"Akan tetapi, engkau tentu tidak akan men inggalkan begitu saja barang-barang yang amat berharga itu di dalam kamar ini, Taijin!" Ji Ciangkun berseru ketika mereka hendak men inggalkan kamar. Pui Taijin tersenyum lebar dan me mbuka pintu kamar. "Kau lihat, aku tidaklah sebodoh itu, ciangkun. Kamar itu kusuruh jaga siang ma la m. Aku selalu berhati-hati menjaga diriku, dan setiap hari, kamar ini dijaga oleh enam orang penjaga secara bergilir. Mereka berada di luar kamar dan siapa pun, kecuali aku dan keluargaku, tidak mungkin dapat me masu ki kamar ini. Belum lagi diingat bahwa di sekeliling gedung kami ini selalu d ijaga pengawal-pengawal siang malam. Penjahat yang berani mencoba me masu ki gedung kami sa ma saja dengan bosan hidup dan mau bunuh diri. Ha-ha-ha!" Ji Ciangkun juga tertawa dan men gangguk kagum ketika dia me lihat enam orang penjaga yang bersenjata lengkap me mang na mpak berjaga di depan kamar itu. Mereka lalu men ingalkan kamar yang hanya ditutupkan begitu saja daun pintunya oleh Pui Taijin, dan menuju ke ruangan makan di mana telah menanti pelayan-pelayan wanita yang siap melayani mereka berdua ma kan minum dengan hidangan-hidangan yang masih panas dan mewah.
Para penjaga di luar kamar itu, mau pun yang berjaga di sekeliling gedung Pui Taijin, adalah penjaga-penjaga biasa yang menjaga keamanan keluarga pembesar itu dari gangguan orang-orang biasa yang hendak memusuhi keluarga itu. Tentu saja mereka itu tidak ada artinya bagi seorang pengunjung seperti Kim Cui Hong yang sejak tadi sudah meng intai di antara wuwungan rumah dan mendengarkan, bahkan me lihat ke dalam kamar ketika Jaksa Pui dan Ji Ciangkun bercakap-cakap dan me lihat kumpulan batu permata yang hendak diserahkan sebagai sogokan kepada pembesar Kwa Taijin yang akan datang besok. Selagi dua orang pembesar itu bersenang-senang makan minum di ruangan makan dilayani oleh pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik, Cui Hong yang memang sejak tadi sudah me mpers iapkan rencana siasatnya, melayang turun ke dalam kamar tidur pe mbesar itu. Ia me mbuka genteng dan me mbongkar langit- langit, melayang turun bagaikan seekor burung walet ke dalam kamar itu sehingga sama sekali tidak terlihat atau terdengar oleh para penjaga.
Cui Hong menggendong sebuah buntalan yang kini diturunkannya dari atas punggung dan diletakkannya di atas meja. Ia pun lalu me mbuka almari di belakang te mpat tidur, menga mbil buntalan kain merah yang tadi sudah dilihatnya ketika ia melakukan pengintaian. Dengan tenang namun cepat dibukanya buntalan itu dan dengan hati-hati agar tidak menge luarkan suara, dibukanya peti hitam yang penuh dengan barang-barang indah dari batu giok dan mutiara. Semua benda itu dikeluarkan ke atas meja, kemudian peti itu ia isi dengan isi buntalannya sendiri yang terisi batu-batu biasa. Setelah penuh dan beratnya sama dengan berat barang-barang berharga tadi, ditutupnya kemba li peti Itu dan dibuntalnya kembali dengan kain merah, kemudian dikembalikan benda itu ke dalam almar i. Barang-barang berharga itu kini dibuntalnya dan digendongnya di atas punggung. Setelah me meriksa dengan telit i dan merasa yakin bahwa ia tidak meningga lkan bekas-bekas yang mencurigakan, Cui Hong lalu me loncat ke atas, tangannya menya mbar tiang melintang dan menerobos melalui langit- langit yang sudah dibongkarnya dan me lalui genteng-genteng yang sudah dibukanya. Ia me mbetulkan kembali langit-langit dan genteng dari luar, kemudian tersenyum puas me lihat hasil perbuatannya. Ia telah melakukan siasat yang telah direncanakannya dengan sempurna. Seperti sebatang pedang yang tajam kedua sisinya, sekali bergerak ia telah mendatangkan dua hasil yang baik. Pertama, ia me mperoleh barang-barang berharga yang akan dapat menja min biaya semua usahanya me mba las denda m, me mpero lehnya dari keluarga Pui Ki Cong musuh besarnya nomor satu, dan ke dua, ia pun dapat menjerumuskan Jaksa Pui ke dalam kesulitan kalau peti yang sudah diganti isinya dengan batu- batu kali itu besok diserahkan kepada pe mbesar tinggi dari kota raja!
Memang tadinya tidak sedikit pun terkandung dalam hati Cui Hong untuk mence lakakan Kepala Jaksa Pui ini, kecuali menga mbil harta untuk dipakai sebagai biaya mencar i dan me mba las dendam kepada empat orang musuhnya. Akan tetapi, ketika ia mendengar bahwa putera jaksa itu tidak berada lagi di situ, dan ketika secara kebetulan selagi me lakukan penyelidikan hendak me ncuri harta ia mendengar percakapan antara Jaksa Pui itu dengan Perwira Ji, timbullah rencananya untuk mencelaka kan Pui Taijin. Bagaimanapun juga, kepala jaksa ini adalah ayah Pui Ki Cong dan telah me mbantu perbuatan puteranya tujuh tahun yang lalu! Ia maklum bahwa belum tentu usahanya mendatangkan kesulitan kepada keluarga Pui ini berhasil. Bisa saja gagal, misalnya, kepala jaksa itu kebetulan me mer iksa peti atau me lihat kemba li isi peti sebelum diserahkan kepada pe mbesar tinggi dari kota raja itu. Andaikata benar demikian, ia pun tidak akan terlalu kecewa karena tujuan utamanya adalah mencari dana untuk biaya usahanya me mba las dendam dan dalam hal itu ia telah berhasil dengan baik. la akan menanti saja sampai besok dan menyelidiki hasil perbuatannya malam ini.
Agaknya me mang nasib Cui Hong sedang baik atau nasib Kepala Jaksa Pui Kian sedang sial. Peti hita m itu tak pernah dibuka lagi oleh pe mbesar itu sa mpai t iba saatnya peti itu diserahkan kepada Kwa Taijin dari kota raja! Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya rombongan yang dinanti-nanti dengan jantung berdebar tegang oleh para pejabat di Thian-cin itu tiba. Sebuah kereta berkuda empat yang dikawal oleh pasukan pengawal kota raja yang berpakaian indah dan gagah sebanyak lima puluh orang. Pada waktu itu, para pembesar kota raja tidak berani rne lakukan perjalanan ke luar kota raja tanpa pengawal yang kuat, karena banyak nya kerusuhan dan pemberontakan yang timbul di mana- mana.
Biarpun di Thian-cin ada kepala daerah yang sebetulnya me miliki kedudukan lebih tinggi dari Kepala Jaksa Pui, na mun pengaruh dan kekuasaan kepala daerah Teng itu kalah oleh Pui Taijin sehingga ketika para pembesar melakukan penyambutan, kepala daerah ini diam saja, bahkan menganjurkan ketika Pui Taijin me mpersilakan tamu agung itu untuk tinggal di gedungnya. Diam-dia m Kwa Taijin mencatat sikap ini. Memang dia sudah mendengar desas-desus dan keluhan ra kyat di Thian-cin yang sampai ke kota raja tentang pembesar she Pui ini, yang menurut kabar h idup sebagai raja yang berkuasa penuh di Thian-cin! Maka, me lihat sikap Pui Taijin dan mendengar penawarannya agar dia suka tinggal di gedung pembesar itu, dia pun menerimanya karena hal itu akan me mudahkan usahanya untuk me lakukan penelitian dan penyelidikan.
Penyambutan di gedung Pui Taijin a mat meriah. Hal ini me mang sudah dipersiapkan lebih dahulu oleh Pui Taijin. Pembesar tinggi Kwa dari kota raja itu disa mbut seperti orang menya mbut kaisar sendiri saja. Dan begitu tiba di rumah gedung Pui Taijin yang luas, pe mbesar dari kota raja itu bersama para pengiringnya lalu dija mu dengan hidangan- hidangan yang mewah dan lezat. Bahkan lima puluh orang pengawal itupun dija mu d i ruangan la in oleh kepala pengawal yang dikepalai oleh Ji Ciangkun, komandan pasukan keamanan di Thian-cin. Di dalam kese mpatan ini, setelah me mberi sa mbutan selamat datang dan penghormatan dengan cawan-cawan arak, disaksikan oleh para pe mbesar lain, dengan wajah penuh senyum, Pui Kian lalu menyerahkan buntalan kain merah terisi peti hita m itu kepada Kwa Taijin.
"Mendengar akan kesukaan taijin, maka sebagai penyambutan selamat datang dan penghormatan, saya haturkan sedikit barang-barang kesenian terbuat dari batu kemala dan mutiara ini, harap taijin sudi menerimanya dengan senang hati."
Kwa Taijin adalah seorang yang paling suka mengumpulkan barang-barang terbuat dari batu kemala dan mutiara. Mendengar ucapan itu, dengan mata berseri dia memandang ke arah buntalan kain merah itu.
"Batu giok dan mut iara? Ah, Pui Taijin terlalu sungkan," katanya sambil menerima buntalan itu, me letakkannya ke atas meja dan karena ingin sekali melihat benda-benda yang tentu amat indah itu, dibukanya bundalan itu, kemudian dikeluarkannya peti kecil hita m itu, diikuti oleh pandang mata Pui Taijin yang tersenyum ge mbira karena hadiahnya diterima dengan sikap demikian ge mbira oleh pe mbesar tinggi yang amat ditakuti ini.
Peti hita m itu dibuka o leh Kwa Taijin sendiri dan. wajah
Kwa Taijin berubah keruh, sinar matanya penuh kemarahan, sebaliknya wajah Pui Taijin me njadi pucat, matanya terbelalak dan dikejap-kejapkan beberapa kali seolah-olah dia tidak dapat percaya kepada matanya sendiri melihat betapa barang- barang ukiran batu giok dan mutiara yang a mat indah itu kini telah berubah menjadi setumpuk batu-batu kali biasa! Juga mereka yang duduk dekat meja itu me mandang dengan kaget. Gilakah kepala jaksa itu? Sungguh berani mati me mper ma inkan Kwa Taijin dari kota raja, memberi hadiah berupa batu-batu biasa dikatakannya perhiasan dari batu giok dan mutiara! Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan yang bergelora di hati Kwa Taijin. Dia merasa dipermainkan, bahkan dihina oleh kepala jaksa yang dia dengar merupakan orang paling berkuasa di Thian-cin ini. Dia begitu datang ke Thian- cin dihina dan dijadikan bahan tertawaan oleh kepala jaksa ini! Diangkatnya peti terbuka itu dan dilemparkannya ke atas lantai dengan wajah -berubah merah sekali.
"Brakkkk....!" Peti itu pecah dan isinya, batu-batu kali itu berantakan di atas lantai. Pe mbesar itu lalu me mutar tubuhnya menghadapi Kepala Daerah Teng yang duduk di dekatnya. "Teng Taijin, mari kita pergi!" Dan dia pun me mberi isarat kepada komandan pasukan pengawalnya untuk pergi dari situ tanpa pamit kepada Pui Taijin.
Tentu saja Pui Kian tidak ma mpu bicara apa-apa, saking kagetnya, heran dan takutnya. Baru setelah pembesar itu pergi, dia berjongkok dan me munguti batu-batu itu, menga matinya satu-satu seperti orang kehilangan ingatan.
"Taijin, apakah yang terjadi? Bagaimana bisa menjad i batu- batu ini....?" Suara Ji Ciangkun menyadarkan Pui Taijin dan dia pun cepat me megang tangan Ji Ciangkun.
"Ciangkun, ada..... ada yang tidak beres....." Dan dengan marah sekali, tanpa me mperdulikan betapa para pejabat lainnya sudah berbondong-bondong meninggalkan ruangan itu untuk meningga lkan te mpat itu agar tidak terlibat, Pui Kian lalu berteriak me manggil kepala pasukan pengawalnya.
"Periksa mereka yang semalam berjaga di luar kamarku! Siksa mereka agar mengaku s iapa yang telah mencuri barang- barang dari dalam peti ini. Lakukan penggeledahan di te mpat tinggal mereka!"
Dengan marah akan tetapi juga khawatir sekali Kepala jaksa Pui mengaja k Perwira Ji berunding di dalam kamarnya. Mereka berdua juga melakukan pe meriksa an di dalam kamar itu, akan tetapi tidak nampak tanda-tanda bahwa kamar itu kebobolan. Keduanya menga mbil kesimpulan bahwa yang bermain gila tentu seorang di antara para pengawal!
Kita tinggalkan dulu dua orang pe mbesar yang berunding dengan hati penuh kekhawatiran itu, dan mengikuti perjalanan Kwa Taijin yang dengan muka merah saking marahnya kini menuju ke gedung Kepala Daerah Teng. Karena marah dan juga kesal hatinya, pembesar dari kota raja ini langsung saja me masu ki kamar yang sudah disediakan untuknya dan menyatakan kepada pihak tuan rumah bahwa malam itu dia tidak mau diganggu lagi dan baru pada keesokan harinya dia mulai bekerja! Dia m-dia m Kepala Daerah Teng merasa girang me lihat adanya peristiwa aneh itu. Dia pun menduga bahwa pasti terjadi hal-hal yang luar biasa karena dia tahu bahwa orang she Pui itu kaya raya dan sudah biasa me mberi hadiah kepada atasannya. Tak mungkin Jaksa Pui itu sengaja menghina Kwa Taijin. Hal ini sa ma dengan bunuh diri! Akan tetapi, diam-dia m dia merasa girang karena peristiwa itu mungkin saja akan menjatuhkan Pui Taijin yang menjadi saingan utamanya, atau setidaknya akan mengurangi kekuasaan Pui Taijin sehingga dia sendiri akan ma mpu menge mbangkan kekuasaannya di Thian-cin yang sebenarnya merupakan wilayahnya karena dialah kepala daerah di situ, sedangkan Pui Taijin hanyalah kepala jaksa yang terhitung anak buahnya.
0 oo o -d-w- ooo 0
BIARPUN hatinya marah sekali akhirnya saking lelahnya, Kwa Taijin dapat pulas juga di dalam kamarnya yang mewah, disediakan oleh Kepala Daerah Teng. Akan tetapi lewat tengah ma la m, dia terbangun. Dia terkejut melihat bayangan orang di dalam kamarnya, dan jelas bahwa orang itu menga mbil cap kebesarannya yang terletak di atas meja, lalu orang itu me loncat keluar dari jendela kamarnya. Kwa Taijin bangkit dan mengucek-uce k matanya. Akan tetapi dia tidak bermimpi dan cap kebesaran itu sudah lenyap dari atas meja. Kemudian terdengar suara orang di luar kamarnya, di luar jendela dari mana orang tadi me loncat keluar.
"Aku berhasil menga mbil cap kebesarannya. Cepat larikan cap ini kepada Pui Taijin. Cepat!"
Mendengar suara itu, Kwa Taijin kini yakin bahwa me mang ada maling me masuki kamarnya dan mencuri cap kebesarannya. Dia lalu berteriak-teriak keras
"Maling.....! Maling.....! Tangkap. !!"
Teriakannya disa mbut oleh derap kaki para pengawal yang lari mendatangi. Kwa Taijin sendiri lari ke jendela yang terbuka dan dia melihat bahwa empat orang penjaga yang berada di luar jendela telah roboh pingsan! Gegerlah gedung itu ketika para pengawal lari berserabutan untuk men gejar dan mencari maling itu. Akan tetapi, bayangan maling itu tidak nampak lagi.
"Cepat, antar aku ke rumah Jaksa Pui. Sekarang juga!" Tiba-tiba Kwa Taijin me mberi perintah kepada komandan pengawalnya, "Dan bersiaplah untuk menangkapnya!"
Komandan pengawal itu segera mengumpulkan anak buahnya, dan ditemani oleh Kepala Daerah Teng yang masih merasa bingung dan kaget itu, Kwa Taijin la lu naik keretanya menuju ke rumah gedung Kepala jaksa Pui.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Kepala jaksa Pui Kian ketika dia menerima kedatangan Kwa Taijin bersama Kepala Daerah Teng dan se mua pengawal dari kota raja itu pada waktu lewat tengah ma la m!
Begitu berhadapan dengan Pui Kian, Kwa Taijin mengerutkan alisnya, dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan, telunjuk kanannya menuding ke arah muka kepala jaksa itu, dia me mbentak, "Pengkhianat she Pui! Hayo cepat kau kemba likan Cap besaranku!"
Tentu saja Pui Kian me longo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pembesar tinggi itu. "Cap..... cap kebesaran ?
Apa apa yang taijin maksudkan?"
Sikap dan ucapan ini oleh Kwa Taijin dianggap sebagai sikap pura-pura yang palsu, ma ka kemarahannya ma kin me muncak. "Keparat, kau masih mau berpura-pura lagi setelah menyuruh maling menc uri cap itu dari kamarku? Pengawal, geledah kamarnya dan cari cap itu, dan tahan dia!"