Rajawali Lembah Huai Chapter 26

NIC

“Aku tidak takut!” kembali Lee Siang berkata tegas.

“Bukan soal berani atau takut, nona. Akan tetapi, apa artinya kalau kita berdua gagal? Kita mungkin tertangkap atau tewas, akan tetapi yang jelas, kegagalan, kita tidak akan menolong sucimu itu. Lalu apa artinya usaha yang sia-sia itu?”

“Habis, bagaimana? Apakah aku harus berpangku tangan mendiamkan saja suci ditawan mereka?”

“Tentu saja tidak, nona. Kita memang harus berusaha untuk menolong sucimu, akan tetapi tidak secara ceroboh yang akhirnya bukannya berhasil malah membahayakan diri sendiri. Kita harus mempergunakan akal agar dapat berhasil.”

Kalau tadinya wajah gadis itu muram dan marah, kini wajah itu beresri karena baru ia tahu akan maksud pemuda yang dikaguminya itu. “Ah, engkau benar sekali, Cu-enghiong! Akan tetapi akal apa yang dapat kita pergunakan untuk menolong suci?”

“Mulai saat ini, engkau harus menyebut aku twako dan aku menyebutmu siauw-moi agar orang menduga bahwa di antara kita masih ada hubungan kekeluargaan. Kita datangi mereka dan tentu mereka sudah tahu bahwa engkau adalah sumoi dari ketua Jang-kiang-pang, akan tetapi mereka belum mengenalku. Nah, aku akan mengaku bahwa aku adalah seorang kakak misan dari sucimu. Aku akan menuntut agar kalau kepala Yang-ce Bu-koan sungguh-sungguh mencintai sucimu, dia harus mengajukan pinangan kepara aku sebagai walinya, agar perjodohan itu dilakukan secara terhormat. Serahkan saja kepadaku kalau sudah berhadapan dengan dia. Yang terpenting, kita dapat membebaskan sucimu terlebih dulu, bukan? Ini masih jauh lebih mengandung harapan berhasil dari pada kalau kita menyerbu secara kekerasan.”

Wajah gadis itu bersinar-sinar penuh harapan dan kekaguman. “Ahhh, Cu-enghiong... ah, maksudku, twako, siasatmu sungguh bagus sekali! Mudah-mudahan saja berhasil. Engkau benar, yang terpenting adalah membebaskan suci lebih dahulu dari tangan mereka. Kalau suci sudah bebas, hemm... mereka mau mengajak perang sekalipun, boleh!

“Nona... eh, siauw-moi, mulai sekarang biarlah aku yang nanti bicara dengan mereka. Engkau mudah terpengaruh emosi sehingga dapat menggagalkan rencana kita.”

Lee Siang tersenyum dan dalam pandangan Goan Ciang, belum pernah dia melihat wajah semanis itu. “Baiklah, toako.”

Tak lama kemudian mereka berdua sudah tiba di satu-satunya dusun yang berada di lereng Bukit Kijang. Di dusun itulah adanya perguruan silat Yang-ce Bu-koan (perguruan silat sungai Yangce) yang mengambil namanya dari sungai besar yang mengalir di kaki bukit. Semua penghuni dusun itu seolah-olah menjadi anggota perguruan itu karena mereka semua, yang muda-muda, menjadi murid perguruan itu, di samping murid yang berdatangan dari kota dan dusun lain. Karena itu, ketika penghuni dusun melihat munculnya Kim Lee Siang yang mereka kenal sebagai sumoi dari ketua Jang-kiang-pang, suasana menjadi gempar dan muncullah belasan orang jagoan perguruan itu, menghadang.

Melihat sikap mereka, Goan Ciang segera berkata dengan suara yang lantang dan berwibawa. “Hemm, beginikah caranya orang-orang Yang-ce Bu-koan menyambut calon keluarganya?

Aku, Cu Goan Ciang, adalah kakak misan dari ketua Jang-kiang-pang Liu Bi yang sudah yatim piatu, aku adalah walinya dan aku ingin bicara dengan Kwa-kauwsu tentang perjodohan itu! Apakah pantas kalau aku disambut seperti seorang musuh?”

Mendengar ucapan yang lantang dan terdengara berwibawa itu, belasan orang jagoan Yang-ce Bu-koan tertegun dan bimbang. Seorang di antara mereka lalu maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Goan Ciang dan Lee Siang. Bagaimana juga, yang datang dari Jang-kiang-pang hanya dua orang, tidak perlu ditakuti.

“Maafkan sikap kami, karena kedatangan ji-wi tanpa memberi kabar lebih dahulu, kami tidak menyambut secara pantas. Kalau ji-wi hendak bicara tentang perjodohan, kami persilahkan ji- wi untuk mengikuti kami bertemu dengan suhu kami.”

Dengan sikap gagah Goan Ciang dan Lee Siang mengikuti mereka menuju ke sebuah bangunan besar yang megah. Di depan bangunan itu terpancang sebuah papan nama perkumpulan yang ditulis dengan huruf-huruf besar dan gagah “Yang-ce Bu-koan”.

Agaknya telah ada anggota perguruan silat itu yang telah memberi laporan kepada Kwa- kauwsu (guru silat Kwa), karena ketika dua orang tamu itu tiba di depan rumah yang pekarangannya luas, guru silat itu telah menyambut dan berdiri di atas lantai bertangga dengan sikap gagah. Sambil melangkah maju menghampiri tuan rumah, Goan Ciang memandang penuh perhatian. Guru silat itu memang gagah. Tubuhnya tinggi besar dengan perut yang gendut, nampak kokoh seperti baru karang dan usianya sekitar empat puluh lima tahun, matanya lebar bulat dan hidungnya besar, bibirnya tebal. Tidak tampan memang, akan tetapi nampak jantan dan menyeramkan bagi lawan. Pakaiannya berwarna biru, potongannya ringkas seperti pakaian ahli silat, dengan lengan baju digulung sampai ke siku sehingga nampak sepasang lengan yang berotot dan berbulu dengan jari-jari yang panjang besar dan kasar. Bukan penampilan yang dapat menarik hati wanita, maka Goan Ciang tidak heran mengapa ketua Jang-kiang-pang menolah lamaran laki-laki ini.

Untung bahwa Goan Ciang sudah memesan kepada Lee Siang untuk diam saka dan membiarkan dia yang bicara dengan guru silat itu, karena kalau saja tidak demikian, begitu bertemu dengan Kwa-kauwsu, tentu Lee Siang akan langsung memakinya atau bahkan menyerangnya untuk menuntut dibebaskannya sucinya. Gadis itu menahan diri dan diam saja. Sementara itu, Kwa-kauwsu yang sudah mengenal Lee Siang mengetahui bahwa gadis itu adalah sumoi dari ketua Jang-kiang-pang yang membuatnya tergila-gila, akan tetapi dia tidak mengenal Cu Goan Ciang walaupun tadi dia sudah mendengar laporan bahwa Cu Goan Ciang adalah kakak misan dari calon isterinya!

“Selamat datang, Nona Kim Lee Siang, atau lebih tepat kusebut adik Kim Lee Siang saja? Dan siapakah saudara yang datang berkunjung?” Dia pura-pura tidak tahu dan bertanya kepada Goan Ciang sambil merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.

Cu Goan Ciang membalas penghormatan itu sedangkan Lee Siang diam saja. Sambil tersenyum ramah Goan Ciang berkata, “Aku bernama Cu Goan Ciang, dan aku adalah kakak misan dari adikku Liu Bi yang sudah bertahun-tahuntidak kujumpai. Ketika aku datang berkunjung, aku mendengar tentang peristiwanya dengan Yang-ce Bu-koan! Aku ingin sekali bertemu dengan guru silat dari bu-koan ini untuk membicarakan urusan itu.”

“Akulah Kwa Teng atau disebut Kwa-kauwsu pemilik Yang-ce Bu-koan,” kata guru silat itu sambil membusungkan dada. “Aku adalah calon suami nona Liu Bi ketua Jang-kiang-pang!”

“Ah, kalau begitu aku berhadapan dengan calon adik iparku!” kata Cu Goan Ciang sambil memberi hormat lagi. “Akan tetapi aku mendengar bahwa telah terjadi keributan dan perkelahian antara engkau dan adik misanku Liu Bi, benarkah itu? Dan engkau bahkan telah menawannya? Bagaimana pula ini?”

Guru silat itu tertawa. “Ha-ha-ha, hanya ada sedikit perselisihan. Calon isteriku itu tadinya memandang rendah kepadaku dan menantang untuk mengadu kepandaian dengan janji ia akan mau menjadi isteriku kalau aku mampu mengalahkannya. Nah, ia telah kalah dan kini ia sudah berada di sini, tinggal menanti dirayakannya pernikahan kami.”

Cu Goan Ciang mengerutkan alisnya. “Aih, Kwa-kauwsu, tindakanmu itu salah besar dan hanya akan merugikan nama besarmu sendiri saja. Seyogyanya engkau tidak menyanderanya dan setelah ia kalah, kalau engkau mengajukan pinangan secara terhormat, tentu kelak ia akan menjadi isterimu yang setia dan baik. Sebaliknya kalau secara menyandera begini, apa akan kata dunia kang-ouw? Engkau tentu dianggap sebagai seorang penculik dan pemaksa, dan adik misanku tidak akan merasa terhormat, bagaimana akan dapat menjadi isterimu yang mencinta? Juga, tentu para saudaranya akan memusuhimu dan permusuhan takkan pernah berhenti, mengganggu ketenteraman hidupmu.”

Kwa-kauwsu tertegun. Tentu saja dia tahu akan hal itu. Akan tetapi tidak ada jalan lain baginya. Mula-mula, dia mengajukan pinangan secara resmi terhadap ketua Jang-kiang-pang yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi utusannya yang melakukan lamaran itu ditolak bahkan dihina. Lalu dia membuat surat tantangan, menantang Nona Liu Bi untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) di hutan bambu kuning. Dengan pengeroyokan para muridnya yang jumlahnya jauh lebih banyak, dia berhasil merobohkan lima orang anak buah gadis ketua itu dan menawannya, lalu membawanya pulang. Karena sudah dikalahkannya, dia akan memaksa Liu Bi menjadi isterinya. Tentu saja dia sendiri tidak menyukai cara pernikahan seperti ini yang mengandung paksaan, akan tetapi dia tidak melihat cara lain yang memungkinkan dia menikah dengan gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Dia sendiri seorang duda dan ketika dia melihat ketua Jang-kiang-pang, seketika dia jatuh cinta dan tergila-gila.

“Hemm, saudara Cu, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan untuk dapat menikah dengan Nona Liu Bi secara terhormat?”

Posting Komentar