Mo-enghiong adalah pemuda di kota ini. Kedua enghiong, silahkan naik ke panggung.”
Dengan disambut tepuk tangan riuh rendah, dua orang pemuda yang berpakaian dan bersikap gagah naik ke panggung dengan loncatan indah.
Melihat gaya loncatan itu, tahulah Lie Bun bahwa mereka hanya mempunyai kepandaian silat pasaran saja, maka ia menjadi kecewa. Tapi timbul pula kegembiraannya ketika mereka berdua mulai bertanding.
Keduanya tampan dan gagah dan kepandaian mereka berimbang. Tapi sebagaimana dapat diduga oleh Lie Bun pada saat mereka mulai bergebrak, pemuda she Kwee menang gesit dan pada suatu saat yang tepat ia berhasil mendupak perut lawannya hingga terhuyung dan akhirnya terguling dari atas panggung.
Kemenangan ini disambut sorak pujian dan pemuda she Kwee itu menjura ke arah penonton lalu mengundurkan diri untuk mempersiapkan diri menghadapi pertandingan babak kedua nanti.
Dengan lagak gagah si gendut lalu mengumumkan pertandingan kedua antara seorang she Oey dari Kwie-ciu dan seorang she Gak dari Bi-ciu. Lie Bun tertarik sekali mendengar bahwa orang she Gak itu berasal dari kotanya, tapi ia tidak kenal padanya.
Walau demikian, ada juga perasaan membela dalam hatinya hingga ketika dua pemuda itu bertempur, ia diam-diam mendoakan agar orang she Gak itu yang menang.
Tapi ia kecewa, karena pemuda she Gak itu akhirnya kena terbanting roboh dan dinyatakan kalah.
Demikianlah berturut-turut pertandingan diadakan. Ketika tiba giliran pertandingan ke enam, si gendut mengumumkan dengan suara dibuat-buat untuk menarik perhatian para penonton.
“Saudara-saudara sekalian. Pertandingan yang keenam ini dilakukan oleh orang-orang gagah kelas berat. Siapakah yang belum mendengar nama Rajawali Emas dari Bi-ciu dan Si Tangan Besi dari Kwie-ciu? Nah, kedua jago lihai ini sekarang akan bertanding di atas panggung ini. Diharap kedua jago ini, si Rajawali Emas Lie Kiat-enghiong dari
Bi-ciu dan Kok Tian-enghiong dari Kwie-ciu suka tampil ke atas panggung.”
Lie Bun merasa betapa dadanya berdebar. Kakaknya akan ikut bertanding. Kakaknya,
Lie Kiat yang bengal dan sering menggodanya itu. Ah, kakaknya itu kini telah menjadi seorang ahli silat dan bahkan telah mempunyai julukan pula. Si Rajawali Emas dari Bi-ciu. Alangkah gagahnya. Dengan mata terbuka lebar Lie Bun memandang ke atas panggung.
Tiba-tiba dari bawah melayang naik seorang pemuda dengan gaya yang cukup indah hingga tahulah Lie Bun bahwa pemuda itu anak murid Go-bi-pai.
Kemudian dari sebelah kiri melayang pula naik ke panggung seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian kuning emas. Sungguh gagah dan tampan sekali hingga ia mendapat sambutan tepuk tangan yang luar biasa.
Melihat kakaknya yang telah tujuh tahun ditinggalkan itu, Lie Bun merasa terharu sekali dan air matanya mengalir di kedua pipinya yang hitam dan bopeng. Kemudian ia tak dapat menahan gelora hatinya lagi dan loncatlah ia naik ke atas panggung, tepat di depan Lie Kiat dan berseru.
“Engko Kiat ...... engko Kiat ”
Lie Kiat bertindak mundur sampai tiga langkah ketika tiba-tiba ada seorang pemuda yang berwajah hitam dan berpakaian aneh sekali loncat dan berdiri dihadapannya sambil memanggil-manggilnya. Tapi ia segera kenali wajah adiknya yang telah bertahun-tahun pergi. Betapapun juga, seringkali Lie Kiat menangis dan rindu sekali kepada adiknya yang hanya satu-satunya ini. Maka ketika melihat Lie Bun berdiri di depannya, timbul rasa girang besar sekali dalam hatinya. Ia segera maju dan peluk adiknya itu sambil berbisik.
“Lie Bun ... kau kau kembali?”
Lie Bun peluk kakaknya dengan besar hati, tapi pada saat itu teringatlah Lie Kiat
bahwa ia sedang berada di atas panggung dan ribuan pasang mata memandang ke arah mereka. Ia ingat pula akan keadaan adiknya yang seperti pengemis itu, maka cepat- cepat ia lepaskan pelukannya dan berkata kepada semua penonton.
“Cuwi yang terhormat. Janganlah cuwi salah sangka. Inilah adikku yang nakal. Belum lama ini adikku pergi menyelidiki keadaan para pengemis dan perihal kehidupan mereka. Karena itu ia sengaja menyamar sebagai seorang pengemis tulen. Jangan ia direndahkan, karena jelek-jelek adikku ini mempunyai kepandaian yang boleh juga dan ia mempunyai julukan Ouw-bin Hiap-kek, Si Pendekar Muka Hitam. Tapi biarpun buruk rupa, hatinya baik sekali.”
Semua penonton yang tadinya memandang terharu, kini mengangguk-anggukkan kepala dan Lie Kiat lalu menyuruh adiknya turun.
“Kau lihatlah permainanku,” katanya.
Lie Bun loncat turun dan di dalam hatinya ia mengaku bahwa kakaknya ini belum dapat mengubah adatnya yang tinggi dan sombong.
Agaknya kakaknya malu mengaku adik kepada seorang pengemis, maka ia sengaja mengarang cerita bohong kepada para penonton agar keadaan Lie Bun sebagai seorang pengemis itu tidak merendahkan namanya sendiri. Dan betapapun juga, kakaknya itu masih saja suka menggodanya tentang wajahnya yang buruk hingga terang-terangan memberi ia julukan Pendekar Muka Hitam.
Diam-diam Lie Bun tersenyum. Ah, julukan ini tidak lebih buruk dari pada Si Topeng Setan, yakni julukan yang dulu kakaknya memberinya. Kemudian ia perhatikan kakaknya yang mulai bertanding.
Setelah bertempur beberapa jurus, Lie Bun tahu bahwa kakaknya mendapat didikan seorang guru silat dari cabang Siauw-lim dan bahwa kakaknya ini meyakinkan sedikit kepandaian lweekang.
Biarpun kepandaian kakaknya tidak berapa tinggi, namun ia memiliki kegesitan dan dengan tenaga lweekangnya, ia dapat menarik keuntungan dalam pertandingan melawan seorang yang hanya melatih gwakang seperti Si Tangan Besi itu. Juga Lie Kiat cerdik, karena ia sengaja tidak mau mengadu lengan dan gunakan telapak tangan untuk menangkis lalu membalas dengan serangan-serangan kilat.
Telah beberapa kali ia berhasil menyampok dan menyodok tubuh lawannya, tapi karena kebalnya, belum juga si Tangan Besi dapat dirobohkan.
Pertandingan ini boleh dibilang yang paling menarik di antara pertandingan- pertandingan yang tadi, karena kepandaian kedua orang ini memang lebih tinggi. Mereka telah bertempur lebih dari lima puluh jurus, tapi belum juga ada yang kalah.
Tiba-tiba Lie Bun yang sengaja berdiri di dekat panggung dan menonton pertandingan itu mendesak-desak penonton lain, lalu berseru keras.
“He, jangan kau desak-desak orang sampai tersodok mataku. Dan kau, jangan dorong- dorong sampai hampir jatuh.”
Dengan lweekangnya yang sudah sempurna, Lie Bun dapat kirim suaranya itu hingga terdengar nyaring dari atas panggung.
Lie Kiat tidak kenali suara adiknya, tapi kata-kata yang jelas itu membuat ia sadar. Kalau ia hanya memukul biasa saja, maka sukar untuk menjatuhkan lawan yang kebal ini. Mendengar kata-kata “sodok mata” dan “dorong roboh” ia mendapat akal. Maka ia segera rubah serangannya.
Kini ia tidak mau sembarang menendang atau memukul, tapi percepat gerakannya dan semua serangannya ditujukan ke mata lawan.
Karena memang ia lebih gesit, lawannya menjadi bingung dan cepat-cepat menangkis setiap sodokan. Karena kalau sampai matanya tersodok, tak mungkin ia gunakan kekebalannya ke matanya.
Ia mulai terdesak ke pinggir dan tiba-tiba Lie Kiat ubah gerakannya dan sepenuh tenaga mendorong ke arah dada lawannya. Karena serangannya dilakukan tiba-tiba tanpa ampun lagi tubuh si Tangan Besi terjengkang lalu jatuh ke bawah panggung. Tentu aja hal ini dianggap satu kemenangan untuk Lie Kiat.
Tepuk sorak riuh menyambut kemenangan ini dan mungkin yang bertepuk paling keras adalah Lie Bun. Ia segera menghampiri kakaknya yang telah turun dan memeluknya mesra.
Pada saat itu, pertandingan ketujuh telah dimulai, tapi yang bertempur adalah pemuda-pemuda biasa saja hingga tidak menarik dan sebentar saja diakhiri dengan kemenangan pihak Lun-kwan.
Tapi, ketika pertandingan ke delapan dimulai, Lie Bun berkata kepada Lie Kiat. “Koko, apakah kau nanti bertempur lagi?”
“Tentu saja, dalam babak kedua harus bertempur lagi. Untuk mencapai kejuaraan, aku harus bertempur tiga kali lagi!”
“Koko, orang tinggi kurus yang sedang bertempur itu boleh juga.”
Lie Kiat memandang dan saat itu orang tinggi kurus yang dimaksudkan Lie Bun dengan tendangan telah berhasil menendang lawannya ke bawah panggung hingga pingsan.
“Ooh, dia adalah jago nomor satu dari Lun-kwan. Namanya Biauw Kak dan julukannya si Tangan Maut. Tapi kukira aku dapat mengalahkannya, ilmu silatnya tidak seberapa,” jawab Lie Kiat dengan jumawa hingga diam-diam Lie Bun tidak puas hatinya. Kakaknya ini perlu belajar hati-hati dan jangan memandang rendah lawan, pikirnya.
Setelah diumumkan pemenang-pemenang babak ke satu, maka lalu dimulai pertandingan babak ke dua. Untung sekali bagi Lie Kiat bahwa undian membuat ia berhadapan dengan pemuda she Kwee pemenang pertandingan pertama tadi.
Dengan mudah saja Lie Kiat menggulingkan lawannya. Setelah selesai, maka kini tinggal empat orang jago yang tinggal sebagai pemenang-pemenang. Lalu diadakan undian lagi dan sekali lagi Lie Kiat mendapat lawan ringan, maka tinggallah Lie Kiat dan Biauw Kak si Tangan Maut.
Kini si Gendut naik ke atas panggung dan berkata nyaring dengan muka berseri.
“Cuwi yang mulia! Nah, kalian telah menyaksikan para pemuda kita yang gagah perkasa. Sekarang tinggal pertandingan babak terakhir antara dua pemenang, yakni Lie Kiat-enghiong si Rajawali Emas dari Bi-ciu dan Biauw Kak-enghiong si Tangan Maut dari Lun-kwan. Saudara-saudara tadi telah menyaksikan betapa gagah perkasa dan lihai kedua enghiong muda ini dan sebentar lagi akan terbuktilah siapa di antara keduanya yang lebih lihai. Bersiaplah menyaksikan pertandingan ilmu silat kelas tinggi yang akan dihidangkan dihadapan saudara sekalian.” Setelah berkata demikian, si gendut itu turun dari panggung dengan langkah dibuat- buat agar tampak gagah.
“Hati-hati, koko,” Lie Bun berbisik dengan khawatir. Tapi Lie Kiat dengan senyum sindir telah menggerakkan tubuh dan loncat dengan gerakan It-ho-ciong-thian atau Burung Ho Terjang Langit ke atas panggung.