Halo!

Pengemis Tua Aneh Chapter 33 (Tamat)

Memuat...

“Tidak, sejak dulu aku tak pernah mencintainya. Setelah kau dipukul dulu itu. Aku menjadi sangat benci padanya. Karena benci itulah maka aku menjadi nikouw di sini.”

“Dan mukamu itu kenapakah, Kwei Lan?” tanya Lie Bun dengan sangat kasihan. “Kutusuk-tusuk dengan jarum.”

“Apa? Mengapa?” Lie Bun bertanya dan merasa ngeri.

“Mengapa? Ah, biar aku tidak dicintai oleh orang-orang semacam Lie-kongcu itu.”

Lie Bun merasa heran. “Heran sekali, sungguh aku merasa tidak mengerti mengapa kau rusak mukamu sendiri yang cantik itu Kwei Lan.”

“Lie koko, bukankah kalau begini aku dapat membuka rahasia hatinya? Aku tahu, pemuda-pemuda seperti dia itu hanya sampai di kulit saja cintanya. Rusakkanlah kulit yang dicintainya itu, maka ia akan berbalik muka! Dan bagiku, perasaan suci itu hanya di kulit, Lie koko. Apa artinya di luar indah kalau di dalamnya busuk?”

Mendengar kata-kata ini, Lie Bun berdebar karena merasa tersindir.

“Kwei Lan, semenjak dulu aku .... aku ah, mukaku buruk sekali. Karena itulah

dulu .... di pinggir empang itu aku lari. Aku lari darimu, Kwei Lan karena kau

begitu cantik dan aku aku begini buruk. Aku menjadi takut dan aku lari pergi!”

Kwei Lan mengeluarkan sebuah kipas dari lipatan bajunya. Ia buka kipas itu dan Lie Bun menahan napas ketika ia melihat bahwa kipas itu ialah kipas yang ia lukis dulu!

Gambar wajahnya masih ada di situ, dengan muka totol hitam!

Kwei Lan lalu membalikkan kipas itu dan di situ terdapat gambar Kwei Lan, tapi Lie Bun melihat betapa wajah di gambar itupun telah ditotol-totol hitam pula. “Kau lihat koko. Bukankah kita sekarang sudah sama?”

“Kwei Lan, kau maksudkan bahwa aku ..., kau tidak jijik melihat mukaku?”

Kwei Lan buka kerudungnya hingga tampak kedua pipinya yang hitam dan totol-totol itu, tapi sepasang matanya bening bagaikan mata burung Hong.

“Dan katakanlah, apa kau juga tidak jijik melihat mukaku yang seburuk ini?” Lie Bun memegang kedua tangan gadis itu.

“Tidak, Kwei Lan, kau masih tetap Kwei Lan bagiku, biar mukamu berubah bagaimana juga! Aku ... semenjak pertemuan kita dulu telah mencintaimu ”

“Dan kau aku mengagumimu karena kau gagah, berbudi, setia dan berjiwa luhur.

Tiada laki-laki di dunia ini yang melebihi kau bagiku.” Suara gadis yang merdu ketika mengucapkan kata-kata ini, bagi Lie Bun terdengar bagaikan nyanyian surga yang membuat ia terayunayun ke surga ke tujuh. Tiada kebahagiaan yang lebih besar pernah dirasainya seperti pada saat ini!

“Kwei Lan, kalau begitu, aku akan memberitahukan kepada orang tuaku. Mereka tentu akan datang melamarmu, tapi kau kau harus pulang dulu!”

Kwei Lan mengangguk. “Ini hari juga tentu aku pulang dan menanti-nanti berita girang darimu.”

“Kwei Lan!” Lie Bun hanya dapat berkata demikian sambil pegang jari-jari tangan gadis itu erat-erat. Kemudian ia tinggalkan gadis itu dan lari pulang secepat mungkin.

Ketika tiba di rumah, ayah ibunya berkata dengan khawatir.

Lie Kiat telah berkelahi dengan orang. Ia pulang dibantu oleh seorang gadis yang gagah ”

“Aku sudah tahu, ayah. Dan gadis gagah itu adalah seorang gadis yang betul-betul mulia hatinya dan patut menjadi isteri twako. Ayah dan ibu, demi kebahagiaan twako, izinkanlah dia mengawini gadis itu.”

Ayah dan ibunya saling pandang. “Jadi gadis yang membawa pulang Lie Kiat tadi

.....”

“Ya, dia itulah nona Cui Im yang gagah perkasa dan yang telah menolong jiwa twako dari bahaya maut!”

“Kalau gadis yang tadi akupun setuju. Ia cukup cantik manis. Sikapnya sopan santun dan untuk membela A Kiat, ia sampai berani keluar menyamar sebagai seorang pemuda ” kata nyonya Lie.

“Akupun tidak keberatan,” kata Lie Ti. Lie Bun girang sekali mendengar keputusan ini.

“Dan sekarang ada kabar baik lain lagi, ayah,” kata Lie Bun. Ayah dan ibunya memandang heran.

“Ada apa lagi?”

“Aku aku harap, ayah dan ibu suka melamarkan seorang gadis untukku.”

Ibunya girang sekali dan memeluknya. Juga ayahnya tersenyum senang.

“Katakan lekas, siapa gadis itu? Anak siapa dan di mana rumahnya?” kata ibunya dengan cepat.

“Orang dekat saja, ibu. Bukan lain ialah Lo-siocia, puteri Lo-wangwe di Lun-kwan!” Wajah ayah dan ibunya menjadi pucat. Bibir ibunya gemetar ketika ia bertanya. “Lie Bun, gilakah kau? Gadis bekas tunangan saudaramu itu?”

“Benar, ibu.”

“Bukankah ia sudah menjadi nikouw dan sudah memutuskan tali perjodohannya dengan Lie Kiat?”

“Ya, tapi kini aku yang menggantikan twako, karena twako sendiri tidak mau kawin dengan dia.”

“Apa?” tanya ayahnya. “Lie Kiat tidak mau kawin dengan dia?”

“Begini, ayah dan ibu. Coba tanyakan hal ini kepada twako. Kalau dia setuju aku mengawini nona Lo, maka besok pagi harap dilamarkan gadis itu untukku. Kalau tidak dengan gadis itu, aku tidak akan mau kawin dengan siapa pun juga.”

Dengan heran kedua orang tuanya melihat Lie Bun memasuki kamarnya dan mereka berdua berlari-lari memasuki kamar Lie Kiat yang masih merintih-rintih karena pundaknya sakit terbentur tembok tadi.

“Lie Kiat! Adikmu menjadi gila!” kata ibunya begitu masuk ke kamarnya. Lie Kiat balikkan tubuh dengan malas-malasan.

“Mengapa lagi, ibu?”

“Coba dengar! Ia minta dilamarkan bekas tunanganmu yang telah menjadi nikouw itu! Kau keberatan tentunya, bukan?” Untuk sesaat Lie Kiat terbelalak tak percaya. Benar-benar gila anak itu, mau mengawini seorang gadis yang mukanya telah berubah seperti muka setan! Kemudian ia tersenyum.

“Boleh saja, ibu. Aku tidak keberatan. Memang nona itu lebih pantas menjadi isteri Lie Bun.”

“Dan kau ... bagaimana kalau kami lamarkan gadis yang mengantarmu ... eh, siapa namanya tadi?”

“Cui Im,” kata suaminya.

Serentak Lie Kiat loncat bangun. “Benarkah, ibu?” tanyanya dengan girang. “Siapa yang memberitahukan kepada ibu?”

“Siapa lagi kalau bukan adikmu, Lie Bun!”

Maka terharulah hati Lie Kiat. Betapapun juga, Lie Bun memang seorang adik yang benar-benar luar biasa dan setia.

“Ibu, kawinkanlah kami berbareng, Aku dengan Cui Im dan Lie Bun dengan Lo- siocia!”

Ayah dan ibunya sling pandang, lalu mengangguk-angguk.

Setelah mengadakan perundingan dengan Lo-wangwe, ternyata Lo-wangwe tidak keberatan menyerahkan puterinya untuk menjadi isteri Lie Bun, apalagi ketika mereka mendengar dari Kwei Lan bahwa pemuda itu bukan lain ialah penolong mereka di

Bok-chun dulu. Ketika Lo-wangwe dan isterinya minta pendapat tentang lamaran itu, Kwei Lan hanya menundukkan muka dengan muka merah, maka mengertilah kedua orang tuanya bahwa gadis itu telah setuju.

Karena mengawinkan kedua puteranya dengan berbareng, maka gedung keluarga Lie dihias indah sekali.

Di dalam kamar penganten, Lie Bun mendatangi Lie Kiat dan memeluk kakaknya sambil berbisik.

“Twako, maafkanlah adikmu.”

Lie Kiat balas memeluk. “Akulah yang seharusnya minta maaf, adikku.” Maka semenjak saat itu, lenyaplah ganjalan hati di antara keduanya.

Setelah penganten bertemu, di mana Cui Im dan Kwei Lan dikerudung seluruh tubuhnya hingga tak tampak orangnya ditemukan dengan Lie Kiat dan Lie Bun.”

Lie Kiat lalu memboyong pengantennya ke rumah orang tuanya, sedangkan Lie Bun atas kehendaknya sendiri dan kehendak mertuanya, tinggal di rumah mertuanya di Lun-kwan. Malam hari itu setelah semua tamu pulang, Lie Bun memasuki kamar penganten di mana Kwei Lan duduk di atas pembaringan dengan muka masih dikerudung.

Ketika Lie Bun hendak membuka kerudung itu, Kwei Lan menahannya karena ia merasa malu.

“Kwei Lan, alangkah bahagianya perasaan hatiku memikirkan bahwa kau kini telah menjadi isteriku. Kwei Lan aku membawa semacam hadiah untukmu. Bukan barang berharga, melainkan sebungkus obat, isteriku.”

“Obat? Obat apakah, koko?”

“Obat untuk kulit mukamu. Obat ini mustajab sekali. Kwei Lan, dan setelah dipakai maka mukamu akan pulih kembali seperti sedia kala, halus dan cantik.”

“Hm, kalau begitu kau tidak senang mempunyai isteri yang mukanya buruk sepertiku?” tanya isterinya dengan suara manja.

“Hush bukan begitu, Kwei Lan. Kau tahu, betapapun berubah mukamu, aku akan

tetap mencintaimu. Tapi tidak senangkah kau kalau mukamu sembuh kembali? Pakailah obat ini, Kwei Lan !”

“Jangan twako. Kaulah yang harus pakai obat itu!

“Mengapa aku? Apa kau malu melihat mukaku yang buruk?” Digoda demikian, Kwei Lan mencubit lengan suaminya.

“Bukan begitu, tapi kau pakailah dulu obat itu. Kalau berhasil, mudah saja mencari lagi untukku”

Maka teringatlah Lie Bun bahwa obat itu adalah buatan seorang tabib di Nan-king. Ia tepuk-tepuk kepalanya. “Ah, mengapa aku tidak ingat hal ini? Alangkah bodohnya aku!”

Ia lalu menuturkan kepada isterinya bagaimana cara menggunakan obat itu. Dan Kwei Lan lalu berkeras menyatakan bahwa Lie Bun harus segera pakai obat itu, malam itu juga!

“Eh, eh! Mengapa kau begitu tidak sabar? Mengapa harus malam ini? Inikan malam perkawinan kita!”

“Suamiku, apakah permintaan sedikit saja dari isterimu pada malam pertama ini tidak kau turuti?” tanya Kwei Lan dengan manja sekali. Lie Bun angkat pundak dan terpaksa mengalah. Kwei Lan dengan girang lalu masak obat itu dengan air semangkuk sampai habis airnya. Kemudian ia suruh pelayan mengumpulkan air yang tergantung pada daun-daun bambu. Malam itu juga ia berhasil membuat ramuan itu dan ia paksa suaminya berbaring telentang. Kemudian dengan halus dan hati-hati sekali, kedua tangannya yang halus lemas itu membedaki kulit muka Lie Bun dengan obat itu sampai tebal.

“Aduh! Gatal-gatal rasanya!” Lie Bun merintih.

“Hush, diamlah jangan bergerak, nanti obatnya jatuh,” tegur Kwei Lan.

Demikianlah sehari semalam lamanya Lie Bun telentang dengan tak berani gerak- gerakan mukanya. Ia makan dan minum dengan disuapi oleh isterinya yang tak pernah tinggalkan dia. Lie Bun tak dapat membuka mata dan ia hanya merasa puas dengan pegangan erat isterinya yang halus. Selama itu, Kwei Lan selalu masih pakai kerudungnya.

Pada malam kedua, maka cukuplah obat itu dipakai sehari semalam. Dengan dada berdebar-debar dan leher seakan-akan tersumbat karena menahan gelora hatinya, Kwei Lan mencuci muka Lie Bun. Ketika obat itu sudah tercuci habis dan muka itu sudah dikeringkan dengan kain, maka Kwei Lan memandang muka suaminya dan .....

ia tak tahan lagi karena girang dan terharunya. Ia tubruk suaminya dan menangis tersedu-sedu di atas dada Lie Bun!

Lie Bun heran dan bingung. Cepat ia bangun dan mengambil alat cermin untuk melihat mukanya sendiri. Hampir saja ia berteriak karena ia melihat muka Lie Kiat di dalam cermin itu! Sungguh ia sama benar dengan Lie Kiat setelah mukanya menjadi halus dan putih!

Lie Bun peluk isterinya. “Kwei Lan, kini kau harus buka kerudungmu.”

“Koko Apakah kau tidak jijik melihat mukaku yang buruk? Kau kan sudah

menjadi cakap dan tampan sekarang, isterimu masih buruk menakutkan.”

“Kwei Lan, jangan kau berkata begitu. Aku masih tetap Lie Bun yang kemarin, yang akan mencintaimu sepenuh jiwaku. Tak peduli kau akan berubah menjadi makhluk seburuk-buruknya di dunia ini!”

Kwei Lan memeluk suaminya. “Kalau begitu, suamiku, aku hanyalah isterimu yang rendah dan setia .... kau ... bukalah kerudungku ini ”

Dengan kedua tangan gemetar, Lie Bun buka kerudung yang menutup muka dan kepala isterinya. Ketika kerudung itu disentakkan ke atas hingga muka isterinya tampak, Lie Bun loncat ke belakang seperti tiba-tiba diserang senjata tajam. Ia berdiri kesima dan memandang wajah isterinya dengan mata terbelalak.

Kwei Lan memandangnya dengan bibir tersenyum semanis-manisnya dan mata cemerlang menatap semesra-mesranya. Dan wajah itu demikian cantik jelita,

lebih cantik malah dari pada dulu kulit pipinya begitu putih kemerah-merahan

dan halus .... rambut yang sebagian menutup jidatnya itu ah! Lie Bun kucek-kucek

matanya, lalu mencubit lengannya untuk menyatakan bahwa ia tidak sedang mimpi. “Kwei Lan !” “Koko !”

Mereka saling rangkul dan masing-masing mengeluarkan air mata karena terharu dan girang.

“Kwei Lan .... bagaimanakah ini .....? Sungguh aku tidak mengerti ”

“Aku hanya pura-pura, koko. Aku hanya memakai kedok pemberian ketua kelenteng Kwan-im-bio. Aku sengaja pakai itu untuk membuat kakakmu mundur teratur dan

sementara itu ...... aku selalu .... menanti-nantimu ”

“Kwei Lan, kau sungguh mulia ”

Dan mereka berdua hidup bahagia sampai hayat meninggalkan badan!

TAMAT

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment