Sepasang mata Louw Ti yang sejak tadi bersinar-sinar aneh itu kini mencorong dan wajahnya me mbayangkan kebengisan yang menyeramkan. Dia mendekati nona bangsawan itu dan menyeringai bengis.
"Heh-heh, artinya bahwa engkau akan mat i di tanganku dan tak seorang pun tahu apa yang telah terjadi di antara kita!" Setelah berkata demikian, dia menerjang ke depan dengan kedua lengan dipentang lalu menyambar ke depan seperti dua kaki depan harimau menubruk kelenci. Dia me mbayangkan bahwa sekali tubruk saja tentu dia akan dapat menang kap nona itu dan akan diperkosanya di situ juga sebelum dibunuhnya dan mayatnya akan dikubur di belakang rumah malam nanti setelah gelap.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat nona itu berkelebat ke samping dan tubrukannya mengenai te mpat kosong! Nona ini telah ma mpu me ngelak dari tubrukannya tadi dengan gerakan yang amat lincah! Dengan penasaran, Louw Ti lalu me mbalikkan tubuhnya dan menyerang lagi, lebih cepat dan dengan loncatan, menerka m ke depan. Dia sudah me mperh itungkan bahwa nona itu tentu tidak akan ma mpu menghindarkan diri sekali ini, karena selain cepat, juga terkamannya itu kuat, dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri menutup ja lan keluar bagi lawan.
Akan tetapi untuk kedua kalinya dia kecelik karena tiba-tiba saja tubuh nona bangsawan yang kelihatannya lemah-lembut itu sudah berkelebat ke belakang. Tubrukannya luput dan nona itu sudah lenyap menghilang ke dalam sebuah kamar dan menutupkan daun pintunya dari dalam.
"Ha-ha-ha, hendak lari ke mana kau? Ke dalam kamar? Ha- ha-ha, kebetulan sekali!" Louw Ti tertawa, mengira bahwa calon korbannya itu me larikan diri ke tempat tidur. Dengan beberapa kali loncatan saja, dia sudah berada di depan pintu yang tertutup. Sekali menendang, daun pintu itu roboh dan dia pun meloncat ke dalam. Sebuah kamar kosong dan ada sebuah pintu te mbusan ke be lakangnya. Dia menerjang pintu ini dan ternyata mene mbus ke sebuah lorong yang kosong pula. Louw Ti merasa penasaran, mencar i-cari. Banyak ka mar di kanan kir i lorong dan dia me mbuka daun pintu kamar- kamar itu satu demi satu, akan tetapi semua kamar itu ternyata kosong tidak ada isinya, belum ada perabot kamarnya dan nona bangsawan itu tidak nampak bayangannya.
Terpaksa dia kembali ke ruangan tadi me lalui kamar yang daun pintunya diruntuhkannya tadi dan..... di dekat meja di dalam ruangan itu kini telah berdiri seorang yang me mbuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, seorang bertubuh sema mpai yang mengenakan pakaian serba hita m dan me ma kai topeng hita m pula, orang yang pernah merampas harta pusaka itu dan merobohkannya di kuil tua! Wajah Louw Ti yang hitam menjadi agak pucat dan dia merasa gentar sekali. Akan tetapi, orang itu berdiri di dekat me ja dan dua bungkusan uang dan emas telah dikumpulkannya di atas meja di dekatnya. Jelaslah bahwa orang berkedok itu akan mera mpas pula dua bungkusan berharga itu. Dan habislah kesemuanya untuk dia! Rumahnya habis, tidak ada sepeser pun di sakunya, dan dia masih akan dituntut pula oleh nona bangsawan yang kini telah menghilang entah ke mana! Dan semua barang berharga itu telah dira mpas deh orang berkedok yang berdiri di depannya ini. Orang inilah biang keladi kejatuhannya, semenjak mengganggu rumah harta- wan yang dilindunginya. Orang inilah yang me ncelakakannya!
Teringat akan itu semua, Louw Ti menjad i sedemikian sakit hati dan marahnya sehingga dia men geluarkan suara teriakan yang terdengar seperti gerengan seekor binatang buas dan dia pun sudah menerjang ke depan sa mbil melolos dan menggerakkan senjata cambuknya.
Akan tetapi, Kim Cui Hong yang kini menjadi orang bertopeng hitam itu tidak mau me mbuang waktu seperti ketika ia melayani Louw Ti di kuil tua. Dengan gerakan aneh, tubuhnya menyelinap di bawah sinar ca mbuk dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menang kap ujung ca mbuk itu, tangan kanannya menotok ke depan disusul kaki kanan yang menendang ke arah lutut kiri lawan. Serangan ini sangat cepat dan tak terduga-duga oleh Louw Ti. Dia mencoba untuk menarik kemba li senjatanya, namun cambuk itu tak dapat terlepas dari pegangan tangan lawan, sedangkan tangan kanan lawan sudah menya mbar dengan totokan ganas ke arah pergelangan tangan kanannya. Untuk menyelamatkan tangannya, terpaksa dia melepaskan cambuknya dan meloncat ke belakang menghindarkan tendangan lawan. Dalam segebrakan saja kini ca mbuknya sudah berpindah tangan.
"Tar-tar-tar....!" Kini ca mbuk itu meleda k-ledak dan menya mbar-nyambar, seperti ular-ular me matuk ujung cambuk itu menya mbar ke arah berbagai jalan darah penting di tubuh Louw Ti! Tentu saja orang ini terkejut dan sibuk sekali, berusaha mengelak, na mun datangnya serangan cambuk yang bertubi-tubi itu terlampau cepat baginya sehingga akhirnya, dia pun terpelanting roboh dan tak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya tertotok, seperti keadaannya malam tadi di kuil tua dalam hutan! Ia hanya rebah miring dan memandang dengan mata melotot tanpa dapat menggerakkan kaki tangannya yang menjadi lumpuh. Sinar matanya penuh kebencian kepada orang berkedok itu.
Cui Hong me man dang kepada korbannya melalui lubang di topengnya, sepasang matanya berkilat-kilat penuh denda m. Kemudian dia berkata, "Louw Ti, engkau jahanam keparat yang paling busuk di dunia ini, karena itulah maka aku hendak menghukummu sesuai dengan kejahatanmu."
Karena sudah putus asa dan t idak berdaya, Louw Ti menjad i nekat. "Iblis keji, siapakah engkau?"
Cui Hong menge luarkan suara dengusan mengejek. "Hemm, engkau ingin me lihat isterimu diperkosa di depan mata mu, seperti yang sering kali kau lakukan? Engkau ingin me lihat anak-anakmu dibunuh di depan matamu, seperti engkau me mbunuh mereka? Tunggu sebentar?" Dan Cui Hong lalu men inggalkan Louw Ti, me masuki sebuah kamar. Louw Ti tertegun dan diam-dia m merasa ngeri. Orang berkedok itu kejam seperti binatang buas, jahat seperti iblis, dan dia tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh orang itu, ucapan yang me mbuat hatinya gelisah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Tak la ma kemudian orang berkedok ini muncul lagi dari dalam kamar itu dan Louw Ti merasa jantungnya seperti akan copot karena berdebar keras sekali ketika dia me lihat isterinya dan dua orang anaknya berjalan di samping si kedok hitam itu!
"Ayah.....!" Dua orang anaknya itu, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang usianya baru enam dan empat tahun, memanggilnya dan lari mengha mpir inya, lalu berlutut di dekat tubuhnya. Akan tetapi isterinya hanya berdiri saja me mandang, dengan kedua mata berlinang air mata.
"Louw Ti, inilah isteri dan anak-anakmu. Engkau tentu ingin me lihat isterimu diperkosa orang, bukan oleh satu orang me lainkan akan kudatangkan e mpat orang untuk me mper kosanya, dan melihat anak-anakmu dibunuh di depan mata mu, bukan?"
Wajah yang hitam itu menjad i pucat. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya namun tak berhasil. "Tidak ......
tidak...., jangan ganggu mereka....." dia meratap.
"Hemm, di mana kekerasan hatimu? Di mana kekeja man mu? Engkau terlalu sering me mbunuh orang begitu saja, di depan mata orang-orang yang mencintanya, dan engkau selalu sering me mper- kosa wanita, juga di depan orang-orang yang mencintanya. Kenapa sekarang engkau meratap agar isterimu jangan diperkosa di depan matamu dan anak-anakmu dibunuh di depan mata mu?"
0 o -de--wi- o 0
"TIDAK.... jangan..,, ah, ampunkan mereka.... bunuh aku tapi jangan ganggu mereka. "
"Hemm, enak saja bicara! Aku pun tidak sekejam engkau untuk melakukan se mua itu di depan mata mu, akan tetapi setidaknya engkau akan me ndengarkan sendiri dengan kedua telinga mu." Cui Hong lalu me megang kedua orang anak kecil itu. Dua orang anak itu meronta dan memanggil-manggil ayahnya, akan tetapi Cui Hong menarik tangan mereka, bahkan kini dibantu oleh isteri Louw Ti yang sejak tadi diam saja, hanya menitikkan air mata. Dengan paksa kedua orang anak itu diseret masuk ke dalam kamar yang tidak jauh dari ruangan itu.
"Jangan....! Jangaaaannn....!" Louw Ti meratap, mer intih dan berteriak. Akan tetapi semua Tatapannya tidak ada yang me mperdulikannya. Akhirnya dia diam dan dengan mata terbelalak me mandang ke arah kamar itu yang pintunya ditutup dari dala m, lalu terdengar isterinya menangis dan terdengar pula anak-anaknya menjer it dan menangis ketakutan! Dapat dibayangkan siksaan yang diderita batin Louw Ti di saat itu. Dia membayangkan betapa isterinya diperkosa orang sa mpai merintih-ritih dan menang is, me mbayangkan kedua anaknya disiksa dan dibunuh sa mpai menjer it-jerit ketakutan,
"Jangan....! Ah, ampunkan mereka..... jangan....!" Dia berteriak-teriak akan tetapi teriakannya semakin le mah karena dia menga la mi guncangan batin yang amat hebat. Membayangkan isterinya diperkosa orang dan anak-anaknya disiksa, tanpa ma mpu berbuat apa pun untuk me nyelamatkan mereka, sungguh mer upakan siksaan yang lebih hebat daripada siksaan badan. Akhirnya dia menangis mengguguk seperti anak kecil.
Kini sunyi saja dari kamar itu. Tangis isterinya dan jerit anak-anaknya sudah berhenti.
“Jangan-jangan mereka sudah mati...., pikir Louw Ti dan tangisnya makin mengguguk.
Ketika daun pintu itu terbuka, Louw Ti menghent ikan tangisnya, mengedip-nged ipkan matanya untuk mengusir air mata yang menghalangi pandang matanya, lalu me mandang dengan melotot ke arah orang berkedok itu, yang keluar dari kamar dengan langkah seenaknya. Diakah yang memper kosa isteriku? Ataukah ada kawan-kawannya? Tentu dia yang telah me mbunuh anak-anakku. Sa mpai mati dia tidak akan me lupakan ini. Dia harus mengena l orang ini agar kelak, kalau ada kesempatan, dia akan me mba las denda m!
"Binatang she Louw, sudah puaskah hatimu mendengar isterimu diperkosa orang dan anak-anakmu disiksa? Aku menyerahkan isterimu kepada orang-orang ku agar diper mainkan secara bergilir sampai ma mpus, dan juga me mbunuh anak-anakmu di luar dusun. Akan tetapi aku masih belum selesai dengan dirimu."
Louw Ti yang merasa berduka, marah dan penuh kebencian itu kini sudah nekat dan lupa akan rasa takut. "Jahanam! Iblis keji! Siapakah engkau? Jangan menjad i pengecut dan perlihatkan muka mu kepada ku!"
Tiba-tiba dari balik kedok itu terdengar suara ketawa halus dan disusul suara merdu seorang wanita, berbeda dengan suara si kedok hitam tadi yang seperti suara pria.
"Tentu saja engkau akan mengenal aku." Dan orang itu lalu me mbuka kedoknya dan sepasang mata Louw Ti terbelalak lebar dan penuh keheranan ketika dia me lihat bahwa muka di balik kedok itu adalah wajah cantik dari nona bangsawan tadi! Kini mengertilah dia. Si kedok hita m itu bukan la in adalah nona bangsawan itu pula. Seorang wanita! Dan demikian lihainya, dan demikian penuh dendam kepadanya sehingga mengatur siasat yang sudah direncanakan dengan rapi untuk menghancurkannya!
"Kau....!!" Dia berseru dan habislah harapannya. Bagaimana wanita ini tidak akan berlaku kejam kepadanya? Baru saja dia hendak me mbunuhnya, bahkan hendak me mper kosanya!