“Tapi... tapi...” si gendut itu mengambil kantung uang yang tadi telah disimpannya, akan tetapi Goan Ciang merampasnya dan menaruh kantung uang itu ke atas meja, di mana masih terdapat daftar para kuli, berikut alat tulis yang tadi dipergunakan untuk mencatat oleh si gendut.
“Tidak ada tapi! Cepat bayar mereka tanpa dipotong pajak atau kerusakan barang!” bentak Goan Ciang. Sementara itu, dua puluh orang kuli yang masih berkumpul di situ, memandang dengan mata terbelalak. Tak mereka sangka bahwa kuli baru yang bertenaga besar itu demikian beraninya, juga demikian perkasanya, sehingga segebrakan saja dapat menghajar dua tukang pukul yang lihai dan kejam itu. Seorang kuli yang usianya sudah lima puluh tahun, segera mendekati Goan Ciang.
“Cu-hiante... jangan mencaro gara-gara... mereka itu kuat sekali. Kalau sampai Yo-loya mengetahui, engkau dapat celaka... lebih baik sekarang pergilah, larilah sebelum terlambat...”
Goan Ciang merasa jengkel sekali. Sikap pengecut inilah yang membuat orangnya diperas dan ditindas! “Sudah, biarkan aku yang bertanggung jawab, paman. Engkau larilah kalau takut!” katanya marah dan kuli itu yang bermaksud baik karena menyayangkan, kalau sampai Goan Ciang celaka, mundur dan berkumpul lagi dengan teman-temannya.
Mendengar ucapan kuli tua itu, agaknya si gendut mendapatkan kembali semangatnya. Dia bangkit berdiri, “Cu Goan Ciang, engkau boleh saja menghina dan memaksaku, akan tetapi tunggu sampai Yo-loya datang! Engkau akan dicincang, dan dagingmu menjadi makanan ikan sungai! Hayo, bunuh saja dia dengan golok kalian!” teriaknya kepada dua orang tukang pukul.
Si jenggot yang kehilangan jenggotnya dan si botak yang tumbuh tanduk itu memang merasa penasaran dan sakit hati telah dipersakiti dan dipermalukan di depan banyak orang. Bahkan rombongan kuli-kuli yang lain tertarik oleh keributan itu dan kini datang mendekat. Mereka berdua mencabut golok dan bagaikan gila mereka menyerang Goan Ciang sambil mengerahkan tenaga dan mengeluarkan suara menggereng seperti dua ekor beruang marah.
Goan Ciang juga marah. Beberapa kali dia mengelak, menggunakan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari sambaran dua batang golok itu. Ketika dia melihat kesempatan baik, dia menggerakkan kedua tangannya, mengisinya dengan tenaga sin-kang sekuatnya dan begitu kedua tangan itu bergerak menangkis dengan kedua lengan lawan, terdengar suara “krakk-krakk” dan dua batang golok itu terpental, dan dua orang lawannya juga terpelanting dan mengaduh-aduh tanpa mampu menggerakkan kedua lengan mereka karena tulang-tulang lengan mereka telah patah-patah! Dengan wajah pucat dan mata terbelalak mereka hanya mampu mengaduh-aduh, bahkan sukar untuk bangkit duduk karena kedua lengan mereka terasa nyeri kalau digerakkan.
Si mandor gendut terkejut sekali, hendak melarikan diri, akan tetapi dua kali loncatang saja sudah cukup bagi Goan Ciang untuk menangkap leher bajunya, mengangkat tubuh itu ke atas, tangan kanan menampar ke arah mulut sehingga rontoklah semua gigi dalam mulut itu lalu dia melontarkan tubuh gemuk pendek itu ke air sungai.
“Byurrr...!” Air muncrat dan mandor gendut itu dengan susah payah berenang ke tepi, disambut tawa geli secara diam-diam oleh para kuli.
Dua orang tukang pukul itu melihat ini, lalu terkulai dan pura-pura pingsan! Goan Ciang dengan tenang lalu duduk di bangku tadi, membuka kantung uang, memeriksa daftar dan menghitung uang memenuhi gaji dua puluh orang itu termasuk si pemuda kurus dan dia sendiri. Dia mengambil lima puluh keping, gajinya dua hari, dan membiarkan sisanya dalam kantung di meja itu. Juga dia mencorat-coret daftar gaji itu, menuliskan angka-angka gaji yang semestinya tanpa memotong dengan pajak dan lain-lain.
Para mandor dan tukang pukul rombongan lain tidak berani mencampuri ketika mereka melihat kelihaian pemuda itu, akan tetapi diam-diam mereka melapor kepada majikan mereka. Kuli yang bekerja di bandar itu berjumlah ratusan orang, terbagi dalam kelompok-kelompok. Namun semua berada di bawah kekuasaan majikan yang disebut Yo-loya, namanya Yo Ci, seorang hartawan yang juga menjadi kepala gerombolan penjahat yang merajalela di kota
Wu-han, terutama yang menguasai bandar itu. Yo Ci inilah yang mengadakan aturan pajak, dan dia pula yang menentukan segalanya, dan para pelaksananya adalah mandor-mandor yang dikawal dua orang tukang pukul. Begitu mendengar berita bahwa ada seorang pengacau di bandar, Yo Ci marah dan diapun mengajak selosin pengawalnya cepat pergi ke bandar itu.
Ketika itu, Cu Goan Ciang sudah selesai membayarkan semua gaji dan dia berkata, “Mulai sekarang, jangan mau membayar pajak. Kalian harus berani menentang kalau ada aturan yang tidak adil, jangan diam saja ketakutan. Nah, sekarang kalian pulanglah.”
“Tapi, Cu-taihiap, kami takut. Bagaimana kalau Yo-loya marah? Kami pasti akan dihukum!” kata seorang di antara mereka dan ternyata semua orang membenarkan ucapan itu.
“Aku yang bertanggung jawab! Aku tidak akan lari!”
“Bagus! Sungguh ucapan yang gagah sekali!” terdengar suara orang memuji dan mendengar suara ini, semua kuli nampak ketakutan dan cepat mereka itu membungkuk dan memberi hormat kepada orang yang bicara tadi. Goan Ciang memutar tubuh memandang.
Dia seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan muda, tubuhnya masih ramping dan kokoh. Seorang pria yang gagah, dengan pakaian yang mewah pula, memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang dilapis emas, kepalanya memakai topi bulat hitam. Di belakang orang ini nampak selosing orang yang berpakaian seperti tukang-tukang pukul, pakaian ringkas dan mereka semua membawa pedang di pinggang, seperti pasukan yang berpakaian seragam saja. Goan Ciang segera dapat menduga bahwa tentu inilah yang disebut Yo-loya dan yang ditakuti semua orang. Inilah kepala dari para penindas kuli itu.
“Bertanggung jawab atas perbuatannya adalah sikap seorang laki-laki. Mempergunakan gerombolan tukang pukul untuk memeras dan menindas para pekerja miskin adalah sikap seorang penjahat keji yang curang!” kata Goan Ciang dan pandang matanya dengan tajam mengamati wajah pria itu.
Pria itu tersenyum, menghisap huncwenya dan mengepulkan asap tipis dari mulutnya, sikapnya tenang dan juga mengandung ketinggian hati, seperti sikap seorang guru menghadapi seorang muridnya.
“Hebat, engkau seorang pemuda yang hebat. Siapakah namamu, orang muda?” suaranya berlogat selatan, namun cara dia bicara lembut dan sopan.
“Namaku Cu Goan Ciang, dan kalau tidak salah, engkau tentu yang disebut Yo-loya dan ditakuti para kuli di sini, bukan?”
Orang itu mengangguk-angguk dan menyapu keadaan sekeliling. Hampir semua orang di situ, baik kuli maupun pedagang, kini berada di situ dan menonton dengan wajah tegang dan tertarik. Yo Ci sudah mendengar tentang kehebatan pemuda ini. Sayang kalau pemuda seperti ini dibunuh saja. Alangkah baiknya kalau dapat ditarik menjadi anak buah, atau setidaknya menjadi sekutunya. Juga, kalau sampai dia turun tangan di tempat umum dan dia kalau, walaupun dia amat meragukan hal ini, hal itu akan merusak nama besarnya dan membuatnya malu.
“Cu-sicu (orang gagah Cu), namaku Yo Ci dan aku merasa bergembira sekali dapat berkenalan dengan seorang gagah sepertimu. Harap suka memaafkan orang-orangku yang tidak tahu diri dan percayalah, aku akan membereskan semua kekeliruan di sini. Akan tetapi, aku ingin membicarakan urusan di sini dengan sicu, dan kami persilahkan sicu untuk ikut dengan kami agar kita dapat bercakap-cakap dengan leluasa di rumah kami. Silahkan, sicu.”
Cu Goan Ciang merasa heran akan sikap yang amat sopan dan ramah dari orang ini. Bukankah majikan ini yang melakukan pemerasan terhadap para kuli itu, melalui anak buahnya? Ketika dia menoleh dan bertemu pandang dengan kuli setengah tua yang tadi memperingatkannya, dia melihat betapa orang itu menggeleng kepala sebagai tanda agar dia menolak undangan itu. Akan tetapi justeru sikap kuli setengah tua itulah yang membuat dia penasaran. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan majikan Yo ini kepada dirinya.
“Baik, mari kita bicara di rumahmu, Yo-loya,” katanya gagah. Diiringkan pandang mata khawatir dan juga kagum oleh semua kuli yang bekerja di bandar itu, Goan Ciang mengikuti rombongan Yo Ci dan para pengawalnya dan ternyata di luar bandar terdapat sebuah kereta yang tadi dinaiki Yo Ci. Goan Ciang dipersilahkan ikut pula ke dalam kereta bersama hartawan itu. Para pengawal menunggang kuda di kanan kiri dan belakang kereta yang dilarikan menuju ke pusat kota Wu-han.
Rumah itu besar, megah dan mewah. Goan Ciang merasa dirinya kecil dan kotor ketika memasuki rumah gedung mewah itu bersama Yo Ci. Belum pernah dia memasuki rumah semewah ini. Rumah Lurah Koa dan hartawan Ji di dusunnya menjadi tidak ada artinya dibandingkan dengan rumah majikan di kota besar ini. Akan tetapi dengan tegak dia berjalan mendampingi tuan rumah. Di ruangan dalam, Yo Ci sengaja menyuruh semua keluarganya hadir dan dia memperkenalkan Gu Goan Ciang kepada keluarganya. Goan Ciang hanya memandang sambil lalu saja dan membalas penghormatan mereka. Dia diperkenalkan kepada empat orang isteri Yo Ci, dan tiga orang anaknya, yaitu dua orang puteri yang sudah remaja dan seorang pemuda. Kemudian, setelah semua anggota keluarga diperkenalkan dan mengundurkan diri, Goan Ciang sudah lupa lagi kepada mereka, baik nama maupun wajah mereka, walaupun para isteri dan puteri tuan rumah itu merupakan wanita-wanita yang cantik jelita. Dia memasuki ruangan tamu bersama tuan rumah dan di situ mereka bercakap-cakap.
“Cu-sicu, aku mendengar bahwa engkau menghajar beberapa orangku yang bertugas di bandar. Memang ada di antara orang-orangku yang kasar dan kurang ajar, pantas untuk dihajar. Akan tetapi kalau aku boleh mengetahui, mengapa engkau menjadi begitu marah? Apa yang menjadi sebab perkelahian itu?”
Tak enak juga rasa hati Goan Ciang menghadapi majikan yang begini lembut dan sama sekali berbeda dengan sikap mandor gendut dan tukang pukulnya. “Maafkan aku, Yo-loya...”
“Hemm, orang lain pantas menyebut aku loya (tuan besar), akan tetapi sebaiknya engkau menyebut aku paman saja, sicu. Tak enak rasanya kausebut loya.”