“Namaku Kim Lee Siang, membantu suci yang bernama Liu Bi dan dijuluki Jang-kiang Sianli (Dewi Sungai Panjang) memimpin perkumpulan kami Jang-kiang-pang. Markas kami berada di lembah sungai Yang-ce.”
“Ah, kiranya nona Kim adalah seorang pemimpin perkumpulan besar. Pantas saja para prajurit itu menghormatimu. Nah, harap nona suka menyampaikan terima kasihku kepada ketua Jang-kiang-pang atas pertolongan yang diberikan kepadaku hari ini. Mudah-mudahan lain kali aku akan dapat membalas budi itu. Sekarang, aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Engkau hendak pergi ke manakah, Cu-enghiong?”
“Ke mana saja nasib membawa diriku, nona. Yang jelas, aku tidak mungkin dapat tinggal di Wu-han lagi.”
“Cu-enghiong, ketahuilah bahwa markas besar pasukan di Wu-han amat kuat dan mempunyai banyak orang pandai. Mereka tentu tidak akan berhenti sebelum dapat menemukanmu dan mereka pasti akan mengirim pasukan untuk melakukan pengejaran. Ke kota manapun engkau pergi, tentu akan dikejar-kejar. Oleh karena itu, kalau engkau suka, sebaiknya engkau bersembunyi dulu di tempat kami. Nanti setelah keadaan mereda dan tidak begitu hangat lagi, pencarian terhadap dirimu mengendur, barulah engkau dapat melanjutkan perjalananmu.”
“Ah, aku hanya akan merepotkanmu saja, nona Kim.”
“Sama sekali tidak! Suci dan aku akan merasa girang menerimamu sebagai tamu kami. Kami menghargai orang-orang gagah, apa lagi engkau sudah membuktikan bahwa engkau membela para pekerja kasar di bandar. Tentu suci akan menghargaimu pula. Dan engkau akan lepas dari ancaman bahaya pengejaran.”
Goan Ciang mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa gadis ini bicara benar. Kalau dia melarikan diri, tentu ke manapun dia pergi, dia akan selalu terancam bahaya karena dia seorang pelarian yang akan dikejar oleh pasukan keamanan. Memang sebaiknya kalau dia mendapatkan tempat bersembunyi yang aman selama beberapa waktu. Dia dapat melihat bagaimana perkembangannya. Kalau sekiranya dia tidak terlalu merepotkan orang, sebaiknya dia bersembunyi di perkumpulan itu. Andai kata perkembangannya tidak enak, sewaktu-waktu dia dapat pergi meninggalkan tempat itu.
“Baiklah, nona Kim. Dan kembali terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi, dari sini biarlah aku berjalan kaki saja,” katanya dan dia melihat betapa gadis itu nampak tersipu, tentu teringat betapa tadi mereka duduk berhimpitan, seperti sepasang pengantin saja.
Kim Lee Siang mengangguk dan iapun memasuki jolinya, kemudian memerintahkan para pemikul joli dan pengiringnya untuk bergerak cepat. Ketika para pemikul joli dan dua belas orang pengiring itu mulai berlari, diam-diam Goan Ciang kagum. Ternyata bahwa mereka semua, juga empat orang pemikul joli, bukan orang-orang sembarangan. Diapun mengikuti dari belakang dan betapa cepatnyapun mereka berlari, Goan Ciang dapat mengikuti mereka.
Rombongan baru berhenti berlari ketika mereka tiba di depan pintu gerbang sebuah perkampungan yang dikurung pagar tembok, di tepi sungai yang tinggi, merupakan tebing sungai. Di situlah markas Jang-kiang-pang. Karena letaknya di tebing sungai, maka tempat itu tidak pernah terancam banjir kalau musim hujan tiba dan air sungai meluap. Juga daerah perbukitan itu memiliki tanah yang subur. Tidak nampak dusun lain di daerah itu. Agaknya Jang-kiang-pang telah menguasai daerah itu sehingga tidak ada orang lain yang berani menempati daerah itu.
Setelah tiba di pintu gerbang, joli diturunkan dan Kim Lee Siang keluar dari dalam joli. Empat orang pemikul joli dan dua belas orang pengiringnya agak terengah dan mereka semua menghapus keringat dari muka dan leher. Akan tetapi ketika Lee Siang mengerling kepada Goan Ciang, ia melihat pemuda itu sama sekali tidak terengah dan tidak berkeringat, maka diam-diam ia yang tadi sengaja hendak menguji pemuda itu, merasa kagum dan tersenyum manis.
“Mari, Cu-enghiong, kita menghadap ketua kami. Kuperkenalkan kepada suciku,” katanya dan Cu Goan Ciang mengangguk, lalu mengikuti gadis itu memasuki perkampungan yang menjadi pusat perkumpulan itu. Setiap orang anggota perkumpulan, laki-laki dan wanita, yang bertemu dengan Lee Siang, memberi hormat dengan sikap ramah, akan tetapi mereka semua memandang kepada Goan Ciang dengan sinar mata curiga.
Gedung yang berada di tengah perkampungan itu, berbeda dengan bangunan-bangunan lain yang berada di situ, selain besar juga megah. Ketika Cu Goan Ciang mendaki tangga di samping Lee Siang dan tiba di ruanga luar, dia sudah melihat adanya perabot rumah yang serba mewah, pot-pot kembang yang indah, meja kursi yang terukir, tembok yang dicat bersih dan dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Dua orang wanita yang berpakaian ringkas, agaknya merupakan pengawal rumah itu, segera menyambut mereka dan kedua orang gadis manis itu memberi hormat kepada Lee Siang.
“Di mana pangcu (ketua)?” tanya Lee Siang kepada mereka.
Sambil mengerling ke arah Goan Ciang dengan pandang mata heran, seorang di antara dua pengawal itu menjawab, “Siocia, pangcu sejak pagi tadi pergi ke hutan bambu kuning dan pangcu memesan agar siocia cepat menyusul ke sana.”
Lee Siang terbelalak, nampak kaget sekali. “Apakah sudah datang tantangan dari mereka?”
“Agaknya demikianlah, siocia. Pangcu tidak menceritakan kepada kami hanya memesan agar kami melakukan penjagaan ketat di sini, dan pangcu pergi bersama Ngo-liong Ci-moi (kakak beradik lima naga).”
“Ah, kalau begitu aku harus cepat menyusulnya. Mari, Cu-enghiong, mari kita pergi, mungkin aku membutuhkan bantuanmu. Nanti dalam perjalanan kuceritakan!” kata Lee Siang dan iapun berlari keluar dari situ. Cu Goan Ciang hanya mengikuti saja, dan setelah tiba di luar pintu gerbang, Lee Siang berlari cepat sekali. Goan Ciang kagum dan diapun mempercepat larinya, menuju ke barat, menyusuri sungai Yang-ce yang lebar.
“Perlahan dulu, nona. Aku perlu mengetahui duduknya perkara sebelum dapat membantumu,” kata Goan Ciang dan Lee Siang menghentikan larinya, akan tetapi masih berjalan terus, didampingi oleh Goan Ciang. Sambil berjalan, gadis itu bercerita.
“Tidak ada waktu untuk bicara panjang lebar, Cu-enghiong. Di Bukit Kijang, tak jauh dari sini, tinggal seorang tokoh kang-ouw she Kwa yang mengetuai perguruan silat Yang-ce Bu- koan. Beberapa bulan yang lalu, ketua Kwa meminang suci, akan tetapi ditolak keras oleh suci sehingga mereka tersinggung dan selalu mengambil sikap bermusuhan dengan kami. Dan pernah ketua Kwa mengancam akan menantang suci untuk mengadu ilmu karena penolakan suci dianggapnya suatu penghinaan. Nah, kukira sekarang ini suci menyambut tantangannya. Kabarnya ketua Kwa itu lihai seklai, maka aku mengkhawatirkan keselamatan suci. Kuharap engkau suka membantu kami kalau diperlukan.” Goan Ciang mengangguk dan mengerutkan alisnya yang tebal. “Sungguh tidak tahu malu. Pinangan ditolak mengapa lalu marah-marah dan menimbulkan permusuhan?” dia mengomel, tak puas dengan sikap orang she Kwa itu.
Kini Lee Siang berlari lagi dan Goan Ciang juga tidak banyak bertanya. Mereka berlari cepat dan tak lama kemudian mereka telah memasuki sebuah hutan. Mudah diduga bahwa inilah yang dinamakan hutan Bambu Kuning karena di situ memang banyak tumbuh bambu kuning di samping pohon-pohon lain.
Ketika mereka tiba ditengah hutan, di mana terdapat tempat terbuka dengan petak rumput tebal, dan betapa kaget rasa hati mereka ketika melihat lima orang wanita rebah malang melintang di tempat itu, dan suasana sepi sekali walaupun masih nampak bekas pertempuran terjadi di tempat itu. Banyak darah melumuri rumput yang terinjak-injak, senjata tajam berserakan.
“Ngo-liong Ci-moi...!” Lee Siang berseru kaget dan cepat ia menghampiri mereka. Ternyata tiga orang di antara mereka telah tewas, seorang terluka parah dan seorang lagi terluka ringan, akan tetapi tidak mampu bergerak karena dalam keadaan tertotok. Agaknya baru saja mereka bertanding melawan musuh yang pandai.
Setelah membebaskan totokan kedua orang yang terluka itu Lee Siang cepat bertanya, “Apa yang terjadi? Mana pangcu?”
Wanita yang terluka parah di dadanya merintih, “Pangcu... tertawan mereka... cepat tolong ia, siocia...” Dan iapun terkulai dan tewas pula.
Lee Siang meloncat ke orang yang terluka ringan dan menguncangnya. “Siapa yang menawan suci? Orang-orang Yang-ce Bu-koan?”
Wanita itu menangis lirih dan sudah bangkit duduk. “Pangcu ditawan Kwa-kauwsu (guru silat Kwa), dan kami berlima dikeroyok belasan orang anak buahnya.”
Lee Siang bangkit berdiri, mukanya berubag merah dan ia mengepal tinju. “Keparat orang she Kwa! Enci Ciu, cepat kau pulang dan kerahkan semua saudara kita untuk menyerbu Yang-ce Bu-koan. Aku pergi dulu menolong suci!”
“Baik, siocia,” kata wanita itu yang masih menangisi empat orang saudaranya yang tewas. Biarpun hatinya hancur karena belum sempat mengurus jenazah empat orang saudaranya, terpaksa ia cepat berlari pulang untuk minta bala bantuan. Sementara itu, Lee Siang menghadapi Goan Ciang.
“Cu-enghiong, kami menghadapi urusan besar. Aku akan mencoba untuk menolong suci. Akan tetapi pekerjaan ini berbahaya sekali. Aku tidak berani memaksamu unutk membantu tetapi kalau engkau sudi membantuku, aku akan berbesar hati dan berterima kasih sekali.”
“Nona Kim, kenapa berkata demikian? Bukankah katamu sudah sepatutnya kalau kita saling bantu? Tentang bahaya, sudah sering aku terancam bahaya. Mari kita kejar mereka yang menawan sucimu itu.”
Pandang mata gadis itu berkilat penuh harapan dan kegembiraan, lalu iapun meloncat dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari cepat secepat mungkin. Namun, dengan kagum ia melihat betapa pemuda itu selalu dapat mengimbanginya, bahkan nampaknya tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
“Nona, harap berhenti dulu,” tiba-tiba Goan Ciang berkata dan gadis itu menahan larinya, berhenti dan memandang kepada pemuda itu. Ia mengusap keringat dari lehernya karena tadi mengerahkan seluruh tenaga untuk berlari cepat.
“Ada apakah, Cu-enghiong?”
“Nona, kurasa amat ceroboh kalau kita hanya langsung saja mendatangi Yang-ce Bu-koan, menghadapi mereka yang berjumlah banyak.”
Gadis itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah, “Aku tidak takut! Untuk menolong suci, aku rela mempertaruhkan nyawaku! Apakah engkau merasa jerih? Kalau engkau takut, biar aku sendiri yang akan menolongnya!”
Goan Ciang tersenyum. “Bukan takut, nona. Akan tetapi aku khawatir kita berdua akan gagal kalau menghadapi demikian banyaknya lawan...”