Pengemis Tua Aneh Chapter 28

NIC

“Kau .......? Kau di sini??” gadis itu menunjuknya dengan telunjuknya yang

runcing dan mungil ke arah Lie Bun dan mukanya menjadi girang sekali.

“Kwei Lan ...... siocia ...... kau masih ..... masih ingat kepadaku? Aku adalah .....

pengemis dulu itu !”

“Lie-inkong ........., Lie-twako ! Bagaimana aku bisa melupakan kau?”

Tiba-tiba kedua anak muda yang seakan-akan terkena pesona dan lupa segala, saling pandang dengan mesra. Dan terkejutlah mereka ketika terdengar suara Lie Kiat tertawa keras. Mereka baru sadar dan merasa malu.

“Ha ha ha! Pantas, pantas! Tahulah aku sekarang mengapa sikapmu kepadaku dingin dan benci! Tidak tahunya kau sudah mempunyai kekasih. Ha ha! Sungguh memalukan, sungguh menjemukan! Lie Bun, kau adik yang selama ini kuanggap seorang gagah dan budiman, ternyata hanya seorang tidak tahu malu! Kau

mengadakan hubungan kotor dengan calon iparnya sendiri! Ha ha ha! Kwei Lan dimanakah kau hendak sembunyikan mukamu yang kotor?”

Lie Bun loncat ke depan kakaknya. “Twako! Aku larang kau maki-maki dia! Kami tidak melakukan sesuatu yang buruk. Kau salah sangka!”

Lie Kiat gerakkan tangan dan menampar muka Lie Bun dengan keras. Lie Bun tidak berkelit dan menerima tamparan itu hingga pipinya kena tampar keras sekali hingga menjadi biru.

“Lie Bun! Kau kau manusia rendah. Kalau kau hendak mencari kekasih,

mengapa justru kau menggoda calon isteriku? Bukankah itu memalukan sekali?”

“Twako! Dengarlah aku! Kami tidak mempunyai hubungan apa-apa. Kami dulu kebetulan saja pernah bertemu dan berkenalan. Sungguh, twako. Aku tidak mengganggu tunanganmu dengan Lo-siocia!”

“Bangsat bermulut manis!” dan Lie Kiat kini mengirim pukulan ke mulut Lie Bun.

Sekali lagi Lie Bun tidak menangkis hingga bibirnya berdarah ketika menerima hantaman Lie Kiat. Karena merasa cemburu dan panas, Lie Kiat tidak puas dan ia menjadi mata gelap. Ia kirim lagi pukulan ke dada Lie Bun dan pukulan ini berbahaya sekali karena Lie Kiat pergunakan seluruh tenaganya.

Lie Bun tidak dapat melawan kakaknya, maka ia hanya kerahkan tenaga dalam untuk melindungi isi dadanya, maka ketika pukulan Lie Kiat mengenai dadanya, terdengarlah suara keras dan Lie Bun terlempar jauh menabrak dinding dan jatuh dengan wajah pucat. Tapi Lie Bun tidak mendapat luka dalam hanya merasa betapa kulit dan daging di dadanya terasa panas dan sakit. Betapa pun juga, Lie Bun tidak mengeluarkan sedikit rintihan, hanya memandang kakaknya dengan sedih.

Sementara itu, Kwei Lan menjerit-jerit minta tolong dan menangis sedih hingga semua pelayan datang berlari-larian.

Beberapa orang pelayan segera memberi laporan kepada Lo-wangwe dan dengan berlari-lari Lo-wangwe datang diikuti oleh tamunya, yakni Lie-wangwe. Kedua orang tua itu saling pandang dan heran sekali melihat keadaan yang mereka hadapi.

Lie Kiat sedang berdiri dengan wajah merah dan mata bernyala-nyala sedang dibujuk oleh para pelayan untuk bersabar. Kwei Lan duduk di atas bangku sambil menutup mukanya dan menangis sedih sekali. Sedangkan Lie Bun berdiri bersandar pada dinding dengan wajah pucat dan mulut berdarah. Tapi senyum menyedihkan terlukis di bibirnya yang pecah-pecah.

“Kwei Lan, apakah yang terjadi?” tegur Lo-wangwe kepada Kwei Lan.

Gadis itu hanya menangis makin sedih dan isaknya membuat seluruh tubuhnya bergoyang-goyang. Kemudian dengan tiba-tiba gadis itu berdiri dan lari keluar dari situ memasuki gedung dan membanting dirinya di dalam pembaringan di kamarnya.

Lie-wangwe membentak kedua puteranya. “Lie Kiat! Lie Bun! Apa yang kalian perbuat? Sungguh memalukan sekali! Hayo keluar!”

Lie Kiat dengan angkat dada dan wajah masih merah segera keluar dengan tindakan lebar, sedangkan Lie Bun dengan kepala tunduk berjalan keluar pula.

“Eh, bukankah ..... bukankah kau yang dulu pernah datang di rumahku?”

“Lie Bun geleng-geleng kepala. “Wan-gwe salah kenali orang. Siauwte yang rendah ini tak pernah mengenal siapa-siapa. Harap maafkan, Wan-gwe.” Dan ia lalu keluar dengan kepala masih tunduk. Ia merasa sedih sekali. Hatinya terasa perih dan sakit.

Bekas pukulan kakaknya tak berarti apa-apa baginya. Tapi kenyataan bahwa tunagan Lie Kiat bukan lain ialah Kwei Lan. Gadis yang dipuja-pujanya dan dicari-carinya

serta membuat ia sebulan lamanya menderita sakit. Ah hal ini sungguh merupakan

kenyataan yang pahit dan membikin hatinya perih. Kini ditambah lagi dengan dugaan- dugaan Lie Kiat yang keji. Ah, mengapa nasibnya selalu sengsara? Ketika tiba di rumah, Lie Bun segera masuk ke kamarnya dan memikirkan nasibnya. Ia mendengar betapa Lie Kiat masih marah-marah dan memaki-maki dia di luar kamarnya. Ketika ayah dan ibunya datang, Lie Bun dipanggil keluar.

“Lie Bun, sebenarnya apakah yang terjadi, nak? Kau ceritakanlah yang sejujurnya kepadaku karena Lie Kiat sukar diajak bicara,” kata ibunya.

“Ibu, biarlah kalau memang aku yang dipersalahkan dalam hal ini. Hanya Thian yang tahu bahwa aku tidak bersalah. Memang aku pernah bertemu dan kenal dengan Lo- siocia. Tapi kami tak pernah melakukan sesuatu. Bahkan kami baru sekali saja bertemu.”

“Bohong! Baru sekali bertemu tapi ketika berjumpa tadi kau langsung menyebut namanya saja! Dan dia menyebutmu Lie-twako. Sedangkan kepadaku sendiri, kepada tunangannya, calon suaminya, ia masih menyebut kongcu! Mungkinkah ini kalau kau dan dia tak mempunyai hubungan erat?” teriak Lie Kiat.

“Sungguh, twako. Maki-makianmu, pukulan-pukulanmu, dan fitnah-fitnah keji yang dilontarkan padaku itu kuterima dengan sabar. Aku tadi terlampau heran dan terkejut melihat ia di sana karena sama sekali tidak pernah kuduga, maka tak sengaja aku menyebut namanya. Pikirlah, apa mungkin seorang siocia seperti dia itu sudi mengadakan hubungan dengan aku yang begini buruk?” Lie Bun mengucapkan kata- kata ini dengan terharu sekali.

“Kau sangka aku buta? Pandangan matamu ketika melihat dia tadi aku bukan anak

kecil!” Lie Kiat masih saja marah-marah.

Lie Bun tiba-tiba berdiri dan berkata dengan gagah.

“Ya, biarlah aku akui. Semenjak pertemuanku yang hanya satu kali itu, aku telah jatuh cinta kepadanya! Ya, aku cinta kepada Kwei Lan! Dengarkah kalian? Aku cinta padanya. Dan tahukah kalian semua bahwa ketika aku pergi dengan Lo Sam dulu itu, yang hendak kulamar bukan lain ialah Kwei Lan seorang? Tahukah kalian bahwa aku menderita sakit karena memikirkan Kwei Lan? Dan tadi aku bertemu dengan dia!

Ternyata ia tunangan saudaraku sendiri! Nasib! Nah, aku sudah mengaku, kau mau apa twako? Membunuhku? Kau tahu baik-baik, bahwa kalau aku mau, tak mungkin kau dapat memukulku. Apalagi sampai menyakiti badanku. Kau tahu bahwa dengan sekali bergerak saja, dengan mudah aku dapat membunuhmu. Tapi aku tidak segila kau! Aku mengalah dan menerima pukulan-pukulan dan makian-makianmu karena aku kasihan melihat kau. Karena aku tidak ingin melihat kau sakit hati. Nah, aku sudah bicara. Aku takkan menghalang-halangi perjodohanmu dengan Kwei Lan. Tapi ingat, kalau kau sampai membuat dia sengsara atau kau menyia-nyiakan Kwei Lan, biarlah aku melanggar dosa terbesar dengan membunuh kakakku dengan kedua lengan tanganku sendiri!”

“Lie Bun!” jerit ibunya.

Maka sadarlah Lie Bun dari keadaannya yang seperti bukan maunya sendiri itu dan ia tubruk dan peluk kaki ibunya. “Ibu .... ampuni aku, ibu !”

Atas desakan Lie Kiat yang semenjak hari itu selalu marah-marah, perkawinan akan diadakan secepatnya, yakni dua bulan lagi. Pihak keluarga Lo juga telah menyatakan persetujuannya.

Biarpun Lie Kiat kini tidak berani maki-maki adiknya lagi. Tapi tiap kali ada Lie Bun di situ, pasti ia bicara tentang perkawinannya itu hingga dengan sengaja ia hendak menyakiti hati adiknya.

Agaknya Lie Kiat masih tak dapat melenyapkan perasaan cemburunya. Ia maklum bahwa tak mungkin Kwei Lan mencintai Lie Bun. Tapi ia mengetahui bahwa Lie Bun mencintai calon isterinya. Cukup membuat ia merasa cemburu sekali.

Karena makin dekat menjelang hari perkawinan itu, hati Lie Bun makin tergoda. Akhirnya ia berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk mengembara barang setahun.

Ibunya melarang, tapi Lie Bun berkata bahwa ia ingin menengok makam gurunya.

“Biarlah kalau ia mau pergi, tapi jangan lama, Lie Bun. Ingatlah bahwa kami di sini selalu menanti-nanti kembalimu. Jangan kau pergi lebih dari setahun. Ini merupakan perintah ayahmu, mengerti?”

Lie Ti cukup bijaksana untuk mengetahui bahwa memang berat bagi Lie Bun untuk menyaksikan perkawinan kakaknya, maka ia sengaja memberi ijin kepada puteranya yang kedua ini.

Maka pergilah Lie Bun. Sebelum pergi ia menemui Lie Kiat di kamarnya. Kakaknya itu sedang duduk dan ketika melihat adiknya masuk ke kamarnya, ia buang muka sambil bersungut-sungut.

“Twako, aku .... aku pergi ”

Lie Kiat tidak menjawab dan diam saja.

“Twako, aku tahu, kau tentu marah dan sakit hati kepadaku. Apa dayaku? Agaknya hidupku ini hanya merupakan gangguan saja bagi orang lain. Mengapa aku yang buruk rupa ini begini tidak tahu diri dan mencintai orang? Twako, kalau kalau kau

kehendaki, biarlah aku minta ampun padamu ... twako ” Lie Bun tak tahan lagi dan

air matanya keluar membasahi pipinya yang hitam. Kecintaan Raja Pencopet

Lie Kiat terharu dan rasa sayangnya terhadap adiknya timbul. Tapi ketika ia memandang Lie Bun, ia teringat pula betapa adiknya itu mendapat perhatian besar dari Kwei Lan, maka marahnya lebih kuat dari pada rasa sayangnya.

Posting Komentar