Halo!

Pengemis Tua Aneh Chapter 27

Memuat...

“Lopeh, hayo kita pergi!”

“Apa? Bagaimana? Kemana ...? Malam-malam begini pergi?” “Sudahlah, kau turut saja!” Dengan diam-diam dan cepat, keduanya lalu keluarkan kuda dan naiki kuda itu menuju keluar kota dengan cepat.

“Ji-kongcu, apa yang terjadi? Siapa yang bertempur di atas hotel tadi?” tanya Lo Sam dengan menggigil kedinginan karena memang jauh bedanya hawa di dalam kamar hotel yang hangat karena berselimut, dengan hawa di luar di mana angin malam bertiup perlahan-lahan.

“Aku yang bertempur dan aku berhasil membunuh musuh besarku.”

Mendengar pengakuan ini, Lo Sam melirik ke arah Lie Bun dan ia menelan ludah.

Diam-diam timbul hati seram dan takut terhadap anak muda itu. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda yang hendak dipinangkan seorang gadis itu dapat membunuh orang dengan demikian enaknya. Maka ia tak berani banyak cerewet lagi dan selalu menurut kehendak Lie Bun.

Seminggu kemudian mereka telah tiba di kota Bi-ciu dan Lie Bun segera memasuki kamarnya dan membanting dirinya di atas pembaringan.

Keesokan harinya ia menderita sakit panas yang hebat sekali. Ayah ibunya menjadi bingung dan tabib yang pandai segera dipanggil.

Lie Bun bergulingan di atas pembaringan dengan gelisah. Tubuhnya panas dan ia bicara kacau balau. Seringkali menyebut nama suhunya dan berkali-kali ia ucapkan syair.

“Sepasang ikan bercerai ”

“Seekor ke kanan, seekor ke kiri ”

Kedua orang tuanya tidak tahu maksud syair itu dan mereka hanya dapat menjaga Lie Bun dengan hati cemas.

Dari Lo Sam mereka diberitahu bahwa gadis yang hendak dilamar itu telah pindah dan tak seorangpun yang tahu ke mana gadis itu pindah.

Ibu Lie Bun segera dapat menduga bahwa anaknya menderita sakit rindu.

Hampir sebulan Lie Bun menderita sakit. Setelah sembuh, tubuhnya menjadi kurus dan ia jarang sekali keluar dari kamarnya. Berhari-hari ia hanya duduk bersila sambil bersamadhi di dalam kamarnya, jarang mengeluarkan kata-kata kalau tidak ditanya.

Demikianlah keadaan pemuda yang sengsara itu sampai tiba musim chun di mana orang-orang menyambutnya sebagaimana kebiasaan mereka setiap tahun. Rumah- rumah dihias dan dikapur dan orang-orang mengenakan pakaian serba baru. Rumah keluarga Lie tidak ketinggalan. Terutama Lie Kiat, ia gembira sekali dan mengenakan pakaiannya yang indah berwarna biru dan merah muda hingga ia tampak gagah. Di depan rumah-rumah dipasangi lampion-lampion yang beraneka macam dan di sana-sini terdengar suara tetabuhan karena banyak orang-orang mainkan singa- singaan dan barongsai.

Seluruh kota Bi-ciu tenggelam dalam pesta pora dan kegembiraan. Mungkin hanya Lie Bun seorang yang duduk termenung di taman belakang sambil melihat ikan-ikan berenang kesana kemari dalam empang. Bunga-bunga teratai warna merah dan putih tersenyum dengan manis berseri di atas air kehijau-hijauan.

Orang-orang saling kunjung mengunjungi untuk mengucapkan selamat, satu kepada yang lain berhubung dengan datangnya musim terindah dan terbaik selama setahun.

Lie Kiat berlari-lari mencari adiknya di taman.

“A Bun ...! Lie Bun ...!” teriaknya, dan ketika ia melihat Lie Bun duduk termenung di pinggir empang, ia segera lari menghampiri.

“Lie Bun, jangan kau termenung saja. Hari ini adalah hari baik dan ayah mengajak kita pergi mengunjungi rumah tunanganku. Kau harus ikut, A Bun!”

Melihat kegembiraan kakaknya ini, Lie Bun terpaksa senyum lemah. “Untuk apakah aku harus ikut?” tanyanya halus.

Mata Lie Kiat terbelalak. “Untuk apa? Ampun, anak ini! Untuk apa, katanya! Bukankah ini hari besar dan kita harus mengucapkan selamat kepada orang-orang yang kita cinta? Kau harus mengucapkan selamat pula pada calon ensomu! Tidak maukah kau memberi selamat kepada calon isteriku?”

Tentu saja Lie Bun tidak berani menolaknya.

“Hayo, kau ganti pakaian yang paling indah dan paling baru!” “Untuk apa berganti pakaian segala?” tanya Lie Bun.

Kakaknya menjadi gemas dan segera menarik tangannya diajak berlari ke kamarnya sambil berkata.

“Ah, kau ini rewel benar. Hayolah, aku malu kalau calon isteriku melihatmu dalam pakaian buruk.”

Terpaksa Lie Bun bertukar pakaian. Kemudian ia berkata kepada Lie Kiat.

“Twako, kau hanya teringat kepada tunanganmu saja, apakah kau sudah lupa kepada Cui-siocia?”

“Bodoh, siapa yang lupa? Kau kira kemanakah aku sehari kemarin? Berpesta di rumahnya. Sekarang giliran tunanganku!”

Mau tidak mau Lie Bun tersenyum melihat lagak Lie Kiat. Ah, alangkah bedanya nasibnya dengan nasib Lie Kiat. Kakaknya ini selalu mendapat apa yang dikehendakinya, karena kakaknya memang tampan dan gagah. Siapa yang tidak suka melihat pemuda secakap ini? Tapi dia? Ah, orang buruk memang selalu bernasib buruk pula.

Kemudian ia mencela diri sendiri. Ia memang telah terlahir buruk. Mengapa harus mengeluh? Kwei Lan pindahpun bukan sengaja menyakiti hatinya. Mengapa ia harus bersedih? Apakah ini laku seorang gagah? Apakah ia harus tunduk kepada nasib buruk? Ah, suhunya kalau masih hidup tentu akan marah padanya.

Pada saat itu ayah ibunya datang menghampiri mereka.

Melihat pandangan ayah ibunya yang ditujukan padanya dengan khawatir. Tiba-tiba Lie Bun insyaf betapa ia telah berdosa besar terhadap mereka. Ia telah membuat mereka itu bersedih dengan sikapnya yang selalu murung. Ah, sungguh bodoh dan sesat. Beginikah laku seorang yang uhauw, seorang yang berbakti kepada orang tua?

Lie Bun merasa betapa ia telah bersalah kepada orang tuanya, maka kini melihat mereka mendatangi dengan pakaian indah dan baru sambil memandang ke arahnya, hatinya menjadi terharu sekali. Ia maju dan memberi hormat kepada ayah ibunya sambil menghaturkan selamat.

Lie Ti dan isterinya heran melihat perubahan ini dan mereka gembira sekali. Ternyata Lie Bun telah sembuh benar-benar sekarang. Ibunya pegang pundak puteranya yang kedua ini sambil berkata.

“Syukur, anakku, kalau kau sudah dapat menguasai hatimu. Mari kau ikut pergi ke Lun-kwan. Kita harus bergembira ria, karena kepergian kita kali ini ialah untuk menetapkan hari perkawinan kakakmu!”

Lie Bun tersenyum dan dengan tenaga luar biasa ia tekan hatinya yang berdebar mendengar betapa kakaknya akan segera kawin.

“Anak telah berlaku bodoh selama ini. Mohon ayah dan ibu suka memberi ampun,” katanya.

Dalam suasana gembira, keluarga Lie berangkat menuju ke Lun-kwan. Lie Ti dan kedua puteranya naik kuda sedangkan nyonya Lie naik sebuah kereta kecil yang dihias indah. Banyak pelayan ikut sambil membawa barang-barang hadiah yang hendak diberikan kepada calon besan itu.

Ketika tiba di Lun-kwan dan rombongan berhenti di depan sebuah gedung besar yang indah. Lie Kiat mendengar tetabuhan ramai di taman yang berada di sebelah kanan gedung itu. Pemuda itu segera tarik tangan adiknya yang diajak langsung memasuki taman itu.

“Twako, jangan, nanti kita disebut kurang tahu adat!” Lie Bun mencegah, tapi seperti biasa Lie Kiat suka membawa kehendak sendiri. Dengan tindakan gagah Lie Kiat cepat memasuki taman sedangkan Lie Bun setelah itu masuk pula, berhenti dengan ragu-ragu karena di sebelah dalam taman itu tampak seorang sedang menikmati pertunjukkan Ki-lin yang agaknya sengaja diundang untuk menghibur keluarga hartawan itu. Kalau Lie Bun berhenti dan berdiri ragu-ragu, adalah Lie Kiat langsung menuju ke taman dan ketika melihat betapa gadis tunangannya menonton pertunjukkan itu dari sebuah menara kecil yang dibangun di tengah-tengah taman, ia segera menghampiri dan masuk dari pintu belakang.

Suara tetabuhan gembreng dan tambur yang ramai itu akhirnya menarik pula perhatian Lie Bun. Dengan tak terasa kakinya melangkah maju mendekat dan ia menggabungkan diri dengan para pelayan yang sedang mengelilingi pemain Ki-lin dan menikmati tari-tarian yang lincah dan indah itu.

Kemudian Lie Bun teringat akan kakaknya. Ia menjadi khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu atas diri kakaknya, maka ia segera mengitari lingkungan penari Ki-lin itu hingga sampailah ia di belakang menara.

Ketika ia sedang mencari-cari Lie Kiat, tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya itu di dalam menara sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita.

“Siocia, mengapa kau marah? Bukankah kita telah bertunangan dan apa salahnya bagi orang yang telah bertunangan untuk bertemu di sini? Ah, siocia, kau cantik sekali dan perkenankanlah aku untuk mengucapkan selamat kepadamu!”

Kemudian terdengar jawaban seorang wanita, suaranya halus tapi tajam.

“Lie-kongcu, aku mendapatkan bahwa kau adalah seorang terpelajar, tapi ternyata bahwa kau agaknya memang biasa bergaul dengan segala macam perempuan rendah. Tapi kau ingatlah, aku belum menjadi isterimu dan kau tak berhak berlaku sesuka hatimu di tempatku ini. Kau keluarlah, tak pantas kalau sempat terlihat orang perbuatanmu yang tak pantas ini!”

Suara Lie Kiat terdengar marah dan penasaran ketika ia menjawab. “Siocia, perbuatan mana yang tidak pantas?”

“Kau masuk ke sini tanpa izin, seakan-akan ini tempatmu sendiri. Apakah itu pantas namanya? Pula, akupun mendengar bahwa kau telah mempunyai tunangan. Mengapa kau masih hendak mencari aku? Apakah itupun pantas namanya?”

Celaka, pikir Lie Bun ketika mendengar ini. Agaknya gadis inipun sudah tahu akan hal hubungan Lie Kiat dengan Cui Im. Nah, berabelah kini!

“Ooo jadi kau cemburu?” terdengar Lie Kiat berkata.

“Aku? Cemburu?? Hah! Peduli apakah aku, biarpun kau mempunyai kekasih puluhan orang? Hanya saja, aku tak sudi dipermainkan orang! Kau keluarlah dari sini!”

Lie Bun merasa betapa kakaknya harus keluar dari situ karena kalau sampai terdengar orang, akan mendapat malu besarlah keluarganya. Maka ia lalu masuk ke dalam pintu yang terpentang itu untuk memanggil kakaknya. “Twako, mari keluar,” katanya sambil membuka tirai. Dan pada saat itu ia melihat seorang gadis cantik jelita yang berdiri berhadapan dengan Lie Kiat dan yang pada saat itu memandang ke arahnya.

Baik Lie Bun dan gadis itu berdiri kesima. Mata mereka terbelalak dan mereka saling pandang lama sekali.

Tak terasa kaki Lie Bun bertindak maju menghampiri dan tiba-tiba pada wajah gadis yang tadinya muram dan marah itu tampak senyum menghias bibirnya yang indah.

“Kwei Lan !” Lie Bun berbisik bagaikan dalam mimpi dan ia maju mendekat.

Sama sekali tidak melihat Lie Kiat yang berdiri memandang mereka dengan heran.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment