Cui Im mengerling sambil cemberut. “Ah, mana kebodohanku ada harganya untuk dilihat oleh Lie-taihiap?”
Lie Kiat berkata sambil tersenyum manis. “Jangan begitu, Im-moi. Tak perlu malu- malu, Lie Bun bukanlah orang lain. Dia adikku sendiri. Apa perlunya sungkan- sungkan?”
Karena Cui Im memang berwatak bebas dan polos pula, ia memang selalu menuruti kehendak Lie Kiat, maka segera ia lari ke dalam dan keluar pula sambil membawa sebatang pedang yang kecil dan tipis tapi cukup tajam gemerlapan karena mengkilap dan putih bersih.
Mereka bertiga lalu pergi ke halaman belakang dan di situ Cui Im bersilat pedang. Mula-mula gerakannya indah, lemas dan perlahan, tapi makin lama makin cepat hingga pedangnya merupakan sinar putih yang bergulung-gulung. Diam-diam Lie Bun memuji ketangkasan gadis itu yang agaknya kepandaiannya tidak di bawah gadis baju merah yang sombong dulu itu.
Setelah bersilat beberapa puluh jurus, Cui Im hentikan permainannya dan simpan pedangnya. Lie Bun tepuk-tepuk tangannya menyatakan bagus.
“Sungguh kau lihai sekali, Cui-siocia. Ilmu pedangmu cukup hebat. Bukankah yang kau mainkan tadi Tiat-mo Kiam-hwat yang digabung dengan Kiam-hwat dari Go-bi- pai?”
Terkejut sekali hati Cui Im. Alangkah tajamnya mata pemuda muka hitam ini.
“Lie-taihiap, kau sungguh luar biasa. Sekali lihat saja kau sudah mengenal kiam- hwatku.”
Lie Kiat melihat bahwa adiknya puas dan kagum melihat Cui Im. Timbullah watak gembiranya. Ia pinjam pedang dari Cui Im dan mulai bersilat pedang. Ilmu pedangnya tidak seindah gerakan Cui Im, tapi cukup kuat dan ganas.
Setelah bersilat pedang, Lie Kiat paksa adiknya untuk bersilat pula menggunakan pedang itu.
Lie Bun menolak, tapi Cui Im membantu Lie Kiat membujuknya hingga Lie Bun terpaksa tak dapat menolaknya pula. Ia tak ingin memamerkan kepandaiannya, maka ia hanya mainkan sebagian dari ilmu pedang Siauw-lim-pai dan sengaja memperlambat gerakannya. Biarpun demikian, namun ia telah mempesonakan Cui Im dan Lie Kiat karena sambaran pedangnya mendatangkan angin dingin dan tubuhnya lenyap dalam sinar pedang.
Belum habis Lie Bun bermain pedang, tiba-tiba terdengar orang tertawa menyindir. “Inikah yang menjatuhkanmu, sute? Mengherankan sekali!” Lie Kiat dan Cui Im berpaling cepat dan Lie Bun juga menunda permainannya dan menengok.
Ternyata di situ telah berdiri Hok Hwat Hwesio dan seorang tosu muka merah yang bermata jalang. Hok Hwat Hwesio memandang Lie Bun dengan mata merah, tapi ia paksakan diri menjura dan berkata.
“Lie-enghiong, maafkan pinceng, karena pinceng dengan terpaksa mengganggumu. Ini suhengku karena tertarik ingin melihat ilmu pedang yang lihai, telah memaksaku untuk masuk ke sini.”
Tosu itu sebentar-sebentar melirik ke arah Cui Im hingga gadis itu menjadi tidak senang dan malu, lalu cepat-cepat ia sembunyikan diri di belakang Lie Kiat.
Kemudian tosu itu menghadapi Lie Bun dan berkata dengan sikap memandang rendah.
“Jadi, kaukah yang disebut Ouw-bin Hiap-kek? Ilmu pedangmu dari Siauw-lim-pai tadi bagus sekali hingga membuat pinto ingin sekali mencobanya. Tidak tahu apakah kau mempunyai ilmu pedang lain lagi yang lebih lihai dari ilmu pedang Siauw-lim tadi?”
Lie Bun tersenyum, ia anggap tidak aneh sikap tosu itu demikian sombong, karena pendeta ini adalah suheng dari Hok Hwat Hwesio.
“Ilmu pedang apalagi yang kumiliki? Hanya dari Siau-lim inilah!” jawab Lie Bun.
Tosu itu tertawa keras. “Jadi engkau adalah murid Siauw-lim-si? Kalau hanya memiliki kiam-hwat dari Siauw-lim, bagaimana bisa mengaku menjadi murid Kang- lam Koay-hiap?”
Lie Bun mendengar nama suhunya yang tercinta di bawa-bawa menjadi tak senang. Tapi wajahnya masih tetap tersenyum.
“Siapakah locianpwe ini? Harap suka memberitahukan nama.”
“Kau mau tahu? Akulah yang benama Hok Liong Tosu. Nah, kau gerakkan pedangmu untuk melayani pinto.”
Lie Bun tidak mau memperbesar rasa permusuhan, maka ia lalu menjawab.
“Aku yang muda selama hidup tak pernah menyusahkan locianpwe. Mengapa locianpwe sekarang mendesak dan hendak menghina orang muda?”
“Anak bodoh, siapa yang mendesak dan menghina? Kata suteku, kau mempunyai ilmu silat yang tinggi maka pinto ingin sekali mencobanya. Kalau kau tidak berani, maka kau harus minta maaf kepada suteku ini dan menyebut pinto sucouw tiga kali!”
Sebutan sucouw sebetulnya adalah kakek guru atau kakek besar dan seringkali sebutan ini dipakai untuk mengangkat diri setinggi-tingginya dan dengan demikian menghina kepada yang menyebutnya. Tapi Lie Bun memang telah dapat menekan nafsu dan tetap bersabar. Tidak demikian dengan Lie Kiat yang berdarah panas. Ia melangkah maju dan berkata.
“Lie Bun, kau terang-terangan ditantang. Mengapa tidak maju? Jangan membikin malu kakakmu! Kalau aku yang ditantang begitu macam, tidak perduli siapa yang menantang dan biarpun dengan taruhan jiwaku, pasti akan kulayani!”
Tapi Cui Im gadis manis itu pikirannya lebih luas dan cerdik dari pada Lie Kiat. Ia maklum akan kelihaian Hok Hwat Hwesio yang dianggap guru terpandai di Lun- kwan, maka tentu saja tosu yang menjadi suhengnya ini lebih lihai lagi. Karena itu ia merasa khawatir kalau-kalau Lie Bun takkan dapat melawannya jika melayani tantangan Hok Liong Tosu. Maka katanya kepada Lie Kiat.
“Koko, janganlah kau mendesak Lie-taihiap. Dia masih muda dan memang sikapnya yang mengalah ini baik sekali. Untuk apa mencari permusuhan dengan segala orang?”
Suara gadis ini merdu dan nyaring, tapi mengandung sindiran tajam kepada Hok Liong Tosu yang disebut “segala orang”, maka tosu itu melirik dengan muka merah kepada gadis manis itu. Ia lalu tersenyum dan berkata kepada Lie Bun.
“Kalau Ouw-bin Hiap-kek tidak berani melawan pinto, boleh juga diwakilkan. Tapi jangan kakakmu yang tidak becus apa-apa ini! Boleh diwakili oleh nona ini untuk bermain-main sebentar dengan pinto!”
“Tosu siluman kurang ajar!” Lie Kiat membentak marah lalu maju memukul dengan sekuat tenaganya. Tapi tosu itu dengan tertawa menyindir lalu angkat tangan kanannya bergerak cepat dan tahu-tahu Lie Kiat telah didahului olehnya dan didorong ke belakang hingga terpental jatuh.
Lie Bun tidak mau tinggal diam dan loncat maju.
“Eh, tosu kasar dan sombong. Kau tidak pantas dihormat oleh yang muda! Percuma saja kau berpakaian pendeta, kalau tingkahmu tidak lebih baik dari pada seorang bajingan rendah saja!”
Hok Liong Tosu marah sekali dan ia cabut pedangnya. Lie Bun kaget melihat sinar pedang itu karena maklum bahwa tosu itu memiliki sebuah pedang pusaka yang tajam dan kuat. Ia khawatir kalau-kalau nanti pedang Cui Im terusak oleh pedang tosu itu, maka ia segera memandang ke arah serumpun bambu yang tumbuh di dalam pekarangan itu.
“Cui-siocia, bolehkah aku mengambil sebatang bambu itu?”
Cui Im yang telah menolong Lie Kiat dan membantu kekasihnya itu berdiri, memandang heran dan berkata. “Tentu saja boleh!”
Lie Bun lalu berkata kepada Hok Liong Tosu.
“Tahanlah nafsumu sebentar. Aku hendak mencari senjata untuk melayanimu dengan ilmu pedangku dari Siauw-lim-si!” Kemudian sambil membawa pedang Cui Im ia lalu menghampiri rumpun bambu lalu membacok putus sebatang bambu kuning yang sudah tua. Setelah membersihkan daun-daunnya, maka ia lalu bawa bambu yang panjangnya kira-kira setengah meter itu ke tempat mereka yang melihatnya dengan heran. Ia lalu mengembalikan pedang Cui Im dan menghadapi Hok Liong Tosu dengan bambu di tangan.
“Nah, sekarang aku telah siap dan kau boleh mencoba ilmu pedangku,” katanya dengan tenang.
“Tidak, tidak, Lie-taihiap. Kau pakailah pedangku ini. Aku rela kau pakai pedangku!” kata Cui Im cepat-cepat.
“Lie Bun, kau pakailah pedang Cui Im!” Lie Kiat juga mendesak.
Tapi Lie Bun hanya menggeleng kepala sambil tersenyum. Tentu saja Cui Im dan Lie Kiat tidak tahu bahwa Lie Bun memang sengaja memakai bambu itu karena untuk menghadapi pedang pusaka lawannya ia tahu bahwa pedang Cui Im tentu akan terbabat kuntung. Sedangkan kalau ia gunakan bambu tua yang lemas dan ulet ia dapat menghadapi pedang pusaka dengan lebih leluasa.
Pula memang ia lebih biasa menggunakan tongkat bambu dari pada menggunakan pedang. Dulu ketika ia ikut suhunya, mereka berdua selalu menghadapi lawan-lawan tangguh hanya dengan batang-batang bambu di tangan.
Yang paling heran dan marah adalah Hok Liong Tosu. Ia adalah seorang tokoh ternama dari kalangan kang-ouw dan untuk daerah selatan ia telah cukup dikenal, maka tentu merendahkan dan menghina sekali kalau seorang anak muda yang masih hijau menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang bambu di tangan.
“Ouw-bin Hiap-kek! Jangan kau mencari mampus dengan penasaran! Kau pergunakan sebatang pedang. Kalau tidak aku tidak sudi melayanimu dan anggap kau sengaja gunakan akal ini agar aku tidak mau melayanimu!”
“Eh, tosu sombong! Jangan kira aku takuti pedangmu. Hayo kau maju dan coba-coba bagaimana hebatnya kiam-hwat Siauw-lim-si!”