Pengemis Tua Aneh Chapter 25

NIC

“Oo, jadi kau maksudkan setan siang itu golongan perampok?”

Pada saat itu dari kanan kiri berlompatan keluar orang-orang tinggi besar yang kesemuanya memegang golok telanjang. Wajah mereka semua bengis-bengis dan yang mengepalai mereka adalah seorang tinggi besar yang tampaknya kuat sekali serta bersenjata sepasang ruyung besi yang besar dan berat.

“Hayo kalian berdua turun dari kuda dan tinggalkan semua barang bawaanmu!” bentak kepala rampok itu.

Menggigillah seluruh tubuh Lo Sam dan ia segera membaca liam-keng penolak setan. Mendengar ini, kepala rampok itu membentak.

“Hei, kau orang tua! Lekas turun!”

Lo Sam menjadi pucat dan ia berkata gagap. “Tet .....tet....tetapi ...!” “Tidak ada tapi, hayo lekas turun dan tinggalkan semua barang dan kuda! “Ampun tay-ong..... tapi ....ini .... adalah .... adalah barang mas kawin. ” Kepala rampok itu menjadi tidak sabar dan mengangkat ruyungnya hendak dipukulkan. Lo Sam tiba-tiba menjadi gesit, ketika ia lompat turun dari kudanya karena ketakutan. Ia lari ke arah Lie Bun dan peluk pemuda itu sambil sembunyikan muka di belakang tubuh Lie Bun. Lie Bun lepaskan dirinya dan menghadapi kepala rampok itu.

“Kami adalah pelancong-pelancong bukan pedagang, maka harap saja tay-ong suka maafkan dan lepaskan kami!”

Kepala rampok itu memandangnya dengan teliti, tapi karena ia belum kenal maka ia membentak.

“Kau bicara seperti seorang kang-ouw, siapakah nama dan julukanmu?” “Orang-orang menyebutku Ouw-bin Hiap-kek.”

“Ah, aku tidak kenal. Kau harus tinggalkan semua barang dan kuda. Baru kami dapat memberi jalan.”

Lie Bun sedang bergembira dan menghadapi urusan lamaran yang menggirangkan hatinya, maka ia tidak mau mencari permusuhan dan tidak ada nafsu untuk berkelahi. Maka ia mencari akal lain dan kemudian berkata.

“Tay-ong, sekarang begini saja baiknya. Aku tidak mau menjatuhkan banyak korban di antara orang-orangmu. Kalau kau bersikeras hendak merampas barang-barang dan kudaku, sekarang diatur begini saja. Dengan sepasang ruyungmu itu kau menyerang aku dalam sepuluh jurus. Kalau kau bisa menjatuhkan aku dalam sepuluh jurus, maka kau boleh memiliki semua ini. Kalau tidak kau harus lepaskan kami. Bagaimana?”

Terdengar suara tertawa di antara para anak buah perampok. Pemuda kecil itu hendak melayani kepala mereka yang gagah? Ah, mungkin dalam satu kali gebrakan saja sudah pecah kepala pemuda itu.

“Hei, anak muda! Aku kagum mendengar keberanianmu. Tahukah kau bahwa ruyungku ini selama bertahun-tahun belum pernah terkalahkan? Kau hendak menghadapi aku dengan senjata apakah?”

Lie Bun perlihatkan kedua tangannya. “Dengan ini, aku tidak biasa bersenjata.”

Kepala rampok itu tertawa menyeringai. “Anak muda, agaknya kau mencari mampus!”

Sementara itu, Lo Sam yang sejak tadi menutupi mukanya karena takut dan ngeri, kini mengintai dari balik celah-celah jarinya. Mendengar bahwa Lie Bun hendak menghadapi raksasa itu dengan tangan kosong, ia segera berseru. “Ya, Allah, jangan begitu! Ji-kongcu apakah kau sudah bosan hidup? Kalau kau mati, siapakah yang

akan kulamarkan?”

Kepala rampok itu tertawa geli, kemudian ia berkata. “Karena kau sendiri yang menghendaki, nah, bersiaplah untuk mampus!”

Lie Bun lalu loncat ke tempat yang agak luas, diikuti kepala rampok itu yang mengayun-ayunkan kedua ruyungnya. Setelah mereka berhadapan, kepala rampok itu lalu mengirim serangan pertama. Pukulan ruyungnya begitu hebat dan keras hingga mendatangkan suara mengaung dan menggerakkan daun-daun pohon yang berdekatan.

“Satu!” Lie Bun menghitung sambil berkelit cepat hingga ruyung itu menyambar di dekatnya. Ruyung kedua yang menyusul dapat juga dikelitnya. Kepala rampok menjadi penasaran sekali dan menyerang bertubi-tubi, makin cepat dan keras. Tapi Lie Bun dengan tenang dan enaknya loncat ke sana ke mari berkelit sambil menghitung jurus-jurus lawannya.

Setelah menghitung sampai sepuluh, Lie Bun berkata keras. “Nah, sepuluh jurus telah lewat, tay-ong. Kau kalah!”

Setelah berkata begitu, Lie Bun lalu berjalan seenaknya ke arah kudanya. Ia tidak tahu agaknya bahwa Kepala rampok itu dengan marah sekali mengejarnya dan dari belakang menghantamkan ruyungnya ke arah kepala Lie Bun dengan keras sekali.

Terdengar jerit Lo Sam dari atas kudanya, karena diam-diam ia telah naiki kudanya pula. Juga semua anak buah perampok merasa pasti bahwa kali ini pemuda muka hitam itu tentu akan remuk kepalanya.

Tapi kesudahannya membuat semua orang merasa heran. Dengan ringan dan lincah bagaikan seekor burung walet, Lie Bun miringkan kepalanya dan geser kakinya hingga ruyung itu menyerempet di dekat tubuhnya, lalu sambil berkata”Kau curang!” ia gunakan jari tangannya menotok.

Kepala rampok itu tiba-tiba berdiri bagaikan patung dengan ruyung di tangan dan sikapnya masih seperti hendak memukul.

Ternyata ia dengan tepat dan cepat sekali kena ditotok urat tai-twi-hiat di lambungnya hingga tubuhnya menjadi kaku.

Para anak buah perampok itu menjadi kaget sekali dan sambil berteriak-teriak ramai lebih dari dua puluh orang itu menyerbu ke arah Lie Bun.

Anak muda itu berseru. “Hai, mundur kalian! Lihatlah, kalau ada yang berani menyerang, pemimpinmu ini pasti binasa!” Lie Bun mengambil ruyung dari tangan kepala rampok dan gunakan senjata itu untuk mengancam di atas kepala pemimpin rampok itu.

Melihat betapa pemimpin mereka berdiri diam bagaikan patung, seorang anak buah perampok memberanikan diri bertanya. “Hai, kau apakan pemimpin kami itu?”

Seorang lain berkata. “Ah, ia tentu menggunakan ilmu siluman!” Lie Bun berkata sambil tertawa. “Aku tidak mencari permusuhan dengan kalian, maka aku ampuni jiwamu.” Kemudian kepada kepala rampok itu ia berkata. “Dan kau, tai- ong, hendaknya ini menjadi pelajaran bagimu. Terserah kalau kau mau merampok.

Tapi janganlah sewenang-wenang. Rampoklah mereka yang curang dan menipu rakyat. Jangan hantam kromo saja dan mengganggu sembarang orang.”

Setelah berkata demikian, Lie Bun tepuk pundak kepala rampok itu yang segera terbebas dari totokan. Kepala rampok itu lalu berlutut dan berkata.

“Sungguh mataku buta tidak melihat gunung Thay-san di depan mata. Harap taihiap sudi memberi tahu nama.”

Lie Bun berkata sederhana sambil bangunkan kepala rampok itu.

“Aku yang muda bernama Lie Bun, karena mukaku begini maka orang-orang sebut aku Ouw-bin Hiap-kek.”

Kepala rampok itu lalu memberi hormat sambil menjura dan setelah haturkan terima kasih atas kemurahan hati Lie Bun yang sudah mengampunkan mereka, ia pimpin anak buahnya menghilang di dalam hutan belukar.

“Aduh .... hebat.... berbahaya sekali ...” Lo Sam mengeluh dengan wajah pucat. Tidak kusangka sama sekali bahwa calon penganten begitu gagah perkasa! “Untung ada kau,

Ji-kongcu. Kalau aku Lo Sam seorang diri bertemu dengan mereka, ah, tanggung sekali pukul beres dah!”

“Lho, apanya yang beres, lopeh?” tanya Lie Bun sambil naiki kudanya kembali.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan itu dan pada hari kesembilan mereka tiba di Bhok-chun. Dada Lie Bun berdebar-debar dengan penuh rasa terharu dan gembira. Terharu karena kota itu mengingatkan ia akan suhunya dan gembira karena ia berada di kota Kwei Lan, gadis yang tak pernah meninggalkan ingatannya itu.

Mereka tidak langsung menuju ke gedung Lo-wangwe, tapi atas kehendak Lo Sam mereka mencari sebuah penginapan yang terbesar. “Kita harus berganti pakaian yang bersih dan baik sebelum pergi ke sana. Ketahuilah, bukan orang saja membuat pakaian, tapi pakaian pun membuat orang!”

“Eh, kata-katamu kau jungkir balikkan hingga aku menjadi bingung dan tidak mengerti artinya, lopeh. Apa maksudmu dengan kata-kata pakaian membuat orang?”

“Aaiih, kau benar-benar bodoh, Ji-kongcu. Apakah kau belum mendengar juga tentang pakaian yang bisa makan sayur dan pandai minum arak?”

Lie Bun geleng-geleng kepala karena sungguh-sungguh ia tidak mengerti.

“Marilah kita masuk mencari kamar, lalu makan dulu sampai kenyang. Nanti sambil makan kuceritakan padamu tentang itu.” Mereka lalu memilih sebuah kamar besar untuk berdua. Setelah bersihkan badan, mereka memesan makanan dan sambil menanti datangnya makan, Lo Sam bercerita tentang pakaian yang suka makan sayur dan pakaian minum arak itu.

“Ada seorang kakek pergi mengunjungi seorang sahabatnya di kota lain. Karena menganggap bahwa sahabatnya itu telah lama dikenalnya hingga tak perlu menggunakan peradatan lagi. Kakek itu mengenakan pakaian yang sudah lama dan buruk. Ketika ia sampai di rumah sahabatnya, ternyata ia diterima dengan dingin sekali dan agaknya sahabat itu tidak suka menerima kedatangannya. Jangankan hidangan-hidangan lezat, secawan airpun tidak dikeluarkan oleh sahabatnya itu untuk disuguhkan padanya. Kakek ini pulang dengan hati sakit dan perih.

Beberapa bulan kemudian ia mendapat rezeki besar hingga dapat membeli pakaian sutera, sepatu baru dan baju luar yang tebal dari bulu yang mahal. Ia teringat akan sahabatnya itu. Lalu ia pergi mengunjunginya lagi, tapi kali ini ia mengenakan pakaian yang serba indah dan mahal itu.

Dan bagaimanakah sikap sahabatnya? Ah, ia buru-buru menyambutnya, memberinya kursi terbesar dan cepat memanggil semua anaknya untuk memberi hormat kepada tamu agung ini. Lalu ia keluarkan hidangan-hidangan yang paling lezat dan dipersilahkan kakek itu makan. Kakek itu lalu tanggalkan baju luarnya yang indah, dan sambil pegang-pegang baju itu dengan tangan kirinya lalu mengambil sayur dalam mangkok. Lalu ia tuangkan sayur itu ke dalam saku baju sambil berkata dengan hormat sekali meniru-niru suara sahabatnya,

“Silahkan saudara baju bulu yang terhormat makan sayur!”

Posting Komentar