Para pengawal pribadi Pui Kian hanya me longo, tidak berani me mbe la maj ikan mereka karena mereka pun mengenal siapa Kwa Taijin dan tahu bahwa para pengawal kota raja itu adalah pasukan yang lebih tinggi kedudukannya daripada mereka. Kepala pengawal bersama anak buahnya cepat melakukan penggeledahan dan tak lama kemudian, kepala pengawal sudah keluar dari kamar me mbawa sebuah cap kebesaran milik Kwa Taijin yang tadi dicuri ma ling.
"Hemm, lihat ini! Kau masih hendak menyangkal lagi?" Kwa Taijin me mperlihatkan cap itu di depan hidung Pui Kian. Pucatlah wajah Pui Kian.
"Tapi..... sungguh mati...... saya..... saya tidak mencurinya "
"Hemm, kau penjahat kepalang tanggung! Kalau t idak menyuruh curi, apakah cap kebesaranku itu bersayap, terbang men inggalkan meja kamarku lalu hinggap di meja dalam kamar mu?"
"Fitnah...., ini tentu fitnah....." Pui Kian meratap.
"Tangkap dia! Bawa ke dalam tahanan di tempat kepala daerah!" bentak Kwa Taijin.
Malam itu Pui Kian, kepala jaksa Thian-cin yang biasanya menjad i raja kecil di kota itu, harus meringkuk di dalam penjara di belakang gedung kepala daerah, dijaga ketat oleh pengawal-pengawal kota raja atas perintah Kwa Taijin sendiri. Akan tetapi, penjagaan yang amat ketat ini masih tidak ma mpu men cegah Cui Hong yang me mbungkus sebuah kerikil dengan kertas yang telah diberi tulisan, lalu melontarkan kertas itu ke dalam kamar tahanan dari jauh, dan kertas yang me mbungkus kerikil itu melayang melalui jeruji besi, dan tepat mengenai kepala Pui Kian.
"Tukk!" Pui Kian mengaduh dan melihat benda kecil putih itu yang tadi menya mbar kepalanya, dia cepat me mungutnya. Penerangan lampu di luar kamar tahanan cukup terang menerobos melalui jeruji-jeruji besi dan dia lalu me mbuka kertas yang membungkus kerikil itu, dan dibacanya tulisan tangan yang halus di atas kertas.
"Kepala Jaksa Pui,
kami me ngucapkan selamat kepada mu!" "Mendiang guru silat Kim Siok sekeluarga".
Membaca tulisan itu, Pui Kian mengerutkan alisnya. Guru silat Kim Siok? Sudah mendiang ? Dia meng ingat-ingat, lalu mengepal tinju dengan geramnya. Ah, kini dia teringat akan peristiwa tujuh tahun yang lalu. Guru silat Kim? Dengan anak gadisnya yang dila mar oleh Pui Ki Cong puteranya, akan tetapi ditolak. Guru silat itu bersama seorang muridnya telah tewas dan gadis itu..... ah, ke mana perginya gadis itu? Bukankah menurut kabar yang diperolehnya, gadis anak Kim Kauwsu itu oleh puteranya diberikan kepada Thian-cin Bu-tek Sa m-eng? Dan bagaimana mungkin guru silat Kim yang sudah mati itu ma mpu melempar kan surat ini? Kini dia dapat menduga bahwa yang mencuri barang-barang berharga dan menggantinya dengan batu, kemudian melakukan fitnah atas dirinya dengan mencuri cap kebesaran milik Kwa Taijin kemudian menaruh ke dalam kamarnya tentu juga orang yang me le mparkan surat itu! Akan tetapi siapa? Kim Kauwsu tidak mungkin karena dia sudah mati. juga muridnya yang akan menjadi mantunya itu. Lalu siapa? Anak perempuannya? Rasanya tidak mungkin. Anak perempuan itu sudah dibawa Bu-tek Sa m-eng, kalau belum mati pun tentu menjadi bini muda mereka. Apakah murid-murid Kim Kauwsu? Ah, bisa jadi. Bukankah banyak juga murid-murid guru silat itu? Dia mengepal t inju. Dikirimkannya surat pember ian sela mat atas malapetaka yang men impa dirinya itu jelas merupa kan ejekan. Ingin dia menang kap orang itu, menghukumnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi, pembesar itu teringat akan keadaan dirinya dan lenyaplah semua kemarahan terhadap orang yang me mfitnahnya, terganti oleh ketakutan yang amat hebat. Dia me mbayangkan dirinya dihuku m, dipecat, dan dibuang, atau bahkan mungkin dihukum mati! Gemetar seluruh tubuhnya meng ingat ini dan tanpa dapat ditahannya lagi dia menangis!
Kerap kali terbukti bahwa orang-orang yang paling kejam hatinya adalah orang-orang yang paling penakut! Ada kalanya pula sifat pengecut dan penakutlah yang mendorong seseorang untuk berwatak kejam terhadap sesama ma nusia. Karena merasa takut dan merasa terancam keselamatannya, maka orang itu akan menyerang siapa saja yang dianggapnya men jadi anca man bagi keselamatannya, kesejahteraannya atau kemuliaan hidupnya. Agaknya Kepala Jaksa Pui ini orang seperti itulah. Biasanya, kalau dia me mper lihatkan kekuasaannya men indas orang lain, hatinya merasa ge mbira dan puas sekali me lihat orang la in itu meratap-ratap minta ampun, menangis di depan kakinya minta keringanan hukuman. Puas dan ge mbira karena tangis orang lain itu merupakan mah kota kekuasaannya. Ratap tangis orang lain bagaikan nyanyi merdu di telinganya. Kini, menghadapi ancaman terhadap dirinya yang sukar untuk dapat dihindarkannya, melihat betapa kekuasaannya runtuh dan dia sama sekali tidak ber daya, kebanggaan dirinya runtuh pula dan timbul iba diri yang berlebihan besarnya, yang mendorong menga lirnya air mata dari sepasang matanya yang sudah lama menger ing tak pernah disentuh perasaan itu.
Dan si pelempar surat, Kim Cui Hong, sambil tersenyum puas dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri-seri, men inggalkan kota Thian-cin pada pagi hari itu juga, masih gelap, me mbawa bungkusan pakaiannya yang kini juga terisi sebuah kantung terisi barang-barang berharga yang indah dan amat mahal harganya.
Kota raja masih na mpa k megah dan ra mai, walaupun sebenarnya banyak penduduknya merasa gelisah karena kini pasukan-pasukan pe mberontak sudah se makin maju mende kati kota raja dari semua jurusan. Dari timur kabarnya pemberontak yang dipimpin oleh Lie Cu Seng sudah semakin maju sampai ke perbatasan propinsi, hanya tinggal tiga ratus li dari kota raja. Di barat juga pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Bu Sam Kwl me mperoleh kemenangan- kemenangan. Apalagi di utara. Pasukan kerajaan kewalahan menghadap i serbuan-serbuan bangsa Mancu yang semakin kuat saja. Pendeknya, kota raja telah dikepung dari berbagai jurusan oleh banyak musuh. Bukan hanya tiga golongan musuh itu saja. Mereka bertiga itu adalah golongan musuh paling besar dan paling kuat. Masih banyak lagi pemberontakan-pemberontakan kecil terjadi di daerah-daerah. Semua ini me mbuat para menteri yang mas ih setia kepada kerajaan menjad i se makin gelisah. Akan tetapi apa daya mereka? Kaisar dininabobokkan oleh para thaikam dan selalu menerima pelaporan yang baik-baik saja dari para thaikam itu.
Karena keadaan seperti mendung dan gelap oleh kegelisahan, oleh anca man-anca man yang tidak na mpak dan terasa oleh semua orang bahwa kota raja berada dalam ancaman bahaya besar, maka yang berpesta pora dalam keadaan seperti itu adalah orang-orang yang menjual tenaga dan kepandaian silat mereka sebagai pengawal-pengawal dan penjaga-penjaga keamanan. Orang-orang berpangkat dan orang-orang hartawan yang memiliki uang, tidak sayang menge luarkan banyak uang me mbayar jagoan-jagoan yang bertugas menjaga keamanan mereka dan keluarga mereka. Dalam keadaan ketakutan, orang memang dapat melakukan hal-hal yang menggelikan. Orang-orang hartawan itu sama sekali tidak ingat lagi bahwa ancaman perang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh perlindungan yang diberikan jagoan- jagoan silat begitu saja! Dan mereka pun lupa bahwa yang mungkin meng ganggu dalam keadaan kacau itu justeru orang- orang yang biasa bertindak kasar dan keras, yaitu orang-orang yang merasa punya kepandaian silat dan yang merasa unggul, termasuk orang-orang yang mereka angkat menjadi jagoan- jagoan itu! Mereka tidak ingat betapa sudah banyak terjadi adanya pagar makan tanaman, atau orang-orang yang diandalkan sebagai penjaga keamanan bahkan menjadi pengacau keamanan itu sendiri! Seperti me melihara harimau untuk mencegah serbuan serigala. Serigalanya tidak datang, akhirnya sang harimau peliharaan itu yang akan menerka m dan me mangsanya!
Betapapun juga, sudah pasti bahwa para jagoan atau mereka yang merasa me miliki kepandaian silat dan yang berani berkelahi, dalam keadaan seperti itu menjad i laris sekali. Tenaga mereka dan jaminan mereka dibayar mahal oleh orang-orang beruang yang rela me mbayar mahal hanya sekedar untuk menentera mkan hati mereka dan "merasa terlindung".
Banyak jagoan-jagoan atau tukang-tukang pukul yang me miliki ilmu silat tinggi dan yang ditakuti dan disegani orang, yang perlindungannya berharga mahal sekali, berhasil mengumpulkan kekayaan dan menjad i orang kaya. Di antara mereka terdapat seorang jagoan yang terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Toat-beng joan-pian (Cambuk Pencabut Nyawa)! Dia telah menjad i kaya raya karena menjadi pelindung beberapa orang hartawan di kota raja. Melihat betapa usaha di luar lebih baik daripada menjadi kepala- kepala pengawal yang makan gaji, sudah la ma jagoan ini men inggalkan pekerjaannya sebagai pengawal seorang pembesar di kota raja dan me mbuka usaha me lindungi hartawan-hartawan dengan menerima bayaran mahal setiap bulannya. Dan dia agaknya me mang berdarah pedagang. Usahanya ini dapat diperluasnya menjadi se maca m perusahaan penjaga keamanan dan dia me miliki puluhan orang pembantu yang bertugas men jaga rumah-ru mah hartawan. Dia sendiri hanya dipakai namanya saja untuk menakuti-nakuti orang. Dan me mang sesungguhnyalah, hartawan yang dijaga oleh anak buah Toat-beng Joan-pian ini, tidak ada yang berani mengganggu. Agaknya para penjahat di kota raja tidak berani menentang Si Ca mbuk Pencabut Nyawa yang selain terkenal lihai bukan main, akan tetapi juga terkenal bertangan besi dan tidak pernah mau menga mpuni siapa yang berani mengganggu hartawan yang dilindunginya. Setelah me mbunuh beberapa orang yang berani mencoba- coba, akhirnya tak seorang pun berani mengganggunya lagi dan dalam waktu dua tiga tahun saja dia telah menjadi seorang yang kaya raya.