“Baiklah, paman Yo. Maafkan aku yang naik darah melihat betapa mandor gendut itu memotong semua gaji para kuli dengan lima keping, pada hal gaji mereka sehari hanya lima belas keping. Lebih gila lagi, mandor itu memotong gaji seorang kuli sebanyak lima puluh keping, katanya untuk mengganti barang rusak yang jatuh karena ditabrak anjing.”
Beberapa saat lamanya, Yo Ci diam saja dan menarik napas beberapa kali, lalu berkata, “Aku mengerti perasaanmu, sicu. Memang sepintas lalu nampak betapa aturan yang kami tentukan itu kejam dan memeras. Akan tetapi ketahuilah bahwa hal itu kami lakukan dengan terpaksa karena kami harus membayar pajak besar kepada para pejabat pemerintah di kota ini. Semua yang kami terima dari pajak itu tidak masuk ke kantong kami, melainkan ke kantong para pejabat. Kami hanya pemungut pajak saja.”
“Kalau begitu, untuk apa diadakan mandor yang mengurusi para kuli? Biarkan mereka bekerja sendiri dan menerima upah dari pemilik barang yang mereka bongkar dan muat.”
Yo Ci menggeleng kepala. “Hal itu tidak mungkin dilakukan, sicu. Kalau dibiarkan demikian, tentu akan timbul kekacauan dan perkelahian di bandar. Mereka akan berebut muatan, bersaing upah dan memperebutkan kekuasaan untuk menjadi kepala. Dengan adanya aturan yang kami adakan, mereka semua dapat bekerja dan tidak pernah terjadi keributan.”
“Tapi mereka diperas namanya. Upah lima belas keping sudah terlalu kecil, tidak cukup untuk hidup mereka yang sudah mempunyai anak-isteri, untuk diri sendiripun hanya cukup untuk makan. Bagaimana mungkin dapat hidup kalau upah sekecil itu dipotong lima keping lagi? Ini tidak adil! Untuk apa para pejabat itu diberi uang? Apakah itu sudah menjadi peraturan pemerintah?”
Yo Ci menggeleng kepala. “Agaknya engkau tidak tahu, sicu. Setiap daerah mempunyai penguasa dan dia yang menentukan peraturan sesuai dengan seleranya. Itulah wewenangnya. Yang menentukan peraturan di bandar tentu saja penguasa bandar itu. Kami hanya membantu kelancaran aturan itu, bahkan, dengan usaha kami ini, maka keamanan para kuli itu terjamin.”
Goan Ciang yang belum berpengalaman, mendengar hal seperti itu merasa penasaran bukan main. Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan menghadapi penguasa, yaitu pejabat pemerintah? Seorang diri saja, bagaimana mungkin dia menentang kekuasaan pejabat yang tentu mempunyai pasukan yang besar dan amat kuat? Sama dengan seekor capung hendak merobohkan tembok.
Melihat pemuda itu termenung dengan alis berkerut tanda penasaran, Yo Ci lalu menghiburnya. “Cu-sicu, semua orang juga merasa penasaran, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan terhadap pemerintah? Kalau engkau ingin melindungi para pekerja kasar itu, bagaimana kalau engkau kuberi pekerjaan sebagai kepala dari seluruh mandor yang berada di sana? Dengan adanya engkau yang menjadi kepala, semua mandor tentu tidak akan berani berlaku curang dan tidak berani merugikan para pekerja di bandar. Dan kami akan memberi upah besar kepadamu, juga rumah tinggal yang lengkap.”
Diam-diam Cu Goan Ciang terkejut mendengar penawaran yang amat menguntungkan dirinya itu. Dari seorang pemuda miskin setengah gelandangan, tiba-tiba dia menjadi kepala semua mandor dan mendapat upah besar dan rumah tinggal! Akan tetapi bukan itu yang dia cari.
Cita-citanya lebih besar dari sekedar menjadi kepala mandor!
“Cu-sicu, engkau tidak perlu tergesa-gesa menerima penawaranku. Engkau tinggallah dulu di sini beberapa lamanya dan pertimbangkan baik-baik penawaranku tadi. Sementara itu, engkau boleh mempelajari keadaan di bandar agar kalau engkau menerima tawaranku, seketika engkau sudah menguasai keadaan dan hafal akan lingkungan di bandar.”
Cu Goan Ciang yang masih bimbang itu mengangguk. Akan tetapi, di dalam hatinya, dia bukan minta waktu untuk mempertimbangkan penawaran kedudukan itu, melainkan minta waktu agar dia dapat menyelidiki keadaan di bandar dan mendapat jalan bagaiman sebaiknya untuk menolong nasib para pekerja kasar di sana.
Yo Ci lalu menjamu Goan Ciang dengan hidangan yang mewah, kemudian pelayan mengantarnya ke sebuah kamar yang disediakan untuk dia selama tinggal di gedung itu.
“Kongcu,” kata pelayan itu, “di dalam almari itu terdapat pakaian yang sengaja disediakan oleh Yo-loya untuk kongcu pakai.”
Setelah pelayan itu pergi, Goan Ciang berdiri tertegun, mengagumi kamar yang indah itu. Bagaikan seorang anak kecil menemukan mainan baru, dia mencoba duduk di kursi yang terukir itu, mencoba rebah di dipan yang lunak, dan membuka almari melihat dengan mata terbelalak pakaian yang terbuat dari sutera halus, lengkap dan ketika dicobanya, ukurannyapun tepat dengan tubuhnya!
Mulai hari itu, Goan Ciang tinggal di rumah Yo Ci, diperlakukan sebagai seorang tamu yang terhormat. Setiap hari dia pergi meninggalkan rumah itu menuju ke bandar untuk melakukan penyelidikan. Dia merasa heran sekali melihat betapa dua puluh orang pekerja yang kemarin dibantunya, kini acuh saja melihatnya, bahkan membuang muka seolah tidak mengenalnya lagi. Mandor gendut juga tidak ada, diganti seorang mandor yang kurus dan nampak ramah. Dalam pengamatannya, dia mendapat kenyataan bahwa semua pekerja itu bekerja dengan tertib dan rajin, dan memang tidak pernah terjadi keributan di situ karena semua pekerja takut kepada para pengawal atau tukang pukul. Dan memang keamanan terjaga, tidak ada barang yang hilang, tidak pernah terjadi pencurian. Akan tetapi, dia melihat pula bahwa dalam segala bidang diadakan uang pungutan atau semacam pajak yang besar. Hal ini dia ketahui ketika dia mendekati para pemilik perahu. Biarpun takut-takut, para pemilik perahu inilah yang menceritakan kepada Goan Ciang bahwa setiap orang pemilik perahu harus menyerahkan sebagian dari hasil penyewaan perahunya kepada penguasa melalui anak buah Yo-loya.
Bukan hanya pemilik perahu yang dikenakan pajak, juga pemilik barang. Baik barang yang masuk di bandar itu, maupun yang keluar, semua dikenakan pajak yang besar jumlahnya. Hal ini,menurut tukang perahu, membuat pekerjaan mereka tidak lancar. Terpaksa tukang perahu menaikkan tarip sewa perahum dan para pedagang menaikkan harga dagangan mereka. Inipun secara sembunyi, karena kalau ketahuan nak buah Yo-loya, maka pajakpun akan dinaikkan sesuai dengan kenaikan sewa perahu atau harga barang dagangan! Cu Goan Ciang melihat betapa para pedagang, tukang perahu, sampai pekerja kasar semua sudah dicengkeram oleh penguasa melalui anak buah Yo-loya, dan diperas habis-habisan!
Malam itu, setelah makan malam yang mewah seorang diri karena Yo-loya sedang keluar rumah, Goan Ciang berjalan-jalan di taman bunga yang luas dan indah milik keluarga itu. Kamarnya memang berada di samping, menembus taman sehingga dia dapat dengan leluasa meninggalkan kamar untuk keluar rumah atau memasuki taman. Malam itu terang bulan, udaranya juga hangat karena tidak ada angin dan terangnya bulan ditambah pula dengan lampu-lampu gantung beraneka warna yang berada di taman.
Goan Ciang duduk di atas bangku dekan kolam ikan emas, termenung. Dia bingung memikirkan keadaan bandar. Jelas bahwa semua orang, dari pedagang sampai pekerja kasar, diperas oleh penguasa. Para pedagang dan tukang perahu masih dapat berusaha menutup biaya pemerasan itu dengan menaikkan tarip sewa dan harga barang. Akan tetapi bagaimana dengan para pekerja? Mereka tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menerima nasib. Juga, kenaikan harga barang-barang itu akhirnya menimpa pula rakyat kecil yang membutuhkannya, karena harganya otomatis menjadi mahal. Dia memikirkan peran yang dipegang Yo Ci. Benarkah Yo Ci membantu para pekerja kasar, membantu para pemilik perahu dan pedagang? Mengatur dan menertibkan keadaan agar mereka semua tidak diganggu oleh penguasa setempat? Ataukah Yo Ci mempergunakan hubungannya dengan para penguasa untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dari pemerasan itu? Membagi-bagi hasil pemerasan dengan penguasa? Dia harus berhati-hati sebelum melihat buktinya. Anak buah Yo Ci memang memperlihatkan kekerasan dan kekejaman, akan tetapi sikap Yo Ci baik sekali, tidak seperti orang yang suka melakukan pemerasan.
Tiba-tiba Goan Ciang dikejutkan oleh suara tawa beberapa orang wanita. Dia hendak menyelinap pergi, namun terlambat karena pada saat itu terdengar suara yang merdu, “Aih, kiranya Cu-sicu yang berada di sini! Maafkan kalau kami mengganggu ketenanganmu, sicu!”
Cu Goan Ciang memandang dan dia mengenal wanita yang bicara itu. Isteri ke empat dari Yo Ci. Isteri ke empat ini masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan cantik manis. Di belakangnya berjalan lima orang gadis pelayan yang juga cantik-cantik berusia dari delapan belas sampai dua puluh tahun, dengan pakaian pelayan namun tidak menyembunyikan kecantikan wajah mereka dan kemolekkan tubuh mereka. “Saya yang minta maaf, toanio (nyonya besar), saya telah lancang memasuki taman keluarga...”
“Aihh, sicu, mengapa begitu sungkan dan menyebutku toanio segala? Bukankah engkau menyebut suamiku paman? Nah, sepatutnya engkau menyebutku bibi, akan tetapi karena usia kita tidak berselisih banyak, lebih pantas kalau engkau menyebut aku enci. Namaku Yen Li, kausebut aku enci Yen Li, bukankah lebih mesra?” Setelah berkata demikian, wanita cantik selir tuan rumah itu mendekatinya, dengan berani memegang tangannya dan mengajaknya duduk kembali di atas bangku panjang dekat kolam ikan. Lima orang gadis pelayan itu sambil tersenyum-senyum juga mengepungnya, ada yang menawarkan minuman ada yang menawarkan manisan atau buah-buahan, semua dengan suara merdu dan merayu. Dikelilingi enam orang wanita cantik itu, Goan Ciang merasa seolah tenggelam ke dalam air, membuatnya gelagapan karena bau harum menyesakkan dadanya. Dia adalah seorang pemuda yang selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita, dan kini enam orang wanita cantik seolah saling berebut untuk menarik perhatiannya. Sentuhan jari tangan lembut, kerling tajam memikat dan senyum semanis madu seperti membuat dia tenggelam.
Akan tetapi, Cu Goan Ciang adalah seorang laki-laki yang keras hati. Dia memiliki cita-cita yang tinggi dan sebelum cita-citanya itu tercapai, dia tidak mau diganggu oleh godaan wanita, apa lagi mengingat bahwa wanita ini adalah isteri muda tuan rumah. Sungguh memalukan sekali kalau dia, sebagai tamu yang dihormati dan diperlakukan baik, kini mengkhianati tuan rumah dengan menyambut uluran tangan kotor wanita itu.
“Maaf, tidak baik begini, aku mau pergi tidur!” katanya dan diapun cepat menyelinap, melepaskan diri dari kepungan enam orang wanita itu dan berlari memasuki kamarnya dan menutupkan daun pintu, menguncinya dari dalam. Terdengar langkah-langkah kaki lembut mengejarnya dan kini daun pintu kamarnya diketuk-ketuk dari luar.
“Sicu, buka pintu, biarkan aku masuk, aku ingin bercakap-cakap denganmu!” terdengar suara selir tuan rumah itu.