-gila kalau melihat wanita cantik, dan celakanya, kalau dia sudah tertarik, tidak perduli wanita itu masih perawan, ataukah sudah janda, bahkan isteri orang, akan diusahakan agar jatuh ke dalam pelukannya. Dan setelah kini men jadi kaya-raya, kegemarannya akan paras cantik ini makin me njadi, sehingga terkenallah nama Koo Cai Sun sebagai seorang hartawan yang mata keranjang. Di dalam rumahnya, dia telah me mpunyai seorang isteri dan tiga orang anak, dan di sa mping isterinya yang dianggapnya sudah tua, masih ada lagi e mpat orang isteri muda di dalam rumahnya. Namun, lima orang isteri di rumah ini mas ih belum cukup bagi Cai Sun. Dia masih berkeliaran ke luar rumah, mencari-cari mangsa baru dan setiap kali mendengar ada janda cantik tentu akan didatangi dan digodanya sampai dapat. Di sa mping itu, dia pun menjadi langganan rumah-ru mah pelacuran yang paling terkenal di kota raja.

Pada suatu hari, pagi-pagi pada saat matahari mulai naik, Koo Cai Sun meninggalkan sebuah rumah yang terletak di dekat sebuah jembatan. Rumah itu te mpat tinggal seorang janda yang terpikat pula oleh rayuan Koo Cai Sun, seorang janda yang tidak muda lagi sudah empat puluh tahun lebih usianya, akan tetapi masih sexy dan genit. Cai Sun yang mata keranjang dan rakus akan wanita ini tidak me lewatkan janda itu sehingga terjadilah hubungan di antara mereka, hubungan gelap tanpa menghirau kan kritik yang dilontarkan oleh anak- anak janda itu yang besar-besar, bahkan janda itu sudah me mpunyai beberapa orang cucu! Tanpa mengenal malu, Cai Sun keluar dari rumah itu dalam keadaan yang agak kusut dan lesu, tidak seperti biasa dia selalu necis dan pesolek.

Ketika dia tiba di je mbatan itu, sesosok tubuh yang mengge letak di tepi jalan menarik perhatiannya. Bagi orang lain yang lewat di situ, tubuh yang menggeletak itu tidak diperdulikan, bahkan dengan jijik mereka me mbuang muka agar jangan terlalu lama me man dang keadaan orang yang menger ikan itu. Keadaan laki- laki yang oleh umum dianggap sebagai seorang gelandangan yang terlantar ini me mang menger ikan sekali. Tangan kirinya buntung dan ujung lengan sebatas pergelangan itu dibalut kain yang mulai kotor. Tercium bau yang busuk dan banyak lalat merubung balutan tangan buntung itu. Agaknya kedua kaki orang itu pun cacat karena ia mengge letak setengah rebah di tepi jembatan. Matanya yang kiri juga buta, biji matanya tidak ada dan pelupuknya mas ih me mperlihatkan luka borok. Rambutnya awut-awutan dan pakaiannya co mpang-ca mping lagi kotor.

Akan tetapi, Cai Sun terkejut dan mengha mpiri orang itu. Biarpun keadaan orang itu seperti gelandangan terlantar, dia masih dapat mengenal orang pendek muka hitam itu.

Posting Komentar