Halo!

Pengemis Tua Aneh Chapter 24

Memuat...

Kata-kata Lie Bun ini tidak hanya mengherankan lawannya, tapi juga mengherankan Lie Kiat dan Cui Im. Karena kedua anak muda inipun maklum bahwa ilmu pedang dari Siauw-lim tidak sangat terkenal dan umumnya menganggap bahwa ilmu pedang dari Kun-lun dan Go-bi lebih tinggi.

Mereka semua tidak tahu bahwa sebetulnya yang mengangkat tinggi ilmu pedang bukanlah karena dari mana ilmu itu datang, yang terpenting ialah mereka yang melakukan ilmu itu. Biarpun ilmu yang bagaimana sederhana, jika digunakan oleh orang yang memang ahli dan tinggi ilmu silatnya, tinggi ginkangnya dan sempurna lweekangnya, ilmu silat itu akan menjadi semacam ilmu yang lihai sekali.

Karena Lie Bun memaksa, maka Hok Liong Tosu lalu membentak. Kehilangan Gadis Pilihan Hati “BAIKLAH, banyak orang yang menyaksikan bahwa kau mencari mampus sendiri. Jangan nanti orang katakan pinto keterlaluan!” Setelah berkata begini, tosu itu lalu mulai membuka serangan hebat.

Lie Bun berkelit cepat dan segera mereka bertempur hebat. Gerakan ilmu pedang Hok Liong Tosu memang cepat dan lihai. Tapi Lie Bun dengan girang sekali kenali bahwa ilmu pedang lawannya adalah campuran dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang telah digabung hingga terdapat kekurangan-kekurangan karena tidak asli lagi.

Lie Bun pergunakan kegesitannya dan ternyata dalam hal ginkang ia tidak usah menyerah kalah. Pula senjata di tangannya lebih lemas dan ringan hingga ketika ia putar bambu itu secvepatnya, tampaklah sinar kuning kehijau-hijauan mengurung dirinya.

Hok Liong Tosu terkejut sekali, karena ketika ia perhatikan, benar-benar Lie Bun menggunakan ilmu silat pedang dari Siauw-lim-si! Juga Cui Im dan Lie Kiat kenal gerakan-gerakan pedang Siauw-lim yang dimainkan Lie Bun. Tapi mereka heran dan terkejut sekali menyaksikan betapa gerakan-gerakan itu dapat dilakukan sedemikian hebat!

Hok Liong Tosu segera ubah gerakannya dan kini ia mainkan ilmu pedang Ngo-heng- kiam-hwat yang terkenal berbahaya. Tapi ia tak tahu bahwa ilmu pedang ini adalah “makanan” bagi Lie Bun. Dulu Kang-lam Koay-hiap telah memberitahu padanya bahwa di antara ilmu-ilmu pedang yang lihai dan harus berhati-hati menghadapinya, termasuk Ngo-heng-kiam-hwat. Maka guru dan murid itu lalu bersama-sama mencari jalan pemecahannya. Kang-lam Koay-hiap lalu menciptakan Im-yang-kiam-sut yang merupakan kepandaian simpanannya dan bersama muridnya ia meyakinkan ilmu pedang itu dengan sempurna betul.

Maka dalam menghadapi Hok Liong Tosu tadinya Lie Bun menggunakan ilmu pedang Siauw-lim-si. Kini melihat betapa lawannya mainkan Ngo-heng-kiam-hwat, ia berseru.

“Tosu sombong, Ngo-heng-kiam-hwatmu ini tidak ada harganya! Coba kau lihat ilmu pedangku ini!”

Maka ia lalu putar bambunya dalam gerakan-gerakan dari ilmu pedang Im-yang- kiamsut. Ujung bambunya berputar dalam cara aneh sekali, tapi tiap serangan dari Ngo-heng-kiam-hwat dapat terpukul buyar.

Yang hebat ialah pada tiap tangkisan, maka bambu itu langsung menyerang kembali hingga Hok Liong Tosu menjadi terkejut dan bingung sekali.

Ujung bambu itu biarpun lemas dan kecil, tapi digunakan untuk menotok jalan-jalan darah yang berbahayanya tidak kalah hebat dengan tusukan pedang tajam. Maka mengertilah kini tosu itu mengapa anak muda ini memilih sebatang bambu untuk melawannya. Ia tak sangka pemuda ini demikian hebat dan lihai, maka diam-diam ia akui keunggulan Kang-lam Koay-hiap yang telah terkenal sebagai orang gagah golongan atas. Kini ia telah menyesal tapi terlambat. Maju berbahaya, mundur malu. Ia lalu menjadi nekat dan gerakan pokiamnya lebih ganas lagi. Lie Bun lalu pusatkan seluruh perhatiannya kepada permainan lawan dan pada suatu saat yang tepat sekali ia berhasil menotok sambungan lutut lawannya hingga Hok Liong Tosu berseru keras dan jatuh berlutut di depan Lie Bun.

Anak muda itu lalu menghampiri lawannya dan sambil berkata. “Ah, aku yang muda tidak berani terima penghormatan sebesar ini!” Ia pura-pura balas berlutut. Tapi sebetulnya cepat sekali ia totok dengan jari lutut lawan itu agar terlepas dari pengaruh totokan tadi.

Hok Liong Tosu dapat berdiri lagi dan dengan muka merah ia masukkan pedangnya ke dalam sarung pedang sambil menghela napas.

“Ouw-bin Hiap-kek benar-benar kau gagah dan sakti. Pantas sekali menjadi murid Kang-lam Koay-hiap yang besar!” Kemudian tanpa pamit lagi ia balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu diikuti dengan cepat oleh Hok Hwat Hwesio.

Lie Kiat tertawa bergelak-gelak dengan hati puas. Lalu ia peluk adiknya. “Lie Bun kau harus ajarkan ilmu pedang tadi padaku!”

Cui Im kagum bukan main. “Lie-taihiap, kau sungguh-sungguh hebat sekali. Kepandaian pedangmu ratusan kali lebih hebat dariku!”

Lie Bun hanya tersenyum dan merendahkan diri.

Setelah ibu Cui Im datang dan Lie Bun diperkenalkan kepada janda yang ramah tamah itu, kakak dan adik itu pulang. Di sepanjang jalan Lie Bun memuji-muji kakaknya yang dikatakan beruntung sekali mempunyai seorang kawan baik seperti Cui Im.

“Twako, aku lihat nona Cui itu cukup berharga untuk menjadi isterimu. Ia cantik, manis, jujur dan polos. Ilmu pedangnya lihai dan mempunyai watak yang gagah dan peramah. Ibunya juga seorang baik hati dan ramah tamah, mau apa lagi?”

Lie Kiat mengangguk-angguk. “Tapi belum tentu ibu dan ayah menyetujuinya. Lagi pula tunanganku yang cantik jelita dan hartawan itupun sangat menarik hati!”

Lie Bun cemberut. ”Ah, kau nakal sekali, twako. Mengapa harus dua-duanya?” “Eh, eh, kau iri hatikah?” tanya Lie Kiat dengan melotot marah.

Lie Bun buru-buru tersenyum. “Siapa yang iri? Kalau memang kau ingin ambil dua- duanya dan kalau mereka berdua suka, apa sangkut pautnya dengan aku?

Sesukamulah! Asal saja kelak kau jangan minta tolong padaku jika kedua isterimu saling cakar!”

Lie Kiat tertawa gembira. “Aku dapat mengurusnya, aku dapat mengurus mereka!” Lie Bun hanya menghela napas melihat sikap kakaknya demikian itu. Tapi biarpun ia tahu bahwa pendirian kakaknya ini tidak benar dan memperlihatkan watak yang serakah dan ingat diri sendiri saja, ia tak dapat membenci kakaknya.

Ia tahu bahwa dibalik keserakahan dan kesombongan yang terjadi karena terlalu dimanja oleh orang tua. Lie Kiat mempunyai jiwa yang setia dan gagah, berani mati dan tabah dalam menghadapi bahaya untuk membela adiknya. Inilah watak baik Lie Kiat yang membuat adiknya sangat mencintainya.

Karena ingin membela kakaknya, maka ketika berada berdua dengan ibunya, Lie Bun menceritakan kepada ibunya tentang Cui Im yang disebutnya seorang gadis baik, sopan santun dan ramah tamah. Ia ceritakan betapa gadis yang manis itu sangat cinta kepada Lie Kiat dan sebaliknya Lie Kiat cinta kepada gadis itu hingga dapat

dipastikan bahwa kelak mereka akan menjadi sepasang suami isteri yang bahagia hidupnya.

“Aku tahu akan hal itu, A Bun. Tapi anak gila itu pernah menyatakan bahwa iapun suka kepada tunangannya di Lun-kwan! Ah, sudahlah jangan kita bicarakan tentang A Kiat. Pusing kepalaku kalau memikirkannya. Marilah kita bicara tentang kau, anakku!”

“Tentang aku, ibu?” tanya Lie Bun dengan dada berdebar.

“Ya, kau sudah dewasa, nak. Sudah pantas pula kau memilih seorang calon isteri. Aku tahu banyak gadis-gadis keturunan baik-baik di kota Kwie-ciu dan Lun-kwan.

Maukah kau kalau kulamarkan seorang untukmu?”

Kulit muka Lie Bun yang kehitam-hitaman itu menjadi merah ketika ia tundukkan mukanya.

“Ibu, mukaku begini .... begini buruk gadis manakah yang sudi memandangku?”

Untuk sesaat nyonya Lie tak dapat berkata apa-apa, hatinya terharu dan ia merasa lehernya tersumbat sesuatu. Kemudian ia berkata setelah dapat menetapkan hatinya.

“Jangan kau berkata demikian, anakku. Kebahagiaan bukan didatangkan oleh rupa tampan. Pula kau tidak seburuk yang yang kau sangka. Kau tampak gagah dan tampan bagiku, nak.”

Lie Bun angkat muka dan dua titik air mata menuruni pipinya. Ia pandang ibunya dengan mesra karena selama hidupnya, hanya ibunya saja yang selalu menganggap ia tampan dan gagah.

“Terima kasih, ibu. Kalau saja ada seorang gadis seperti ibu!”

Cepat-cepat nyonya Lie hapus butir derai air mata yang juga loncat keluar dari matanya dan pada saat Lie Bun memandang ibunya itu, maka terbayanglah wajah Kwei Lan yang jelita. Ia lalu tetapkan hatinya dan berkata.

“Ibu, sebenarnya ..... ah..... sukar dikatakan ” Ibunya memandang tajam. “Apakah maksudmu, A Bun? Katakanlah! Bukankah di sana sudah ada gadis yang mengisi lubuk hatimu?”

Lie Bun terkejut. Cerdik sekali ibunya ini. Ia hanya mengangguk dan tundukkan mukanya.

Terdengar suara ibunya yang berkata girang. “Gadis manakah dia?” “Dia tinggal jauh dari sini, ibu. Di kota Bhok-chun.”

“Kalau begitu, biarlah aku mencari perantara dan menyuruh orang pergi melamarnya. Setujukah kau?”

Lie Bun ragu-ragu, tapi ia mendengar kata-kata mendiang gurunya. “Kalau kau setuju kepada gadis itu, pulanglah dan mintalah kepada orang tuamu untuk melamarnya.” Demikianlah Kang-lam Koay-hiap sebelum menutup mata pernah meninggalkan pesan. Maka sekarang mendengar tawaran ibunya, ia lalu mengangguk.

“Baiklah, ibu.”

Nyonya Lie merasa girang sekali. Segera ia menemui suaminya dan menceritakan maksudnya melamar gadis dari Bhok-chun untuk Lie Bun.

Suaminya hanya menyetujui saja, karena soal perkawinan-perkawinan ini tidak begitu menarik perhatian Lie Ti. Ia cukup percaya akan pilihan isterinya yang bijaksana.

Hanya pesannya demikian.

“Sesukamulah, asal saja kau pilih mantu perempuan yang seperti kau, pasti aku akan suka dan cocok!”

Mendengar kelakar suaminya ini, nyonya Lie mengerling dan cemberut.

Kemudian seorang comblang dicari dan Lie Ti memilih seorang comblang yang biasa menjadi perantara.

Orang ini telah berusia hampir lima puluh tahun dan namanya Lo Sam. Ia seorang periang dan peramah seperti biasanya seorang comblang yang harus pandai bicara.

Karena perjalanan ke Bhok-chun sangat jauh, pula karena Lo Sam belum pernah pergi ke sana, maka Lie Bun disuruh oleh ibunya untuk mengantar.

Ketika Lie Kiat mendengar tentang lamaran ini, ia berkata sambil tertawa kepada Lie Bun. “Jangan kau khawatir. Kalau nanti isterimu tidak suka melihat mukamu, kau boleh pinjam mukaku!”

Lie Bun hanya tertawa dan sedikitpun tidak merasa sakit hati. Tapi ibunya membentak.

“Lie Kiat! Tutup mulutmu yang ceriwis itu!” Setelah berkemas dan membawa barang-barang antaran yang berharga, Lo sam dan Lie Bun berangkat menunggang kuda. Karena Lo Sam pandai bicara dan selalu riang gembira maka Lie Bun merasa suka dan perjalanan itu dilakukan dalam suasana gembira.

Kuda mereka adalah kuda pilihan dan besar-besar hingga perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.

Lima hari kemudian mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang sangat besar dan penuh pohon-pohon raksasa. Melihat keadaan hutan ini, Lo Sam berkata.

“Ah, jangan-jangan di dalamnya ada setan.”

Lie Bun tertawa. “Lopeh, di mana ada setan muncul di siang hari?”

“Setan siang itulah yang lebih berbahaya dari pada setan malam,” kata Lo Sam ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka.

“Apakah setan yang kau maksud itu?”

“Sudahlah, jangan kita bicarakan mereka di sini. Nanti saja kalau kita sudah keluar dengan selamat dari hutan ini, kuterangkan padamu,” jawab Lo Sam.

Ketika mereka tiba di tengah-tengah hutan, tiba-tiba dari pinggir melayang sebatang anak panah yang menancap di batang pohon besar di depan mereka.

“Nah, nah ...! Celakalah kita. Setan siang benar-benar muncul!” kata Lo Sam sambil mendekam di atas kudanya dengan tubuh gemetar.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment