Halo!

Pengemis Tua Aneh Chapter 32

Memuat...

Lie Kiat geleng-geleng kepalanya. “Aku telah minta kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku kawin dengan Cui Im, tapi mereka tidak memberi izin, bahkan marah-marah kepadaku.”

Lie Bun terkejut. “Dengan Cui Im? Mengapa begitu? Ah, apa yang terjadi, twako? Kenapa kau tidak kawin dengan nona Lo?”

“Dia itulah yang menimbulkan persoalan ini!” jawab kakaknya dengan wajah muram. “Beberapa bulan yang lalu, ketika perkawinanku dengan dia kurang tiga hari dilangsungkan, tiba-tiba datang berita dari Lun-kwan yang membuat aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Ternyata gadis she Lo itu agaknya membenci aku sedemikian rupa, atau agaknya ia sakit hati padaku sedemikian hebatnya sehingga ia mengambil keputusan nekad.”

“Apa?” kedua mata Lie Bun terbelalak dan wajahnya pucat sekali. “Kau maksud ia

...ia ”

Lie Kiat geleng-geleng kepala dengan sedih. “Tidak, ia tidak membunuh diri, tapi lebih hebat dari pada itu. Ia telah menjadi nikouw di kelenteng Kwan-im di Kwie-cu!”

Lie Bun menghela napas lega. “Ah, tapi mengapa, twako?” “Mengapa? Siapa yang tahu mengapa!”

“Twako, bukankah ia tunanganmu? Kau harus mencari tahu, kau harus hibur hatinya. Siapa tahu, mungkin ia marah karena dulu kau maki-maki dia. Mungkin kalau kau datang minta maaf, dia akan ubah kenekatannya itu!” “Ah, mana bisa. Sedangkan ayah ibunya sendiri menangis-nangis dan membujuknya, tapi ia tidak mau menurut.”

“Kenapa mereka tidak mau menggunakan kekerasan?”

“Ah, ayah ibunya terlalu sayang kepada anak tunggal mereka, maka mereka lalu batalkan perkawinan dan melepaskan ikatan jodohnya dengan aku!”

“Tapi, twako, kau harus kasihani dia. Hayo kuantar kau pergi ke sana untuk membujuknya. Siapa tahu, ia akan berubah pikiran melihatmu.”

Mendengar bujukan adiknya ini, timbul pula harapan Lie Kiat.

Memang ia telah tergila-gila melihat kecantikan Kwei Lan. Dengan semangat baru, Lie Kiat kenakan pakaiannya yang terindah dan setelah memberi tahu kepada ayah ibunya bahwa mereka hendak mengunjungi nona Lo di kelentengnya.

Lie Ti dan isterinya hanya bisa saling pandang saja.”

“Ah, sungguh anak kita Lie Bun itu mempunyai hati dari pada emas, jauh bedanya dengan watak Lie Kiat,” kata nyonya Lie.

“Memang, kebagusan di luar belum tentu mencerminkan keadaan di dalam,” kata Lie Ti sambil menghela napas.

Kedua saudara itu dengan cepat menuju ke Kwei-ciu. Mereka tidak tahu bahwa dari jauh seorang pemuda cakap mengejar mereka dengan diam-diam.

Pemuda cakap itu agaknya tahu bahwa kedua saudara itu lihai, maka ia berlaku hati- hati sekali dan hanya mengikuti mereka dari jauh. Gagang sebatang pedang tampak menonjol di punggungnya.

Sebetulnya tidak mudah bagi orang luar untuk mengunjungi seorang nikouw dari Kwan-im-bio, Tapi karena Lie Kiat telah terkenal sekali dan ayah pemuda itu terkenal sebagai penderma terbesar dari kelenteng ini, maka kedua pemuda itu diperkenankan masuk dan menanti di ruang tamu.

Kami hendak bertemu dengan Lo-siocia yang masuk menjadi nikouw di sini,” kata Lie Kiat.

“Tapi kongcu dia tidak mau bertemu dengan siapa juga, bahkan ayahnya yang

kemaren datang ke sini tidak dapat bertemu dengan dia.”

Lie Kiat menjadi marah. “Katakan bahwa aku Lie Kiat dan Lie Bun hendak bertemu. Kalau ia tidak mau, aku akan memaksa masuk, tak perduli apa yang akan terjadi!”

Nikouw yang menyambut tamu itu menjadi ketakutan dan buru-buru ia lari ke dalam untuk memberitahukan kepada yang berkepentingan. Lie Kiat menanti dengan uring-uringan, sebaliknya Lie Bun duduk dengan sabar dan hati berdebar.

Setelah menanti agak lama, dari dalam terdengar tindakan kaki yang halus dan ringan. Pintu terbuka dan tubuh seorang nikouw yang sangat ramping muncul dari pintu.

Nikouw itu memakai kerudung sutera hitam di atas kepala sampai ke dada hingga

mukanya tidak tampak. Tapi biarpun demikian, tubuh yang berpakaian sederhana sekali itu membayangkan bentuknya yang menggiurkan hingga Lie Kiat diam-diam mengagumi.

Muka yang berkerudung itu memandang kepada Lie Kiat sebentar, kemudian berpaling dan memandang ke arah Lie Bun dan agaknya ia terkejut dan tidak menduga bahwa Lie Bun berada pula di situ.

“Lie kongcu, kau memaksa hendak bertemu aku, ada keperluan apakah?” terdengar suara Kwei Lan yang merdu dan halus tapi terdengar ketus.

“Aku ..... kami ...... eh. ” Lie Kiat berkata gagap hingga diam-diam Lie Bun

menjadi geli.

“Duduklah Lie Kongcu dan katakan dengan tenang,” kata Kwei Lan. Lie Kiat lalu duduk dan Kwei Lan duduk pula.

“Twako, perlukah aku keluar sebentar?”

“Tidak usah kau keluar, Lie-inkong. Kami tidak akan bicara tentang suatu rahasia. Kau duduklah saja.” Kwei Lan dengan cepat , berkata.

“Duduklah Lie Bun, tak perlu kau keluar.” Lie Kiat membenarkan. Kemudian setelah beberapa kali menelan ludah, Lie Kiat berkata.

“Lo-siocia, aku aku datang mohon maaf darimu jika kiranya aku yang

menyebabkan kau mengambil keputusan nekad ini. Aku harap saja, mengingat ikatan di antara kita, kau akan memaafkan kekasaranku dulu dan jika kau mau aku akan

merasa bahagia sekali untuk menyambung kembali ikatan yang kau putuskan itu

.......”

Mendengar kata-kata ini, Kwei Lan tundukan mukanya dan tidak menjawab.

Lie Bun merasa perlu untuk membantu kakaknya karena ia merasa terharu mendengar kata-kata kakaknya yang menyatakan cintanya terhadap gadis itu.

“Nona Lo, perkenankanlah aku bicara sedikit,” kata Lie Bun.

Kwei Lan gerakan kepalanya dan memandang ke arah Lie Bun melalui sutera hitam tipis itu, lalu ia mengangguk.

“Nona Lo, kasihanilah kakakku yang mencintaimu dengan sepenuh hatinya. Semenjak kau masuk kesini, dia bagaikan seorang yang kehilang ingatan. Maka aku harap kau suka menaruh belas kasihan kepadanya, tidak saja kepadanya, tapi juga kepada ayah ibuku, kepada orang tuamu sendiri. Maafkanlah dia jika kiranya ia bersalah kepadamu, nona dan ... dan ... kau terimalah permintaannya.”

Terdengar sedu sedan tertahan dibalik kerudung itu. Agaknya nona ini terharu sekali mendengar ucapan Lie Bun yang diucapkan dengan suara gemetar. Setelah beberapa kali mengangkat tangannya dan mengusap mukanya, agaknya menyusut air mata, terdengar Kwei Lan berkata.

“Alangkah halusnya budi pekertimu, Lie-inkong. Kau katakan bahwa Lie-kongcu menyintai aku. Ah, Lie-kongcu, benarkah ini?”

Ditanya langsung seperti ini, terkejutlah Lie Kiat dan buru-buru ia berkata. “Tentu saja aku cinta padamu, nona.”

“Benar-benarkah itu kongcu? Coba kau ulangi lagi kata-katamu. Benar-benarkah kau cinta padaku?” berkata Kwei Lan dengan keras.

“Haruskah aku bersumpah? Nah, inilah adikku menjadi saksi. Aku benar-benar cinta sepenuh jiwaku kepadamu, nona Kwei Lan.”

Terdengar ketawa kecil mencemoohkan dari balik kerudung dan Kwei Lan lalu berdiri mendekati Lie Kiat yang berdiri juga.

Lie-kongcu, sekali lagi aku harap kau nyatakan dengan keras, benar-benarkah kau cinta padaku? Lihatlah mukaku, lihat!”

Sambil berkata demikian, ia renggut kerudungnya hingga terlepas dan mukanya kelihatan.

“Nah, kau lihat dan katakan sekarang, betul-betulkah kau cinta padaku?”

Ketika kerudung itu sudah terbuka, Lie Bun menjerit. “Kwei Lan!” suaranya tergetar mengandung perasaan kaget, heran dan kasihan. Sedangkan Lie Kiat ketika melihat muka itu lalu terhuyung ke belakang bagaikan kena sambar petir. Ia mundur-mundur dengan mata terbelalak.

“Lie-kongcu, cepat jawab! Cintakah kau padaku? Hayo katakan, katakan dengan keras!”

Lie Kiat gunakan tangan kanannya menutupi mukanya dan ia berkata.

“Ya, Tuhan ......... apakah yang terjadi dengan mukamu? Ah ... tidak ...tidak!”

Tiba-tiba Kwei Lan tertawa keras sambil gunakan ujung lengan baju menutup mulutnya. “Hayo ... kau katakan tentang cinta hayo kau bujuk rayu aku, Lie-

kongcu ha ha ha!”

Dan Kwei Lan lalu jatuhkan diri di atas bangku dan menangis terisak-isak sambil gunakan kerudung yang direnggutnya tadi menutupi mukanya. Lie Kiat hendak loncat keluar dari ruangan itu, tapi secepat kilat Lie Bun menghalanginya dan memegang lengannya erat-erat. “Twako, hayo kau katakan bahwa kau masih tetap cinta padanya! Katakan bahwa apapun yang terjadi dengan dia, kau tetap mencintainya dan suka ambil dia untuk menjadi isterimu!”

“Tidak ..... tidak ” kata Lie Kiat dengan pucat.

“Twako! Bukankah kau seorang jantan? Bukankah kau seorang gagah? Apakah kau akan menjilat kembali kata-kata yang telah kau keluarkan? Twako, berlakulah sebagai laki-laki!”

“Tidak, Lie Bun! Tidak mungkin aku mengawini seorang cacad mukanya seperti ini. Tidak!”

Dan pada saat itu tangan Lie Bun sudah jatuh di mukanya hingga Lie Kiat terhuyung- huyung ke belakang dengan muka berdarah.

“Hayo, kau minta maaf padanya dan menyatakan cintamu. Kalau tidak, demi Tuhan kubunuh kau, twako!”

“Tidak, tidak Lie Bun. Kau gila!”

“Kalau begitu, kau betul-betul akan mati di tanganku!” kata Lie Bun sambil bertindak maju dengan wajah mengancam.

Lie Kiat melihat wajah adiknya ini, tiba-tiba menjadi nekad karena takut. Ia loncat menerjang dengan sepenuh tenaganya. Tapi dengan mudah saja Lie Bun menangkapnya dan melemparkannya ke dinding hingga ia roboh sambil merintih- rintih.

“Twako, dulu aku telah bersumpah. Kalau kau membikin dia sengsara, kau akan kubunuh!”

Pada saat itu terdengar pekik Kwei Lan. “Lie-koko! Jangan kau menjadi pembunuh saudara sendiri!”

Dan berbareng pada saat itu, dari luar berkelebat masuk bayangan seorang pemuda dengan pedang terhunus di tangan. Ia berdiri menghadang di depan Lie Bun dengan menggertak gigi dan mata menyala.

“Lie taihiap, kalau kau hendak membunuh Lie-koko, kau harus dapat melalui mayatku lebih dulu!”

“Nona Cui Im ” Lie Bun berkata terharu.

Tubuhnya menjadi lemas melihat betapa nona itu demikian besar rasa cintanya terhadap Lie Kiat hingga rela berkorban jiwa untuk membelanya.

Sementara itu, Kwei Lan telah mendekatinya dan memegang lengannya. “Dengar Lie koko, aku aku tidak menderita karenanya, karena aku tidak pernah

mencintainya.”

Lie Bun mendengar kata-kata ini merasa bagaikan dalam mimpi. “Apa apa katamu?”

Kwei Lan lalu menarik dia duduk di atas sebuah bangku dan nona itu duduk di depannya.

Sementara itu, Cui Im yang berpakaian sebagai seorang pemuda yang semenjak tadi mengikuti Lie Kiat dan Lie Bun, kini menarik bangun pemuda kekasihnya itu dan membantunya keluar dari bio itu.

Lie Bun memandang gadis yang duduk menangis di depannya. “Nona, betulkah kau tidak menderita karenanya?”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment