Rajawali Lembah Huai Chapter 28

NIC

“Kita adalah antara calon keluarga sendiri, kenapa harus menipu?” katanya dan dia memberi isarat kepada Lee Siang dan Liu Bi untuk mengikutinya keluar. Guru silat itu bersama belasan orang muridnya lalu mengikuti dari belakang dan ternyata memang para anggota Jang-kiang- pang sudah mulai menyerbu sehingga terjadi perkelahian di pintu gerbang.

Kini, Liu Bi yang berseru nyaring kepada anak buahnya, “Tahan senjata!”

Melihat betapa ketua mereka dalam keadaan selamat, juga di situ terdapat pula Lee Siang, para anggota Jang-kiang-pang mundur dan berteriak-teriak dengan gembira. Mereka terdiri dari puluhan orang laki-laki dan wanita.

Liu Bi sekarang memimpin dan di sebelahnya berdiri Lee Siang dan Cu Goan Ciang. Para anak buah Jang-kiang-pang berdiri di belakang mereka. Dengan mata berkilat kini Liu Bi berdiri tegak, pedang di tangan kanan dan telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka Kwa- kauwsu.

“Orang she Kwa, engkau manusia curang tak tahu malu. Sekarang tinggal engkau pilih, hendak mengadakan pertempuran mati-matian dan aku akan mengerahkan seluruh orangku untuk membakar dan membasmi perkampunganmu, atau kita mengadu kepandaian secara orang gagah tanpa ada pengeroyokan dan kecurangan lain!” Sikap ketua Jang-kiang-pang itu gagah sekali.

Kwa-kauwsu marah bukan main dan memandang kepada Cu Goan Ciang. “Orang she Cu, kiranya engkau telah menipu kami! Keparat busuk, siapa engkau sebenarnya?”

Goan Ciang tersenyum. “Kami tidak menipumu, Kwa-kauwsu, hanya mengimbangi siasatmu yang licik. Aku bernama Cu Goan Ciang dan sahabat dari nona Kim Lee Siang. Engkau menawan ketua Jang-kiang-pang dengan menggunakan kecurangan, melakukan pengeroyokan. Nah, sekarang kami menantangmu untuk mengadu kepandaian sebagai orang gagah, atau engkau lebih menginginkan diserang habis-habisan?” Kini ketua Jang-kiang-pang baru tahu akan kecerdikan pemuda yang mengaku kakak misannya itu yang ternyata mempergunakan siasat yang nampaknya mengalah dan lunak, hanya untuk menanti datangnya bala bantuan.

“Cu-twako,” katanya dengan sikap manis dan tidak ragu-ragu menyebut pemuda itu twako, “terima kasih atas bantuanmu. Akan tetapi tidak perlu twako terlibat, biar aku sendiri yang akan menghajar pengecut Kwa ini. Hayo, Kwa Teng, kita bertanding satu lawan satu! Orang macam engkau ingin memperisteri aku? Sungguh tidak tahu malu!”

Tentu saja Kwa-kauwsu marah bukan main. Dia telah dihina oleh Liu Bi di depan semua muridnya. Pada hal tadinya dia sudah mengumumkan bahwa ketua Jang-kiang-pang akan menjadi isterinya. Akan tetapi, ketika dia mengeroyok ketua itu dengan para murid andalannya, dia tahu bahwa Jang-kiang Sianli Liu Bi amat lihai dan kalau dia seorang diri menandinginya, belum tentu dia akan menang. Untuk mengadakan pertempuran, biarpun pihaknya memiliki anak buah yang lebih banyak, namun para anggota Jang-kiang-pang rata- rata lihai dan selain itu, yang amat berbahaya baginya adalah mengingat bahwa para pimpinan Jang-kiang-pang mempunyai hubungan baik sekali dengan para pejabat di Wu-han sehingga kalau terjadi pertempuran, tentu pasukan keamanan pemerintah akan berpihak kepada Liu Bi. Hal ini akan merupakan malapetaka baginya. Dia menjadi serba salah. Lalu dengan mata melotot dia menghadapi Cu Goan Ciang.

“Orang she Cu! Engkau yang menjadi biang keladi dengan menipuku sehingga terjadi pertentangan ini. Aku, Kwa Teng, menantang Cu Goan Ciang sebagai sama-sama laki-laki untuk mengadu ilmu di sini, disaksikan oleh semua anak buah kedua pihak!”

“Kwa Teng, manusia curang! Yang bermusuhan adalah engkau dan aku! Cu-twako ini adalah orang luar. Akulah yang akan menandingimu, bukan orang lain!” kata Liu Bi yang merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan kalah karena ia tahu bahwa tingkat kepandaian guru silat itu sudah tinggi, bahkan tidak banyak selisihnya dengan ia sendiri. Akan tetapi, biarpun Lee Siang sendiri belum pernah menguji ilmu kepandaian Goan Ciang, gadis ini sudah melihat betapa pemuda itu dapat berlari cepat, bahkan memiliki tenaga lebih kuat dari padanya. Maka iapun berkata dengan senyum bangga.

“Suci, biarkan Cu-twako memberi hajaran kepada manusia sombong dan curang itu!”

Mendengar ucapan sumoinya, Liu Bi percaya bahwa pemuda itu agaknya boleh diandalkan, maka iapun tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, agaknya Kwa-kauwsu tidak berani menantang aku, maka menantang Cu-twako. Biar aku menjadi penonton saja atau menunggu siapa di antara pihak Yang-ce Bu-koan yang akan berani menantangku.”

Cu Goan Ciang lalu maju menghadapi ketua atau guru dari Yang-ce Bu-koan yang marah itu. Guru silat itu memegang sebatang golok besar yang mengkilap saking tajamnya, akan tetapi Goan Ciang tidak memegang senjata. Melihat ini, Lee Siang berkata, “Twako, pakailah pedangku ini!”

Goan Ciang menoleh dan tersenyum kepadanya. “Tidak perlu, Siang-moi, terima kasih. Aku tidak biasa menggunakan pedang atau senjata lain.” Tadinya dia dan Lee Siang saling menyebut twako dan siauwmoi hanya untuk bersandiwara dan bersiasat kepada Kwa-kauwsu, akan tetapi sekarang rasanya canggung kalau mengubah sebutan yang sudah akrab itu. Melihat betapa Cu Goan Ciang menghadapinya dengan tangan kosong, guru silat Kwa menjadi semakin marah, merasa dipandang rendah. “Orang she Cu, keluarkan senjatamu!” tantangnya.

Cu Goan Ciang memandang kepadanya dengan sikap tenang. “Kwa-kauwsu, aku tidak perlu menggunakan senjata menghadapimu. Aku bukan orang yang suka mempergunakan senjata dan kekerasan untuk memaksakan kehendakku, apa lagi memaksa wanita yang tidak suka untuk menjadi isteriku. Biar kulawan engkau dengan tangan kosong saja.”

“Manusia sombong! Keluarkan senjatamu atau jangan katakan aku curang kalau nanti tubuhmu lumat oleh golokku ini!” Dia membentak sambil mengamangkan goloknya yang besar, berat dan mengkilap.

“Majulah, Kwa-kauwsu. Dalam suatu pertandingan, kalah atau menang adalah hal wajar, terluka atau matipun tidak perlu dibuat penasaran lagi. Aku sudah siap menghadapi golokmu dengan tangan kosong!” kata Cu Goan Ciang pula. Memang pemuda ini, sejak menerima ilmu Sin-tiauw ciang-hoat (Silat Rajawali Sakti), ilmu yang khas dari Lauw In Hwesio, tidak perlu lagi mempergunakan senjata. Ilmu silat itu bahkan lebih cocok dimainkan dengan tangan kosong, karena seperti gerakan seekor rajawali, tangan itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk memukul dan menotok, namun juga mencengkeram dan keampuhan tangan dari ilmu itu tidak kalah hebatnya dibandingkan senjata yang bagaimanapun.

Kwa-kauwsu agaknya sekali ini ingin bersikap gagah. Dia memandang ke sekeliling dan berkata dengan suara lantang. “Kalian semua menjadi saksi. Dia sendiri yang menantang golokku dengan tangan kosong, dia sendiri yang mencari mati, jangan ada yang menyalahkan aku nanti. Cu Goan Ciang, bersiaplah menyambut seranganku.”

Kedua orang itu saling berdiri berhadapan dan dengan sendirinya semua orang kedua pihak membentuk lingkaran yang lebar dan bersikap di pihak masing-masing, menonton dengan hati tegang. Guru silat itu memasang kuda-kuda yang gagah, dengan golok melintang di atas kepala, siap untuk menyerang, sedangkan Cu Goan Ciang masih nampak santai saja, berdiri tegak dan mengikuti gerakan lawan yang mengitarinya dengan sudut matanya. Sikap Goan Ciang seperti seekor burung rajawali yang mengintai gerakan seekor ular yang mengitarinya dan yang mengancamnya, demikian tenang namun waspada dan setiap jaringan syaraf di tubuhnya menegang.

Setelah mengitari lawan sampai dua kali putaran, tiba-tiba Kwa-kauwsu mengeluarkan bentakan nyaring, “Hyaaaatttt...!!” dan goloknya menyambar dari samping kanan Goan Ciang, menyambar dari atas ke arah leher lawan. Terdengar bunyi berdesing diikuti sambaran angin saking tajam dan cepatnya golok itu menyambar. Golok itu lenyap berubah menjadi sinar terang yang menyambar, dan semua orang menahan napas karena agaknya akan sukar menghindarkan diri dari bacokan golok sehebat itu.

“Singg. !” Golok itu mengenai tempat kosong karena dengan mudah dan ringannya tubuh

Posting Komentar