Kemudian ia ambil pula secawan arak dan tuangkan arak itu ke dalam saku baju itu sambil berkata lagi.
“Silahkan saudara pakaian yang mahal minum arak!”
Tentu saja sahabatnya heran melihat kelakuan ini dan menegurnya. Maka dengan wajah bersungguh-sungguh kakek itu berkata kepada sahabatnya.
“Dulu ketika aku datang dalam pakaian buruk, jangankan sayur dan arak , air putih secawanpun tidak kau keluarkan. Sekarang aku datang dalam pakaian mewah dan indah, kau menyambutku begini hormat dan mengeluarkan sayur serta arak, maka bukankah yang kau jamu ini pakaianku dan bukan aku?”
“Nah setelah berkata demikian, kakek yang telah puas menyindir dan membalas sakit hatinya itu lalu meninggalkan sahabatnya yang berdiri dengan wajah kemerah- merahan karena malu.”
Lie Bun tersenyum dan kagum akan isi cerita yang tepat dan menggambarkan tabiat orang yang sebagian besar memang demikian.
“Jadi sekarang kita berpakaian indah agar mendapat hidangan lezat?” ia menggoda Lo Sam dan keduanya lalu tertawa girang. Hidangan yang dipesan tiba dan keduanya lalu makan minum dengan gembira karena menghadapi urusan baik. Lo Sam angkat cawan araknya dan minum arak dengan harapan agar urusan ini akan berhasil baik.
Setelah makan, mereka lalu mengenakan pakaian-pakaian indah dan Lo Sam minta pemuda itu membawanya ke rumah keluarga Lo-wangwe.
Ketika mereka keluar dari rumah penginapan itu, dari luar datang tiga orang dan Lie Bun terkejut sekali karena orang yang berjalan di tengah, seorang hwesio pendek gemuk, ternyata adalah Bok Bu Hwesio, pertapa kosen yang dulu telah melukai suhunya dan karenanya menjadi pembunuh Kang-lam Koay-hiap.
Ia rasakan dadanya berdebar dan dendamnya timbul, tapi karena sedang menghadapi urusan besar, maka ia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan perjalanan dengan Lo Sam. Ia anggap bahwa urusan dengan Kwei Lan jauh lebih besar dari pada urusan dengan Bok Bu Hwesio, dan bukankah suhunya memesan agar ia jangan mencari Bok Bu Hwesio untuk menuntut balas? Maka ia segera melupakan hwesio itu dan dengan girang menuju ke rumah gedung tempat tinggal Kwei Lan.
Alangkah terkejut dan menyesalnya hati Lie Bun ketika ia mendengar dari seorang pelayan bahwa Lo-wangwe telah lama pindah dari rumah itu. Ketika ditanya ke mana pindahnya keluarga Lo itu, pelayan tadi tidak dapat memberi keterangan. Karena ia adalah pelayan dari keluarga baru yang menempati bekas gedung Lo-wangwe itu.
Lo Sam dan Lie Bun setengah hari lamanya mencari tahu di seluruh kota kalau-kalau ada yang dapat menerangkan ke mana pindahnya Lo-wangwe. Tapi tidak ada orang yang dapat memberitahukan mereka. Dan mereka hanya mendengar bahwa keluarga Lo telah pindah lebih setahun yang lalu ke tempat yang jauh sekali, tapi entah ke mana.
Malam hari itu Lie Bun tinggalkan Lo Sam dan ia langsung menuju ke taman bunga di belakang gedung besar bekas tempat tinggal Kwei Lan dulu.
Taman bunga itu masih seperti dulu, sedikitpun tidak berubah. Karena melihat di situ sunyi tidak ada orang, Lie Bun lalu duduk di empang di mana dulu ia dan Kwei Lan duduk berdua sambil melihat lukisannya di atas kipas. Ia teringat betapa Kwei Lan berdiri di belakangnya sambil melihat lukisannya, dan betapa ia beri totol-totol hitam di muka lukisan dirinya itu dan Kwei Lan menjerit.
Ia heran dan sampai kinipun tidak tahu mengapa gadis itu menjerit ketika ia beri warna totol-totol hitam yang merusak mukanya itu.
Apakah kipas itu masih dibawa oleh Kwei Lan? Lie Bun duduk termenung di situ, tenggelam dalam lamunannya sendiri. Hatinya sedih dan sunyi dan ia melihat seekor ikan tampak berenang di dalam cahaya bulan di empang itu.
Hanya seekor di situ. Ah, sama benar dengan nasibnya. Lalu teringatlah ia akan syair yang ditulis oleh Kwei Lan di atas kipas yang digambarnya dulu. Syair itu berbunyi.
“Sepasang ikan bercerai ”
“Seekor ke kanan, seekor ke kiri ” Teringat akan bunyi syair ini, tak terasa lagi Lie Bun angkat kedua tangannya dan menutupi mukanya. Alangkah sengsara hidupnya. Mukanya yang buruk sukar mendatangkan rasa kasih dalam hati orang lain, kecuali dalam hati ibunya, kakaknya dan ayahnya.
Tapi dapatkah ia mengharapkan kasih seorang gadis, apalagi seorang gadis yang secantik dan sejelita Kwei Lan? Mengapa pula ia tak dapat melupakan gadis itu? Mengapa ia harus mencintai gadis itu? Ah, beginilah kalau bernasib buruk. Lahir dengan wajah cacat, hitam bopeng menjijikkan.
Mungkin yang pernah mencinta padanya selain keluarga sendiri, dari orang-orang lain yang sekian banyaknya di dunia ini hanya suhunya seoranglah. Suhunya yang selama tujuh tahun mendidiknya, membimbingnya, mengisi jiwa raganya dengan kekuatan yang menganggap ia seperti anak sendiri.
Tiba-tiba teringatlah ia betapa suhunya tewas dalam tangan Bok Bu Hwesio. Dan hwesio pembunuh suhunya itu tadi ia lihat di rumah penginapan.
Serentak bangunlah Lie Bun. Semangatnya bernyala-nyala dan rasa dendam dan sakit hatinya bagaikan api mendapat kayu kering. Ia lalu loncat dan keluar dari taman secepatnya. Ia tiba dihotelnya dan cepat sekali karena ia lari melalui atap genteng- genteng rumah.
Setelah tiba di hotel dan ia mengintai ke bawah dan tahu di mana kamar hwesio gemuk pendek bersama dua orang kawannya itu. Ia segera loncat turun dan dari jendela kamar ia berseru.
Tak Disangka ........
“BOK BU HWESIO! Kau keluarlah untuk lunaskan perhitungan lama!”
Bok Bu Hwesio adalah seorang tokoh kangouw yang ternama. Mendengar tantangan orang di luar jendela, ia tenang saja karena baginya tidak aneh untuk sewaktu-waktu mendapat kunjungan seorang musuh yang hendak menuntut balas. Ia lalu kebutkan ujung lengan bajunya hingga lampu dalam kamarnya padam seketika.
Kemudian ia berkelebat keluar dan langsung loncat ke atas genteng, diikuti oleh kedua orang kawannya yang sebetulnya hanya dua orang muridnya yang baru saja datang dari luar kota.
Ketika hwesio itu tiba di atas genteng, ia melihat seorang pemuda dengan tongkat bambu di tangannya berdiri menanti kedatangannya.
“Anak muda, dari manakah dan siapakah yang sengaja datang mencari pinceng?” tegurnya.
Melihat musuh gurunya dihadapannya, hati Lie Bun yang sedang sedih dan risau itu menjadi panas dan timbullah marahnya. Ia menuding dengan tongkat bambu sambil berkata. “Bok Bu! Tidak ingatkah kau, betapa kau telah melukai suhuku ketika ia sedang menderita sakit? Kau telah berlaku pengecut menyerang seorang yang tidak sehat. Sekarang kau berhadapan dengan muridnya yang hendak menuntut balas!”
“Bok Bu Hwesio tertawa tergelak-gelak. “Anak muda, orang-orang yang telah kulukai dan kujatuhkan banyak sekali hingga aku sendiripun tidak ingat lagi ada berapa banyak. Siapakah kau ini, dan siapakah gurumu yang telah kulukai itu?”
“Suhuku ialah Kang-lam Koay-hiap!”
Terkejutlah Bok Bu Hwesio mendengar pengakuan ini. Ah, kalau benar anak muda ini murid Kang-lam Koay-hiap, maka tidak boleh berlaku sembrono.
“Kalau kau hendak menuntut balas, mengapa tidak mencari aku di Thian-siang saja? Di sana aku akan melayani tuntutanmu. Sekarang aku sedang sibuk!” Hwesio gemuk pendek yang licin ini tahu dan ingat bahwa Lie Bun adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan barangkali tidak banyak bedanya dengan Kang-lam Koay- hiap sendiri, maka berbahayalah melayaninya di sini. Kalau melayani di sarangnya, yakni di Thian-siang, ia dapat mengharapkan bantuan dari kawan-kawannya.
“Hwesio pengecut! Kau berani berbuat mengapa mundur menghadapi tanggung jawab? Kau terimalah pembalasanku!”
Lie Bun segera menyerang dengan tongkat bambunya.
“Baiklah, kalau kau sudah kepingin mampus!” jawab Bok Bu Hwesio untuk tidak kalah garang dan ia segera menyampok dengan ujung lengan bajunya yang panjang.
Pertempuran hebat terjadi di atas genteng rumah penginapan itu. Kedua murid Bok Bu Hwesio cabut pedang mereka dan membantu hwesio itu. Tapi sebentar saja, mereka kena terpukul ujung tongkat bambu Lie Bun yang digerakkan dengan gemas hingga sangat ganas dan lihai.
Tubuh kedua murid Bok Bu Hwesio itu roboh dan membuat pecah banyak genteng. Bok Bu Hwesio marah sekali dan ia berhasil memungut sebilah pedang muridnya yang telah dirobohkan. Kini mereka berdua memegang senjata dan pertempuran dilanjutkan dengan seru sekali.
Harus diakui bahwa kepandaian Bok Bu Hwesio sangat tinggi dan hampir sejajar dengan kepandaian Kang-lam Koay-hiap. Hanya di dalam ilmu tongkat dan ilmu pedang, Kang-lam Koay-hiap menang setingkat. Dulu Kang-lam Koay-hiap dapat dilukai karena kakek pengemis yang lihai itu sedang sakit dan tenaganya lemah.
Kini menghadapi Lie Bun, segera Bok Bu Hwesio merasa bahwa pemuda ini lebih tangguh dari pada Kang-lam Koay-hiap sendiri. Hal ini karena ketika menghadapi Kang-lam Koay-hiap dulu, pengemis sakti itu sedang sakit dan kini Lie Bun yang
sedang menderita hati sedih dan risau itu menyerangnya dengan nekat dan tidak kenal takut hingga Bok Bu Hwesio merasa jerih sekali. Pertempuran hebat itu berjalan ratusan jurus dan Lie Bun telah berhasil menotok iga kanan lawannya. Tapi karena Bok Bu Hwesio adalah seorang kebal, totokan itu tidak melukai hebat hanya membuat sebelah tubuh hwesio itu untuk sesaat merasa linu. Kemudian hwesio itu loncat ke bawah dan dikejar oleh Lie Bun.
Di tanah mereka lanjutkan pertempuran mati-matian itu. Lie Bun keluarkan ilmu simpanannya, yakni Im-yang Kiam-sut. Ilmu pedang ini memang sukar dicari tandingannya hingga setelah bertempur puluhan jurus, Bok Bu Hwesio terdesak hebat.
Ketika Lie Bun menyerang dengan tongkat menusuk perutnya, Bok Bu Hwesio gunakan pedangnya menekan tongkat itu ke bawah dengan tipu Hui-eng Bok-tho atau Elang terbang sambar kelinci. Maksudnya hendak menggunakan tenaga gwakang untuk membuat tongkat itu patah. Tapi tidak tahunya itu memang pancingan Lie Bun.
Ketika merasa betapa pedang itu menggencet tongkatnya, Lie Bun kerahkan lweekangnya dan tangan kirinya menyambar leher musuh, berbareng tongkatnya ia tarik cepat. Melihat serangan tangan kiri yang cepat itu Bok Bu Hwesio segera miringkan kepala berkelit. Tapi karena gerakan ini maka perhatiannya kepada pedangnya agak mengurang hingga Lie Bun berhasil membetot tongkatnya yang langsung disodokkan ke arah muka lawannya.
Dua kali serangan masih dapat dikelit oleh pendeta gemuk pendek itu. Tapi serangan ketiga tepat sekali melukai pinggir matanya karena Lie Bun menyerang mata lawannya.
Karena luka ini, maka terpaksa Bok Bu Hwesio gunakan tangan kiri untuk menutupi sebelah matanya. Tapi cepat seperti burung menyambar, Lie Bun sudah kirim serangan lagi dengan ujung tongkatnya yang menotok uluhati lawannya.
Terdengar jerit ngeri dan menyeramkan, dan tubuh Bok Bu Hwesio yang gemuk pendek itu roboh di tanah dengan tidak bernyawa lagi.
Habislah riwayat hwesio yang mencemarkan nama golongannya dengan perbuatan- perbuatan yang tak patut dilakukan oleh seorang hwesio yang seharusnya menuntut penghidupan suci.
Mendengar jeritan itu, semua orang penghuni hotel menjadi bingung dan panik. Tidak seorangpun berani tongolkan kepala dari jendela semenjak mereka tahu bahwa di atas genteng ada orang sedang bertempur mati-matian.
Lie Bun masuk ke kamarnya dan seret Lo Sam dari atas pembaringan di mana orang tua itu sembunyikan diri di bawah selimut. Merasa betapa kakinya di seret orang, Lo Sam buka mulut hendak berteriak minta tolong tapi Lie Bun cepat bekap mulut orang tua itu.