"Wirrrr....!” Tongkat itu diputarnya secara aneh, menyerbu gulungan sinar ca mbuk dan terkejutlah Louw Ti ketika tiba- tiba saja cambuknya macet dan mene mpel pada tongkat lawan!
"Haiiiitttt....!" Dia mengerahkan tenaganya membetot cambuknya agar terlepas dari tempe lan tongkat, akan tetapi tiba-tiba kaki Cui Hong sudah bergerak menyambar ke depan menc ium lututnya. "Dukk....!" Tak dapat ditahan lagi Louw Ti jatuh berlutut karena sebelah kakinya tiba-tiba menjadi lumpuh dan tiba-tiba saja cambuknya terlepas, akan tetapi ujung tongkat itu sudah berkelebat an menya mbar ke arah kedua pundak dan kedua pinggangnya, menotok secara cepat bukan main sehingga tahu-tahu Louw Ti merasa betapa kedua kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi.
"Hemm, kiranya hanya begini saja kema mpuan Louw Ti yang berjuluk Toat-beng Joan-pian, yang terkenal sebagai seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sa m-eng!" orang berkedok itu mengejek dan sekali tangan kirinya merenggut, buntalan di punggung Louw Ti sudah berpindah ke tangannya! Wajah Louw Ti menjad i pucat sekali, akan tetapi karena kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi, dia hanya memandang dengan mata terbelalak.
"Ja..... jangan rampas itu..... aku mohon pada mu, itu.....
bukan..... bukan milikku....." Akhirnya dia dapat mengeluarkan kata-kata yang penuh per mohonan dan kegelisahan.
Orang berkedok itu berdiri di depan Louw Ti yang sudah rebah terlentang tak berdaya itu. Biarpun tidak nampak karena tertutup kedok, namun mudah diduga bahwa mulut di balik kedok itu tentu ter senyum, entah tersenyum mengejek ataukah tersenyum puas.
"Louw Ti, orang maca m engkau ini mas ih dapat me mo hon, masih dapat minta dikasihani? Aih, betapa aneh dan lucunya! Louw Ti, pernahkah engkau me menuhi per mohonan orang lain, pernahkah engkau mengasihani orang la in?" Setelah berkata demikian, Kim Cui Hong, orang berkedok itu, me loncat ke luar kuil dan terdengarlah derap kaki kuda.
Louw Ti menjadi bingung. Buntalan terisi barang-barang berharga itu dira mpas orang, dan kudanya juga dibawa pergi, dan dia sendiri tidak ma mpu men ggerakkan kaki tangan karena totokan yang luar biasa sekali. Dia mencoba untuk menduga-duga siapa orang berkedok yang sela ma ini mengganggunya, akan tetapi tidak mene mukan orang yang cocok. Saking bingung, gelisah dan marahnya, Louw Ti tak dapat menahan menga lirnya air matanya! Baru sekarang selama ia menjadi jagoan dia tahu dan me rasakan sendiri apa artinya duka. Dia sudah menggadaikan rumahnya, dan kalau barang-barang harta pusaka itu tidak dapat dira mpasnya kembali, dia kehilangan segala-galanya. Rumah dan semua isinya, dan dia bahkan tentu akan dituntut oleh puteri bangsawan itu! Kehilangan se mua hartanya masih masuk penjara lagi!
Setelah lewat tengah ma la m, barulah dia ma mpu menggerakkan kaki tangannya karena pengaruh totokan jalan darah mulai men ipis. Begitu dia dapat bergerak, Louw Ti cepat bangkit dan dia lalu melakukan perjalanan secepatnya menuju ke dusun Ang-ke-bun. Dia harus berjalan kaki atau lari karena kudanya juga dibawa pergi pera mpok berkedok itu. Sa mbil menyumpah-nyu mpah Louw Ti berlari cepat. Setengah malam la manya otaknya diputar mencari siasat. Dia tidak me mikirkan lagi si kedok hita m karena dia kini terhimpit oleh pertanggungan-jawabnya. Dia harus menghadapi nona bangsawan itu dan urusan inilah yang terpenting dan harus dapat diselesaikan dan diatasinya terlebih dahulu. Dan dia sudah merencanakan siasatnya untuk dapat keluar dari ancaman bahaya itu dengan baik. Teringatlah dia akan kedatangan nona bangsawan cantik itu, ketika nona itu menerima uang tanggungan, dan menyerahkan harta pusaka, dan me mesan agar dia merahasiakan kese muanya itu. Yang tahu akan urusan harta pusaka itu hanyalah nona bangsawan itu sendiri dan dia disaksikan pula oleh isterinya. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya! Tidak ada jalan la in kecuali yang sudah direncanakannya ketika dia masih rebah tak ma mpu bergerak dan kini dia bergegas lari menuju ke Ang-ke- bun untuk me laksanakan rencana siasatnya menyelamatkan diri, bahkan me mperoleh keuntungan dari masalah yang menghimpitnya itu. Pada keesokan harinya, matahari telah naik tinggi ketika Louw Ti me masuki dusun Ang-ke-bun dan dia segera langsung menuju ke rumah besar baru seperti yang diterangkan oleh nona bangsawan itu. Jantungnya berdebar tegang ketika ia me masu ki pekarangan rumah itu. Punggungnya menggendong sebuah buntalan besar. Dia merasa lega dan girang sekali me lihat betapa rumah besar itu na mpa k sunyi, tidak ada orang lain. Ketika dia mengetuk pintu, yang me mbuka daun pintu adalah nona bangsawan itu sendiri. Nona itu na mpa k ma kin cantik jelita, dengan pakaian yang indah dan sungguh aneh sekali, Louw Ti merasa seolah-olah ia pernah mengenal nona ini. Bukan kemar in dulu ketika nona bangsawan itu datang ke rumahnya di kota raja, melainkan jauh sebelum itu. Dia pernah mengenal atau setidaknya bertemu dengan wanita ini. Akan tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, hati dan pikirannya segera dipenuhi oleh rencana siasatnya dan dia tidak mau repot-repot tentang hal itu. Apalagi nona bangsawan itu sudah tersenyum sehingga nampak deretan gigi yang putih seperti mutiara dan rapi.
"Ah, kiranya Louw-enghiong baru datang?"
Tepat seperti yang direncanakan, Louw Ti me mandang ke kanan kiri seolah-olah takut kalau-kalau kedatangannya diketahui orang. "Kudaku jatuh sakit di tengah jalan, nona, sehingga saya terpaksa berjalan kaki. Maaf, saya agak terlambat, akan tetapi saya berhasil me mbawa harta. eh, ini
sampai ke sini."
Kembali ia me man dang ke kanan kiri dan menahan kata- katanya hendak menyebut harta pusaka.
Nona bangsawan itu tersenyum. "Tidak usah khawatir, Louw-enghiong, di sini tidak ada orang lain hanya aku sendiri. Masuklah, aku girang bahwa engkau sudah berhasil me mbawa harta pusaka itu dengan selamat sampai ke ru mah ini. Rumah ini mas ih kosong, karena masih baru dan belum ada pelayan. Besok pagi baru keluarga ayah datang bersama barang- barang dan pelayan."
Bukan main girang rasa hati Louw Ti. Keadaan tempat ini sungguh tepat sekali untuk pelaksanaan siasatnya! Sunyi tidak ada orang lain kecuali mere ka berdua! Dia meng ikut i nona itu masu k ke ruangan sebelah dalam dan dia melihat bahwa rumah ini me man g besar, me mpunyai banyak ka mar.
"Mari, silakan duduk dan berikan buntalan itu kepadaku, Louw-enghiong," kata nona itu setelah mereka tiba di ruangan sebelah dalam yang luas, di mana hanya ada beberapa buah kursi dan sebuah meja besar.
Louw Ti merasa betapa jantungnya berdebar semakin kencang. Dia tidak pernah mengalami ketegangan seperti ini. Biasanya, biar ada maksud me mbunuh orang atau melakukan perbuatan apa pun, dia bersikap tenang saja. Akan tetapi entah mengapa, sekali ini dia merasa a mat tegang dan buntalan itu mengeluarkan bunyi ketika dia letakkan di atas meja, tanda bahwa tangannya agak ge metar.
"Nanti dulu, Siocia, Buntalan ini akan saya serahkan kepada nona kalau uang tanggungan saya berikut ongkos pengirim an yang lima puluh tail emas itu nona serahkan dulu kepada saya."
Nona bangsawan itu tersenyum manis dan kembali Louw Ti seperti merasa pernah melihat mulut yang a mat mengga irahkan itu.
"Ah, tentu saja, tunggu sebentar," kata nona itu dan saking tegang dan ge mbiranya, Louw Ti telah melupakan lagi perasaannya itu. Nona itu me masuki sebuah kamar dengan langkah berlenggang-lenggok a mat menggairahkan dan pada saat itu Louw Ti me na mbah rencananya. Sayang kalau nona itu dibunuh begitu saja, pikirnya, sayang tubuh yang demikian indah, wajah yang demikian cantik! Malam tadi dia merencanakan untuk me mbunuh nona bangsawan ini, karena tidak ada seorang pun yang tahu bahwa nona ini berhubungan dengan dia, tidak ada yang tahu bahwa nona ini menyuruh dia meng irim harta pusaka itu. Kalau dia dapat me mbunuh nona itu dan melenyapkan mayat dan bekas-bekasnya, tentu dia akan selamat. Biarlah harta pusaka itu hilang dirampok orang. Setidaknya dia akan dapat me mpero leh kem-ba li rumahnya dan isinya, bahkan menerima pula upah lima puluh tail e mas! Malapetaka yang menimpa dirinya akan berubah menjadi keuntungan! Dan kini, melihat wajah itu, melihat lenggang itu, dia mena mbahkan "perkosaan" pada rencananya, akan me mper kosa dulu nona bangsawan itu sepuasnya sebelum me mbunuhnya!
Nona itu muncul kembali dari dalam kamar, me mbawa dua buntalan. Ia meletakkan dua buntalan di atas meja, lalu me mbuka dua buntalan itu. Mata Louw Ti bercahaya ketika dia me lihat uangnya, uang tanggungan hasil penggadaian rumah, berada di buntalan besar, sedangkan di buntalan ke dua nampak berkilauan emas batangan lima puluh tail!
"Nah, ini upah lima puluh tail e mas, Louw-enghiong. Dan ini uang tanggungan- mu kukembalikan, di dalamnya sudah kusisipkan uang bunganya. Sekarang perlihatkan harta pusaka itu kepadaku, hendak kulihat apakah masih lengkap, sesuai dengan catatan ini."
Tanpa bicara, Louw Ti me ndorong buntalannya, mende katkannya kepada nona itu. Buntalan dibuka dan nona itu terbelalak, lalu menatap wajah Louw Ti, "Louw enghiong, apa artinya ini?" Ia menuding ke arah tumpukan batu koral yang berada di dalam buntalan.